LIPUTAN KHUSUS:

Banyak Masalah Investasi Nikel China di Sulteng - Riset Walhi


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Investasi China di industri nikel di Sulteng memunculkan berbagai persoalan, dari tenaga kerja, agraria, hingga kerusakan lingkungan.

Tambang

Rabu, 07 Agustus 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulteng menemukan, investasi China (Tiongkok) dalam industri nikel di Sulawesi Tengah berbuah aneka persoalan, mulai dari ketenagakerjaan, konflik agraria, hingga kerusakan lingkungan dan masalah kesehatan akibat dari aktivitas pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) captive. Hal tersebut disampaikan dalam sebuah laporan riset yang dibuat Walhi Sulteng akhir bulan lalu.

Berdasarkan gambaran umum dari hasil riset itu, karut marut praktik investasi Tiongkok dalam konteks perburuhan di kawasan PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) misalnya, sama sekali tidak menggambarkan sistem ketenagakerjaan yang baik dan mengedepankan prinsip kemanusiaan.

Kepala Depertemen Program Walhi Sulteng, Yusman, mengatakan sejak Memorandum of Understanding (MoU) pada 2013 antara Sanghai Decent Invesment, anak perusahaan Tsinghan, dan PT Bintang Delapan Mineral, hingga saat ini selalu mengesampingkan persoalan ketenagakerjaan mulai dari sistem pengupahannya, dan jaminan keselamatan kerja bagi buruh.

MoU ini merupakan cikal bakal mendaratnya modal Tiongkok di Morowali dan peresmian smelter pertama milik PT Sulawesi Mining Invesment oleh Presiden Jokowi pada 2014, dengan nilai investasi per 2023 mencapai USD30.146.000 atau setara Rp463,645 triliun.

Beberapa anak tampak bermain di sekitar PLTU captive yang ada di IMIP, Morowali, Sulteng. Foto: Trend Asia.

Yusman menuturkan, hampir sebagian besar pekerja di kawasan IMIP memiliki tempat tinggal dengan menyewa kos-kosan dengan biaya Rp1 juta hingga Rp1,5 juta per bulan, belum lagi untuk kebutuhan sehari-hari seperti BBM dengan besaran Rp17 ribu per liter dan kebutuhan domestik lainnya bagi yang sudah berkeluarga.

Apabila upah yang didapatkan oleh pekerja hanya berkisar sekitar Rp5 - 7 juta, kata Yusman, kondisi keuangan para pekerja hanya pas- pasan saja, tidak ada kelebihan untuk disimpan dan dikirim kepada keluarga di kampung.

"Bayar biaya kos, listrik, makan selama satu bulan, bahan bakar, air, serta kebutuhan khusus anak dan istri jika pekerja yang berkeluarga. Sementara untuk bisa mendapatkan upah yang besar misalnya Rp10 juta-Rp11 juta harus mengorbankan waktu istirahat dengan mengambil lembur,” ujar Yusman, dalam sebuah diskusi peluncuran hasil riset tersebut, yang digelar 29 Juli 2024, di Kota Palu.

Persoalan pekerja bukan hanya itu. Menurut Yusman, pekerja yang mengalami sakit harus memeriksa ke klinik IMIP dan memberikan bukti surat keterangan sakit (SKS) ke manajemen perusahaan. Apabila tidak membuktikan SKS, maka pekerja yang sakit di anggap mangkir dan mendapat potongan upah Rp35 ribu-Rp50 ribu per hari.

Sementara itu, klinik IMIP biasanya membatasi waktu pelayanan dari pukul 07.00-23.00 WITA, bahkan ada sebagian besar pekerja harus mengantre sampai 5-6 jam untuk mendapat pelayanan. Terkadang karena terbatasnya layanan klinik, para pekerja berobat ke apotek-apotek yang bekerja sama dengan klinik IMIP dan harus mengeluarkan biaya Rp100 juta per satu kali pemeriksaan hingga mendapatkan SKS.

"Pembatasan waktu pelayanan klinik tersebut karena kurangnya tenaga medis sementara pekerja yang berobat tiap hari membludak," ujar Yusman.

Di sisi lain, lanjut Yusman, kecelakaan kerja yang menjadi momok menakutkan selalu menghantui pekerja yang sewaktu-waktu dapat terjadi, akibat standarisasi sistem kesehatan dan keselamatan kerja (K3) di perusahaan yang selalu dikesampingkan oleh setiap perusahaan/tenant yang ada di kawasan IMIP.

Hal ini dapat terlihat dari alat kerja yang digunakan, yang terkadang tidak sesuai standar, bahkan tidak cukup untuk digunakan dalam sebulan seperti pembagian baju, celana, sepatu diberikan dalam waktu 5 bulan sekali, pembagian helm 2 tahun sekali, pembagian masker 1 bulan 1 kali, masker 3M 15 PCS dalam 1 dos, kaos tangan las dan gerinda 1 bulan 1 kali (isi 10 pasang PCS dalam 1 package), pembagian kaca mata 1 bulan sekali (isi 10 PCS) yang menurut buruh sangat tidak nyaman bahkan kadang rusak saat digunakan.

Yusman menyebut, alat pelindung diri (APD) kerja yang tidak memadai untuk pekerja mekanik dan furnace (tungku) inilah yang menjadi salah satu faktor terjadinya kecelakaan kerja, dan tidak sebanding dengan tuntutan kerja yang harus dilakukan oleh pekerja dengan 4 sistem kerja.

"Bahkan dalam waktu 8 jam kerja, ada 1 jam waktu yang digunakan untuk lembur wajib. Lembur wajib inilah yang tidak memiliki kejelasan nilai pembayarannya. Tercatat dalam kurun waktu 4 bulan mulai Desember 2023, Januari, Februari, dan Maret 2024 mulai dari kecelakaan lalu lintas 27%, insiden perbaikan 58% dan insiden ledakan produksi 15%," kata Yusman.

Demikian juga dengan persoalan konflik agraria yang terjadi kawasan PT Indonesia Huabao Industrial Park (IHIP), yang menurut Walhi, masih menjadi persoalan mendasar dari buruknya praktik investasi Tiongkok yang berlokasi di Kecamatan Bungku Barat, Morowali. Yusman menjelaskan, secara umum konsolidasi lahan oleh pihak perusahaan dilakukan dengan cara merampas secara paksa dengan melakukan penimbunan di atas irigasi yang merupakan sumber air untuk lahan pertanian (sawah) warga seperti yang terjadi di Desa Topogaro.

Penimbunan yang dilakukan untuk pembangunan jalan houling perusahaan hingga akhirnya berdampak gagal panen bagi petani akibat kekeringan. Praktik terselubung ini dilakukan oleh pihak perusahaan dengan tujuan menimbun irigasi tersebut agar petani berhenti melakukan aktivitas bertani.

"Setelah petani kesulitan melakukan aktivitas bertaninya, PT BTIIG/IHIP datang melakukan negosiasi lahan. Karena merasa lahan sudah tidak lagi produktif petani terpaksa menjual lahannya. Ada sebanyak 20 KK petani yang memiliki lahan sawah kurang lebih 170 hektare, saat ini tinggal tersisa 8 hektare sawah dan 2 hektare lahan yang dikonversi ke perkebunan," ujar Yusman.

Hal tersebut juga dialami oleh warga yang ada di Desa Parilangke dan Bahonsuai. Hasil riset Walhi Sulteng menunjukkan, ada sebanyak 115 orang nelayan yang kehilangan mata pencariannya akibat tidak produktif lagi membudidayakan rumput laut. Diduga itu terjadi sejak PT BTIIG melakukan penimbunan pantai di Desa Ambunu dan Tondo seluas 40 hektare.

Aktivitas penimbunan itu diduga membuat air laut bercampur lumpur hingga menyebabkan budidaya rumput laut tidak berkembang dengan baik. Tak hanya itu, kata Walhi Sulteng, sebanyak 14 hektare lahan sawit milik 12 KK di Desa Ambunu, diambil secara paksa oleh perusahaan dengan dalih atau modus salah gusur.

Warga Desa Tondo, Kecamatan Bungku Barat, Rahman Ladanu, juga menyampaikan permasalahan praktik investasi Tiongkok di desanya, berupa penggunaan jalan tani oleh perusahaan dengan berasaskan MoU sepihak oleh BTIIG dengan pemerintah daerah. MoU dimaksud dilakukan tanpa adanya keterlibatan, dan tidak disosialisasikan kepada masyarakat.

Walhasil kesepakatan tersebut sangat merugikan masyarakat yang umumnya adalah petani baik yang ada di desa Topogaro maupun desa Ambunu. Menurut Rahman, hingga saat ini persoalan tersebut belum juga menemukan titik terang.

Potret buruk dan karut marutnya investasi Tiongkok ini tidak hanya terjadi di kawasan IMIP maupun IHIP/BTIIG, tapi juga terjadi di kawasan PT Stardust Estate Investment (SEI) di Morowali Utara (Morut). Hasil riset menunjukkan, aktivitas PLTU captive PT SEI berdampak buruk pada masyarakat Tanauge, dalam bentuk penyakit kulit dan infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), mulai dari anak anak hingga orang dewasa.

Yusman mengungkapkan, pada 2023, tercatat sekitar 1.750 orang terpapar ISPA di 10 desa di Kecamatan Petasia Timur. Berdasarkan data olahan Walhi Sulteng, di kawasan SEI terdapat 12 unit PLTU captive yang sedang beroperasi dan konstruksi dengan kapasitas total 2.945 MW. PT GNI merupakan pengendali utama.

Proyek pembangunan PLTU di kawasan SEI masuk dalam proyek Delong Nickel Phase III, setelah tahap I dan II dilakukan di kawasan VDNIP Konawe Sulawesi Tenggara, kawasan IMIP PLTU captive yang sedang beroperasi dan konstruksi total kapasitasnya 5.510 MW yang dikendalikan oleh 10 perusahaan.

"Di PT ITSS dan SMI dan kawasan IHIP terdapat 3 unit PLTU captive dengan total kapasitas 350 MW. Pengendali utama PT BTIIG. PLTU ini dibangun hanya berjarak 100-200 meter dari pemukiman warga di Desa Ambunu dan Tondo," ujar Yusman.

Lebih lanjut Yusman menuturkan, teknologi RKEF yang digunakan oleh perusahaan Tiongkok (IMIP, IHIP, SEI) ini jelas sangat rakus energi. Hal ini terlihat dari penggunaan PLTU captive dengan kapasitas 8.805 MW, yang pastinya akan memobilisasi batu bara ribuan ton sebagai bahan bakarnya.

"Dan dapat dipastikan angka tersebut masih akan terus bertambah seiring dengan pembangunan smelter untuk produksi nikel yang ada di kawasan BTIIG/IHIP," kata Yusman.

Peneliti nikel, Arianto Sangadji, berpendapat konsep hilirisasi nikel yang terus digembar-gemborkan oleh pemerintah, terus melahirkan kerusakan lingkungan yang sangat parah. Mulai dari deforestasi hingga peningkatan emisi karbon yang diakibatkan dari aktivitas perusahaan.

Arianto juga menjelaskan, rantai pasok dari hilirisasi nikel juga melibatkan perusahaan multinational corporation seperti Tesla, BMW, dan perusahaan otomotif yang memproduksi kendaraan listrik yang disuplai dari bahan dasar nikel yang diproduksi di Morowali dan Morowali Utara dengan menggunakan teknolgi RKEF yang sangat rakus energi.