LIPUTAN KHUSUS:

Pemerintah Diminta Setop Bermain Jurus Tangkap-Simpan Karbon


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Sepanjang sejarahnya, teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon gagal mencapai tujuannya, atau gagal memenuhi ekspektasi, memberi tambahan beban finansial dalam operasinya, serta berpotensi memberi dampak buruk terhadap lingkungan dan kesehatan komunitas.

Polusi

Jumat, 02 Agustus 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Penangkapan dan Penyimpanan Karbon atau carbon capture storage (CCS) dianggap teknologi gagal, sehingga pemerintah diminta menyetop promosi dan implementasinya bila hanya untuk memperpanjang hidup industri bahan bakar fosil. Demikian disampaikan 19 organisasi masyarakat sipil dalam sebuah pernyataan bersama, merespon pelaksanaan The International and Indonesia CCS Forum 2024.

Dalam pernyataan bersama itu, kelompok ini menjelaskan, The International and Indonesia Forum CCS 2024 mempromosikan CCS sebagai bagian dari upaya penurunan emisi gas rumah kaca dan bagian dari aksi iklim untuk mencegah krisis akibat pemanasan global dan perubahan iklim.

Melalui teknologi ini karbon dioksida (CO2) dari berbagai sumber industri (PLTU batu bara, PLTG, industri baja, industri migas, dan lain sebagainya) akan dipisahkan, diolah, dan disimpan ke dalam lokasi penyimpanan jangka panjang, biasanya ke dalam formasi geologi di bawah tanah. Para promotor teknologi ini menyebut tujuannya adalah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan dengan demikian memitigasi perubahan iklim.

"Namun sesungguhnya teknologi ini adalah teknologi yang sepanjang sejarahnya gagal mencapai tujuannya, atau gagal memenuhi ekspektasi, memberi tambahan beban finansial dalam operasinya, serta berpotensi memberi dampak buruk terhadap lingkungan dan kesehatan komunitas," tulis kelompok masyarakat sipil dalam pernyataan bersama yang dirilis Selasa lalu.

Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) bertenaga batu bara melepaskan emisi karbon dioksida, yang menjadi salah satu faktor terbesar pemanasan global saat ini. Foto: loe.org

Kelompok ini menguraikan, permasalahan pertama yang sangat tampak adalah CCS memiliki sejarah panjang tantangan teknis dan finansial yang signifikan yang mengakibatkan proyek-proyek CCS berakhir dengan kegagalan, memiliki kinerja buruk dan mengakibatkan pembengkakan biaya. Pada proyek CCS Gorgon di Australia, misalnya, guna mengimbangi kekurangan target karbon dioksida sebesar 5,23 juta ton, Gorgon akhirnya harus menambah lebih banyak pembiayaan antara US$100 juta dan US$184 juta.

Cerita kegagalan lain bisa dilihat pada proyek CCS di Aljazair. Di sana, upaya menginjeksikan CO2 ke ladang gas yang telah terkuras sejak 2004, akhirnya harus dihentikan pada 2011, lantaran timbul kekhawatiran akan kemungkinan kebocoran. Sebab ditemukan adanya pergerakan pada lapisan tanah yang seharusnya mampu mencegah kebocoran CO2 ini.

"Peristiwa serupa terjadi pada proyek CCS Sleipner di Norwegia, yang mana CO2 yang telah disuntikkan jauh ke dalam perut bumi, bermigrasi naik ke lapisan atas lebih cepat dari yang diperkirakan," kata kelompok ini.

Sebuah Laporan dari Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), bahkan menunjukkan bahwa dari 13 proyek CCS/CCUS “andalan, berskala besar” di seluruh dunia yang bertanggung jawab terhadap lebih dari separuh operasi CCS/CCUS hanya menghasilkan total 39 juta ton CO2 per tahun. Angka ini hanya sekitar 1/10.000 dari total 36 miliar ton emisi yang dibuang ke atmosfer pada 2021.

Permasalahan kedua yang muncul dari operasi proyek CCS/CCUS adalah dampak lingkungan dari peningkatan tekanan air, pengasaman laut, dan kemungkinan proyek CCS memicu gempa bumi akibat penginjeksian CO2 ke bawah tanah, serta risiko kesehatan akibat risiko kebocoran CO2.

Meskipun dikatakan teknologi CCS telah dikembangkan sejak 1970-an, namun sebetulnya penggunaannya secara umum dipakai untuk meningkatkan perolehan minyak (enhanced oil recovery/EOR), yaitu proses di mana CO2 yang ditangkap disuntikkan ke ladang minyak untuk meningkatkan jumlah minyak mentah yang diekstraksi.

Sehingga alih-alih menurunkan emisi karbon, praktek ini sesungguhnya justru mendorong peningkatan produksi bahan bakar fosil, yang pada akhirnya menyebabkan emisi karbon tambahan, karena lebih dari 80% proyek CCS digunakan untuk EOR, atau untuk produksi minyak dan gas. CO2 yang terkompresi juga sangat berbahaya jika bocor dan terlepas ke permukaan, karena dapat mengakibatkan sesak napas pada manusia dan hewan.

"Pada 2020 misalnya, jaringan pipa transportasi CO2 yang merupakan bagian dari proyek EOR di Mississippi, AS mengalami kerusakan, yang kemudian mengakibatkan lebih dari 200 orang harus dievakuasi, dan 45 orang harus menjalani rawat inap karena keracunan karbon dioksida," ujar kelompok tersebut.

Permasalahan ketiga, pendekatan CCS ini akan melanggengkan inefisiensi energi, dikarenakan besarnya konsumsi energi yang dibutuhkan dalam fase-fase tertentu operasi CCS. Fase yang paling membutuhkan energi adalah penangkapan dan kompresi karbon, dengan sejumlah tambahan lain lagi yang dibutuhkan untuk transportasi dan penyimpanan, terutama karena CO2 butuh untuk dicairkan lebih dahulu untuk transportasi dan penyimpanan yang efisien.

Energi yang dibutuhkan pada fase penangkapan dan kompresi saja dapat mencapai 330-420 kWh per ton CO2 yang ditangkap. Secara rata-rata proyek CCS akan mengakibatkan peningkatan permintaan energi hingga sebesar 15%-25% bagi fasilitas penangkapan karbon mereka.

Permasalahan keempat adalah masalah memastikan penyimpanan permanen. Agar CCS menjadi pilihan yang layak untuk dekarbonisasi, penting untuk memastikan bahwa karbon dapat disimpan dalam keadaan stabil secara permanen. IPCC menggunakan kata “durably” atau “awet/tahan lama” untuk menggambarkan penyimpanan CO2 di reservoir geologis, baik di daratan maupun di laut, atau dalam produk untuk penghapusan karbon dioksida/carbon dioxide removal (CDR).

"Tidak ada definisi yang jelas mengenai jangka waktu yang dimaksud dengan "awet/tahan lama" ini, tetapi beberapa pihak menyebut setidaknya dibutuhkan 200-300 tahun untuk menyimpan CO2," kata mereka.

Menurut kelompok itu, secara praktis hampir mustahil untuk memastikan ada mekanisme dan sistem legal yang memadai untuk dapat menjamin pertanggung-jawaban dari penyimpanan karbon dalam jangka waktu yang begitu lama. Setelah periode operasi korporasi penyimpan karbon berakhir, siapa yang akan bertanggung jawab terhadap CO2 yang diinjeksi ke dalam tanah serta berbagai permasalahan yang sebelumnya telah disinggung.

Pada akhirnya, besar kemungkinan pemerintahan negara di mana CO2 itu diinjeksikan yang akan mengambil alih tanggung jawab tersebut dan membiayai pengelolaan sejumlah besar upaya penyimpanan karbon dengan biaya publik hingga bergenerasi-generasi mendatang.

Namun, lanjut kelompok ini, semua cerita kegagalan dan ketidakefektifan teknologi CCS/CCUS ini tidak menghentikan minat pemain industri fosil untuk menggunakannya, karena teknologi ini bisa dipakai sebagai dalih operasi mereka. Peta jalan Badan Energi Internasional menunjukkan, untuk selaras dengan target menahan peningkatan suhu global di bawah 1,5 Celcius sesuai Perjanjian Paris, penggunaan bahan bakar fosil harus turun sebesar 25% pada 2030, dan 80% pada 2050.

"Oleh karena itu, tidak boleh ada lagi proyek-proyek hulu migas baru yang akan beroperasi dalam jangka waktu lama, begitu pula dengan pertambangan batu bara baru, perluasan tambang, atau pembangkit listrik tenaga batu bara baru," tutur kelompok ini.

Dengan menyatakan akan menerapkan teknologi CCS/CCUS, industri bahan bakar fosil masih akan meneruskan operasi-operasi mereka bersandar pada perhitungan-perhitungan penyerapan karbon di masa depan yang sudah terbukti gagal di masa sekarang.

Di Indonesia sendiri Kementerian ESDM menyebut setidaknya 16 proyek CCS/CCUS akan dijalankan, termasuk pada proyek-proyek gas baru seperti di Blok Masela. Presiden Jokowi juga telah mengeluarkan Perpres Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon, yang akan memberi insentif lebih kepada industri fosil untuk menerapkan teknologi ini, dan juga memperbolehkan impor karbon dari luar negeri untuk diinjeksikan di Indonesia.

"Praktik membuang karbon dari satu negara ke negara lain semacam ini, tidak ubahnya bentuk lain dari kolonialisme limbah," ujar kelompok ini.

Oleh karena itu, para penandatangan pernyataan bersama ini meminta Pemerintah Indonesia untuk berhenti mempromosikan CCS/CCUS sebagai bagian dari upaya penurunan emisi gas rumah kaca, serta tidak menerapkan CCS/CCUS dalam kebijakan dan program transisi energi serta penanganan krisis iklim.

"CCS/CCUS tidak lebih adalah solusi palsu dari upaya mencegah pemanasan global dan krisis iklim, yang hanya dipakai dalih oleh para pemain kongsi dagang krisis untuk bisa memperpanjang penggunaan bahan bakar fosil, terus memenuhi atmosfer dengan emisi gas rumah kaca, dan memperburuk dampak pemanasan global dan krisis iklim," kata kelompok ini.

Pernyataan bersama ini ditandatangani oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Oil Change International, 350 Indonesia, Celios, Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL), Sajogyo Institute, Yayasan Srikandi Lestari, Arise! Indonesia, Auriga Nusantara, Trend Asia, Greenpeace Indonesia, Solidaritas Perempuan, Aksi! for Gender, Social and Ecological Justice, Walhi Aceh, Walhi Riau, Walhi Jabar, Walhi Jatim, dan Walhi Papua.