LIPUTAN KHUSUS:

Kulit Pohon: Pembersih Metana di Udara 


Penulis : Kennial Laia

Regenerasi hutan alami untuk lawan krisi iklim terbukti lebih hemat biaya di Indonesia dan kawasan Asia selatan lainnya, Andes, hingga Afrika barat dan tengah.

Perubahan Iklim

Jumat, 26 Juli 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Penelitian terbaru  menemukan, mikroba di kulit pohon memainkan peran penting dalam menghilangkan metana dari atmosfer. 

Metana merupakan gas rumah kaca, yang berasal dari aktivitas pertanian dan pembakaran bahan bakar fosil dan 28 kali lebih kuat dibandingkan karbon dioksida. Namun, ia tetap berada di atmosfer untuk waktu yang lebih singkat.

Metana telah menyebabkan sekitar 30% pemanasan global sejak masa pra-industri, dan emisi saat ini meningkat pada tingkat tercepat sejak 1980-an.

Tim di balik penelitian yang dilakukan oleh University of Birmingham, yang diterbitkan dalam jurnal Nature dan dipimpin oleh Prof Vincent Gauci, menyelidiki tingkat penyerapan metana di hutan tropis dataran tinggi di Amazon dan Panama; pohon berdaun lebar beriklim sedang di Wytham Woods di Oxfordshire, Inggris; dan pohon hutan jenis konifera boreal di Swedia.

Pohon Merbau yang tumbuh banyak di hutan alam Tanah Papua. (istimewa)

Tingkat penyerapan metana merupakan yang tertinggi di hutan tropis, yang kemungkinan disebabkan kemampuan mikroba untuk berkembang dalam kondisi hangat dan basah.

Sebelumnya, tanah dianggap sebagai satu-satunya tempat pembuangan metana di bumi, karena bakteri di dalam tanah mampu menyerap gas tersebut dan memecahnya untuk digunakan sebagai sumber energi. Namun Gauci mengatakan penelitian tersebut menyoroti “cara baru yang luar biasa di mana pohon menyediakan layanan iklim yang penting”.

Ikrar Metana Global (Global Methane Pledge), yang diluncurkan pada 2021 pada KTT iklim COP26, menguraikan tujuan untuk mengurangi emisi metana sebesar 30% pada akhir dekade ini. “Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa menanam lebih banyak pohon dan mengurangi deforestasi tentunya harus menjadi bagian penting dari setiap pendekatan untuk mencapai tujuan ini,” kata Gauci, Rabu, 25 Juli 2024. 

Di sisi lain, penanaman pohon telah menjadi taktik utama dalam memerangi krisis iklim. Namun penelitian menyatakan bahwa regenerasi hutan alami terbukti lebih hemat biaya dalam beberapa keadaan.

Jacob Bukoski, ilmuwan dari fakultas kehutanan Oregon State University, mengatakan timnya menganalisis data dari ribuan lokasi reboisasi di 130 negara untuk penelitian ini, yang diterbitkan dalam jurnal Nature Climate Change. Mereka menemukan bahwa regenerasi alami akan menjadi yang paling hemat biaya dalam jangka waktu 30 tahun di 46% wilayah yang diteliti, sementara penanaman akan lebih hemat biaya bagi 54% lainnya. 

“Secara umum, kita bisa membiarkan hutan beregenerasi dengan sendirinya, yang memakan waktu lambat namun murah, atau mengambil pendekatan yang lebih aktif dan menanamnya, yang akan mempercepat pertumbuhan namun lebih mahal,” kata Bukoski. 

“Studi kami membandingkan kedua pendekatan ini pada lanskap yang dapat dihutankan kembali di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah, untuk mengidentifikasi di mana regenerasi atau penanaman hutan secara alami mungkin lebih masuk akal,” ujarnya. 

Regenerasi alami terbukti lebih hemat biaya di wilayah seperti Meksiko bagian barat, kawasan Andes, bagian selatan Amerika Selatan, Afrika bagian barat dan tengah, India, Tiongkok bagian selatan, Malaysia, dan Indonesia.

Kombinasi beberapa faktor menjadikan regenerasi alami lebih baik di kawasan ini, seperti apakah terdapat kondisi ekologi yang memadai untuk pertumbuhan kembali pohon, peluang dan biaya implementasi, serta tingkat akumulasi karbon.

Para ilmuwan menyimpulkan bahwa penggunaan kombinasi kedua pendekatan tersebut secara global akan 44% lebih baik dibandingkan dengan regenerasi alami saja dan 39% lebih baik dibandingkan dengan hanya menanam saja. 

“Jika tujuan Anda adalah menyerap karbon secepat dan semurah mungkin, pilihan terbaik adalah menggabungkan antara regenerasi hutan secara alami dan penanaman hutan,” kata Bukoski.

Meskipun reboisasi terbukti sangat efektif dalam mengimbangi emisi gas rumah kaca, para penulis menekankan bahwa reboisasi adalah pelengkap–bukan solusi permanen–pengurangan emisi bahan bakar fosil. Seluruh potensi mitigasi reboisasi selama 30 tahun hanya setara dengan emisi gas rumah kaca global dalam waktu kurang dari delapan bulan.

Para penulis juga berpendapat bahwa banyak faktor lain yang harus dipertimbangkan selain karbon ketika memutuskan di mana dan bagaimana melakukan reboisasi suatu lanskap, seperti dampak reboisasi terhadap keanekaragaman hayati, permintaan produk kayu dan efek biofisik non-karbon seperti ketersediaan air.