LIPUTAN KHUSUS:

Konsorsium Agraria Kritik Hak Istimewa HGU dan HGB di IKN


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hak istimewa kepada investor IKN berupa HGU 190 tahun dan HGB 160 tahun tabrak berbagai aturan.

Agraria

Kamis, 25 Juli 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Pemberian hak istimewa kepada para investor di Ibu Kota Nusantara (IKN) melalui konsesi Hak Guna Usaha (HGU) selama 190 tahun dan Hak Guna Bangunan (HGB) selama 160 tahun, yang diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 75 Tahun 2024 tentang Percepatan Pembangunan IKN, mendapat kritik dari kalangan masyarakat sipil. Kebijakan itu dianggap lebih buruk dibandingkan aturan zaman kolonial.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai obral HGU dan HGB itu sebagai sebuah pembangkangan terhadap konstitusi dan demokrasi. Sebab dilakukan secara diam-diam dan menerabas berbagai aturan yang ada di atasnya.

"Kita tentu masih ingat, periode September tahun lalu bagaimana pemerintah dan DPR secara senyap, jauh dari pantauan publik mengesahkan revisi UU IKN dengan memasukkan beleid HGU 190 tahun dan HGB 160 tahun dengan alasan untuk memantik minat investor untuk masuk ke IKN," kata Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal (Sekjen) KPA, dalam sebuah pernyataan resmi, Senin pekan lalu.

Sebelumnya, kata Dewi, konsesi HGU 190 tahun dan HGB 160 tahun di IKN telah dikemas dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.12/2023 tentang Pemberian Perizinan Berusaha Kemudahan Berusaha dan Fasilitas Penanaman Modal Bagi Pelaku Usaha di IKN. Presiden Joko Widodo meneken aturan tersebut pada 6 Maret 2023, beberapa bulan sebelum presiden dan DPR melakukan revisi UU IKN secara diam-diam tanpa diketahui publik untuk memasukkan klausul tersebut.

Presiden Joko Widodo dan Ibu Iriana Jokowi melakukan penanaman pohon bersama para menteri dan Gubernur se-Indonesia di Titik Nol IKN pada 4 Maret 2022 lalu./Foto: KLHK

"Di sisi lain, penerbitan Perpres ini sebagai bentuk ahistoris pengurus negara terhadap sejarah kelam agraria bangsa ini melalui Agrarische Wet 1870 pada masa penjajahan dulu," ujarnya.

KPA, kata Dewi, sejak jauh-jauh hari telah mengingatkan bahwa kebijakan ini sangat berbahaya dan melenceng jauh dari konstitusi dan UUPA 1960. Bahkan KPA sudah mengingatkan saat Menteri ATR/BPN sebelumnya, Hadi Tjahjanto pertama kali mencetuskan ide tersebut pada 2022.

Ada beberapa catatan atas kebijakan obral HGU dan HGB di IKN ini. Yang pertama, Undang-Undang Pokok Agraria 1960 (UUPA 1960) mengatur HGU maksimal selama 35 tahun dan bisa diperpanjang maksimal 25 tahun bila memenuhi syarat. Untuk HGB, undang-undang ini mengatur haknya maksimal 30 tahun dan bisa diperpanjang maksimal 20 tahun.

"Angka ini jauh berbeda dengan HGU dan HGB yang ada di IKN," kata Dewi.

Selain itu, lanjut Dewi, UUPA 1960 sudah mengatur bahwa perpanjangan hak hanya dapat dilakukan sepanjang pemilik hak masih memenuhi syarat sesuai aturan UUPA 1960. Perpres ini terbukti melanggar Pasal 28 sampai dengan Pasal 40 UUPA. Sebab UU tersebut tidak pernah memandatkan pemberian HGU, HGB, dan Hak Pakai dengan perpanjangan dan pembaruan hak dalam satu siklus pemberian hak.

"Parahnya, Perpres 75/2024 kebablasan dengan menjamin pemberian hak dalam dua siklus, 2 x 95 tahun untuk HGU, 2 x 80 tahun untuk HGB dan HP. Inilah pelanggaran fundamental terhadap UUPA," ujar Dewi.

Yang kedua, Presiden Joko Widodo bersama jajarannya telah mengingkari serajah dan prinsip kemerdekaan Indonesia di bidang agraria yang telah digariskan oleh para pendirinya (the founding fathers). UUPA 1960 sebagai payung hukum agraria nasional merupakan pelaksanaan dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Pasal 33 UUD 1945 dan Manifesto Politik Republik Indonesia.

Dewi bilang, alih-alih menjalankan UUPA 1960 secara konsekuen, Presiden Joko Widodo bersama jajarannya kembali lagi mempetieskan UUPA sebagai modus politik untuk menerbitkan UU sektoral pro pemodal, khususnya bagi pengembangan IKN. Pemerintah saat ini, menurut Dewi, layaknya penjelmaaan Orde Baru.

"Sebab jelas-jelas mengabaikan keberadaan hukum agraria tertinggi setelah UUD 1945, dan yang masih hidup di republik ini, yaitu UUPA 1960," katanya.

Ketiga, pemerintahan saat ini seperti ahistoris akan sejarah kelam bangsa ini di bidang agraria pada masa kolonial. Saat itu, kata Dewi, Pemerintah Kolonial Belanda melalui Agrarische Wet 1870 yang memberikan konsesi atas tanah paling lama 75 tahun. Penerapan UU ini mengakibatkan terjadinya perampasan tanah dan kemiskinan yang akut masyarakat yang berada di sekitar konsesi.

Di jaman kemerdekaan, Agrarische Wet dicabut melalui UUPA 1960. Saat itulah, imbuh Dewi, mulai didorong usaha-usaha pembaruan paradigmatik politik dan hukum agraria secara fundamental. Usaha landr eform ini bertujuan memulihkan sistem agraria Indonesia yang mengalami krisis akibat dirampas dan dieksploitasi oleh pemerintahan kolonial.

"Sungguh ironis, justru di alam kemerdekaan dan di masa Reformasi ini, UUPA kembali dikhianati dengan membuat aturan yang lebih buruk dan lebih jahat dibandingkan kebijakan produk kolonial di masa lalu," ucap Dewi.

Keempat, Putusan MK No.21-22/PPU-V/2007 terkait pemberian konsesi sekaligus di muka telah menyatakan bahwa pemberian hak atas tanah sekaligus di muka (pemberian hak, perpanjangan dan pembaruannya) berupa 95 tahun HGU, 80 tahun HGB dan 70 tahun Hak Pakai melanggar Konstitusi. Dewi mengatakan, putusan MK ini berkaitan dengan amar putusan atas permohonan judicial review organisasi masyarakat sipil terhadap UU 25/2007 tentang Penanaman Modal.

Penggunaan konsep “siklus pemberian” dalam Perpres 75/2024 ini, katanya, sama saja makna, maksud dan tujuannya dengan konsep “di muka sekaligus” dalam UU Penanaman Modal. Artinya, sama-sama bertujuan memberikan, memperpanjang dan memperbarui HGU/HGB/HP sekaligus dalam satu siklus pemberian hak.

Kelima, Perpres 75/2024 merupakan turunan dari UU No.21/2023 tentang Perubahan atas UU No.3/2022 tentang Ibu Kota Negara. Sementara UU tersebut merupakan hasil dari UU Cipta Kerja.

Pembangunan IKN oleh otoritas juga akan ditopang oleh UU Pengadaan Tanah dan UU Penanaman Modal hasil perubahan UU Cipta Kerja. Termasuk beberapa aturan turunannya, misalnya PP 19/2021 tentang Pengadaan Tanah, PP 18/2021 tentang HPL dan Hak Atas Tanah, PP 64/2021 tentang Bank Tanah, dan PP 23/2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan.

Dengan demikian, kata Dewi, sebagaimana UU Cipta Kerja yang telah dinyatakan Inkonstitusional Bersyarat, maka Perpres ini pun bersifat inkonstitusional. Oleh sebab itu pelaksanaan Perpres ini bersifat melawan konstitusi.

"Isi Perpres ini juga merupakan kebijakan yang bersifat strategis dan akan berdampak luas. Lebih-lebih Perpres ini juga menyebabkan kontradiksi hukum dengan banyak putusan MK lainnya," ucap Dewi.

Keenam, kebijakan siklus HGU akan memperparah konflik agraria dan monopoli tanah di Kalimantan Timur. Kurang lebih satu dekade terakhir, Catatan Akhir Tahun KPA melaporkan bahwa bisnis di sektor perkebunan dengan masalah HGU-nya menjadi penyebab konflik agraria tertinggi setiap tahunnya.

Dari 2.939 letusan konflik agraria di era Pemerintahan Jokowi (2015-2023), 1.131 letusan konflik agraria adalah akibat penguasaan dan perpanjangan HGU oleh perusahaan perkebunan. Belum lagi, kata Dewi, persoalan HGU expired dan tanah terlantar yang jumlahnya jutaan hektare dan tidak kunjung ditertibkan oleh pemerintah.

Dewi menjelaskan, sistem perkebunan dan pemberian/pencabutan HGU di Indonesia dikenal buruk, sarat dengan perampasan tanah petani dan masyarakat adat, sarat juga kekerasan dan pelanggaran HAM. Situasi ini ditopang oleh ketertutupan informasi HGU, ditambah proses-proses pelepasan dan tukar-guling kawasan hutan berkutat pada kepentingan ekspansi sawit.

"Dengan sistem ekonomi-politik agraria, kehutanan yang semacam ini, maka tidaklah mengherankan pusat-pusat perkebunan monokultur di Indonesia, seperti bisnis sawit menjadi epistentrum konflik agraria," ujarnya.

Ketujuh, obral murah HGU dan HGB tanpa transparasi dan sanksi, akan menyuburkan korupsi agraria dan SDA, mafia tanah, spekulan tanah dan praktik land banking. Perlu dicatat, sambung Dewi, selama ini pemberian/perpanjangan HGU-HGB serta akumulasi konflik agraria berjalan beriringan dengan praktik mafia dan korupsi agraria. Sayangnya jejaring mafia, perilaku koruptif, kolutif dan nepotisme di seputar pemberian HGU perkebunan relatif jarang dibongkar oleh satgas mafia dan KPK.

Dewi menerangkan, di dalam sistem ekonomi-politik agraria yang koruptif semacam itu, maka ketertutupan informasi HGU dan HGB masih akan diteruskan, penerbitan/perpanjangan HGU/HGB yang jarang diumumkan secara adequate ke publik, minus penertiban dan pemberian sanksi kepada pengusaha, maka obral-obral HGU dan HGB lewat penerapan Perpres 75/2024 hanya akan menambah subur praktik mafia dan korupsi agraria yang berkelindan dengan akumulasi kekayaan oleh segelintir kelompok.

"Para spekulan tanah, korporasi kebun dan pengusaha properti yang selama ini telah sukses mengakumulasi aset kekayaan berupa tanah, akan semakin secured untuk melakukan pencadangan aset tanah (land bangking)," tutur Dewi.

Kedelapan, Perpres 75/2024 mempertegas kewenangan Otoritas IKN yang begitu luas dan powerfull, termasuk dalam hal pengadaan dan pengelolaan tanah sebagai diatur dalam UU No.21/2023 tentang Perubahan atas UU No.3/2022 tentang Ibu Kota Negara. Hal tersebut berpotensi menimbulkan abuse of power.

Dewi menjelaskan, Otorita IKN adalah pelaksana kegiatan persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggara Pemerintahan Daerah Khusus IKN. Semakin super, sebab terkait agraria (pertanahan, kehutanan, perairan, dan kekayaan alam), teritorial IKN akan mencakup lebih dari 250 ribu hektare tanah dan 50 ribu hektare wilayah perairan. Belum lagi pengembangan bisnis di sekitarnya.

Selanjutnya Otorita IKN memiliki kewenangan dan previledge, yakni pengadaan tanah, penetapan lokasi pengadaan tanah di IKN, Otorita IKN diberi hak pakai dan/atau HPL, berhak mengikatkan diri dengan setiap individu atau badan hukum atas perjanjian hak atas tanah (HAT) di IKN, memberikan jaminan perpanjangan dan pembaruan HAT (HGU/HGB/HP) di atas HPL, memberikan persetujuan atas pengalihan HAT di IKN, dan memiliki hak untuk diutamakan dalam pembelian tanah di IKN.

Operasionalisasi otorita, Dewi melanjutkan, juga ditopang oleh UUCK alias Perppu CK dan berbagai produk hukum turunannya. Lebih-lebih, konsepsi Hak Pengelolaan (HPL) yang dirancang UUCK/Perppu CK merupakan bentuk Hak Menguasai dari Negara (HMN) yang tidak sesuai UUPA. HPL seolah menjadi jenis hak atas tanah yang baru, dan telah menghidupkan azas Domein Verklaring.

"Dulu azas ini digunakan pemerintah kolonial untuk mengakuisisi tanah penduduk secara sepihak atas nama kepentingan Negara Hindia Belanda dan atas nama pembangunan," kata Dewi.

Oleh sebab itu, lanjut Dewi, dengan mengantongi kewenangan HMN atas tanah melalui HPL, siklus HGU dan HGB yang fantastis bagi investor, prinsip good-land governance yang masih menjadi pekerjaan rumah besar, ketertutupan informasi HGU dan HGB selama ini, serta sanksi bagi investor IKN yang tidak jelas, maka potensi abuse of power oleh otorita semakin terbuka lebar.

Dewi berpendapat, pemerintah harus menjalankan Putusan MK No.001-021-022/PUU-1/2003 yang telah menegaskan kembali prinsip dasar HMN. Bahwa HMN merupakan kewenangan pengaturan, pengurusan, pengelolaan dan pengawasan atas tanah sesuai pasal 33 ayat 3 UUD 1945.

Kesembilan, proses ganti kerugian dalam pengadaan tanah di IKN berpotensi besar melahirkan praktik-praktik manipulatif yang mengorbankan masyarakat terdampak. Perpres No.75/2024 ini menawarkan empat bentuk kerugian kepada masyarakat yang terdampak nantinya, yakni uang, tanah pengganti, pemukiman kembali, serta bentuk lainnya yang disepakati oleh kedua belah pihak.

Akan tetapi, kata Dewi, beleid ini bisa berujung petaka bagi masyarakat, sebab memasukkan klausul bahwa Badan Otoritas IKN diperkenankan memilih jalur konsinyasi dengan masyarakat jika tidak ada bentuk ganti kerugian yang disepakati. Sejarah membuktikan, dalam setiap kasus pengadaan tanah, pemerintah selalu mengintimidasi masyarakat terdampak dengan jalur konsinyasi apabila mereka tidak setuju nilai ganti kerugian atau menolak digusur oleh proyek pembangunan.

"Sebab itu, pasal ini membuka lebar potensi praktik-praktik manipulatif terhadap proses ganti kerugian tanah masyarakat yang terdampak proyek pembangunan IKN," katanya.

Kesepuluh, mekanisme pengadaan tanah di IKN berpotensi besar meningkatkan deforestasi. Untuk diketahui, Proses pengadaan tanah di IKN dilakukan melalui dua mekanisme, yakni secara langsung dan pelepasan kawasan hutan.

Dewi menyebut, adanya mekanisme pelepasan kawasan hutan berpotensi menambah tingkat deforestasi secara besar-besaran di Kalimantan, khususnya di IKN. Sebab UU IKN memperbolehkan hal itu terjadi agar investor dapat memperoleh HGU.

Kesebelas, proyek IKN tanpa basis pelaksanaan Reforma Agraria. Terkait hal ini, KPA mempertanyakan apa capaian dan status pelaksanaan Reforma Agraria (RA) sepanjang 9 tahun terakhir di Kalimantan Timur.

Dewi menjelaskan, pemerintahan Jokowi berjanji menjalankan RA seluas 9 juta hektare untuk memperbaiki ketimpangan dan menuntaskan konflik agraria. Sumber tanah untuk rakyat dalam kerangka reforma agraria adalah berasal dari HGU dan HGB bermasalah, baik konsesi expired, terlantar, maupun yang bersifat tumpang-tindih dengan tanah masyarakat, hingga wilayah konflik agraria. Reforma Agraria juga mencakup koreksi terhadap klaim-klaim negara atas kawasan hutan, dari proses pelepasan dan perubahan batas kawasan hutan.

"Apa jadinya apabila pembangunan IKN dijalankan tanpa pemahaman krisis dan data agraria yang lengkap dan akurat? Sayangnya sampai dengan hari ini, Pemerintah belum pernah menyajikan laporan capaian dan hasil evaluasi pelaksanaan reforma agraria di Kalimantan Timur secara utuh dan terbuka," ucap Dewi.