LIPUTAN KHUSUS:

Ibu Kota Nusantara Gusur Nelayan Teluk Balikpapan


Penulis : Gilang Helindro

"Bukan alat berat atau ekskavator yang membuat kami hengkang, melainkan kerusakan ekosistem pesisir dan laut," kata Ketua Pokja Nelayan Pesisir Kalimantan Timur.

Kelautan

Selasa, 16 April 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Kerusakan Teluk Balikpapan akibat pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) terus mengancam ribuan nelayan. Mapaselle, Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Pesisir Kalimantan Timur mengatakan nelayan di Teluk Balikpapan merasa cemas karena sumber kehidupan mereka perlahan-lahan mulai tergusur. Pada Hari Nelayan Nasional 6 April lalu, para nelayan dan masyarakat pesisir mendesak para pemimpin untuk memperhatikan nasib nelayan.

“Bukan alat berat atau ekskavator yang membuat kami hengkang, melainkan kerusakan ekosistem pesisir dan laut. Jika pesisir dan laut rusak, maka tamatlah hidup kami,” kata Mapaselle pada Senin 15 April 2024.

Mapaselle, bersama ribuan nelayan lain menggantungkan hidup pada sumber perikanan di Teluk Balikpapan. Mereka mendesak pemerintah pusat untuk tidak melanjutkan pembangunan IKN. Alasannya, proyek tersebut telah menghancurkan ekosistem Teluk Balikpapan yang merupakan wilayah tangkap mereka.

Mapaselle bercerita, sebelum ada pembangunan IKN, nelayan harus berhadapan dengan ancaman perampasan ruang laut. Pemukiman mereka tidak diakui di dalam Peraturan Daerah (PERDA) Provinsi Kalimantan Timur Nomor 2 Tahun 2021 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2021-2041.

Salah satu kampung nelayan di kota Balikpapan yang terletak di muara sungai. Foto: flickr/a.mixie

“Di dalam Perda RZWP3K tersebut, pemukiman nelayan hanya dialokasikan seluas 31,80 hektare. Ini adalah peminggiran terencana bagi lebih dari 10 ribu nelayan yang setiap hari pergi melaut di Teluk Balikpapan. Belum lagi nelayan di wilayah lain di Kalimantan Timur,” ungkap Mapaselle.

Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Walhi Nasional mengatakan, pemenuhan HAM  masyarakat pesisir, nelayan tradisional dan nelayan kecil, maupun pulau kecil di Indonesia, masih minim. Padahal, ini amanat konstitusi. Prinsip dasar yang ada pada Undang-Undang Dasar 45 pasal 28 h berbunyi setiap warga negara berhak untuk mendapatkan lingkungan yang bersih dan sehat. 

“Kita lihat, di sini ada dua definisi HAM. Pertama yang sifatnya substantif, kedua prosedural,” kata Parid. 

Pertama definisi HAM substantif, di mana nelayan harus mendapat laut yang sehat, tidak tercemar, tidak ada kerusakan lingkungan. Kedua, definisi HAM prosedural, di mana nelayan dan masyarakat pesisir mendapatkan ruang dalam pengambilan keputusan.

Saat ini, kata Parid, potret pemenuhan HAM nelayan sangat buruk sekali di Indonesia. “Mulai dari hak mendapatkan lingkungan yang sehat, kemudian pemenuhan dan ruang partisipasi nelayan tidak dilaksanakan pemerintah,” ungkap Parid. 

Parid mencontohkan, pemenuhan prosedur, dalam pengaturan tata ruang, dalam perumusan integrasi rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) pemukiman, nelayan terabaikan sama sekali. “Bayangkan, pemukiman nelayan sangat kecil sekali dan tidak pernah dilibatkan,” kata Parid.