Peringkat Kebijakan dan Aksi Iklim Indonesia Tambah Turun di 2023
Penulis : Kennial Laia
Perubahan Iklim
Jumat, 02 Februari 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Kebijakan dan aksi iklim Indonesia menurun pada 2023. Berdasarkan laporan Climate Action Tracker (CAT), peringkat Indonesia saat ini adalah “sama sekali tidak memadai” (critically insufficient) untuk membatasi suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celcius. Posisi ini turun dibandingkan 2022, yang menempatkan Indonesia pada ranking “sangat tidak memadai” (highly insufficient).
Penilaian tersebut didasarkan pada kebijakan, aksi, dan target iklim dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) pada 2023.
Institute for Essential Services Reform (IESR) selaku kolaborator CAT mengatakan, dengan peringkat “sama sekali tidak memadai” secara target Enhanced NDC, Indonesia berpotensi mengeluarkan emisi gas rumah kaca sebesar 1.800 juta ton setara karbon dioksida untuk target dengan upaya sendiri dan 1.700 juta ton setara karbon dioksida dengan target bantuan internasional pada 2030. Jumlah emisi ini belum termasuk emisi dari sektor kehutanan dan lahan.
Menurut Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa, penurunan peringkat Indonesia menjadi “sama sekali tidak memadai” disebabkan peningkatan konsumsi batu bara yang digunakan untuk hilirisasi sektor pertambangan. Ia menekankan bahwa peringkat paling bawah dalam sistem penilaian CAT ini, mengindikasikan target dan kebijakan iklim saat ini akan memicu kenaikan emisi di atas 4 derajat Celcius.
“Indonesia membutuhkan aksi yang terukur dan nyata untuk bertransisi dari energi fosil dan melakukan akselerasi transisi energi ke energi terbarukan pada dekade ini,” kata Fabby dalam sambutannya pada peluncuran laporan Climate Action Tracker Assessment Indonesia dan Climate Transparency Implementation Check yang diselenggarakan oleh IESR, Selasa, 30 Januari 2024.
Menurut Fabby, pemerintah Indonesia telah membuat kemajuan terkait aksi mitigasi iklim sepanjang periode 2022-2023. Salah satunya mendorong pengembangan energi terbarukan melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Selain itu, target nir emisi (net zero) dan target penyerapan emisi di sektor hutan dan lahan (FOLU net sink) 2030 yang dikeluarkan pemerintah juga merupakan komitmen positif, dan dibutuhkan kebijakan ambisius untuk mewujudkannya.
Kenaikan emisi tahun 2022–sekitar 200 juta ton setara karbon dioksida–salah satunya disebabkan oleh meningkatnya konsumsi batubara. Emisi dari PLTU captive, pembangkit yang dioperasikan oleh perusahaan utilitas di luar PLN, diperkirakan akan meningkatkan emisi sekitar 100 juta ton pada 2030.
Sementara itu kebijakan iklim saat ini akan menempatkan Indonesia pada tingkat emisi sebesar 1.487-1.628 MtCO2e (di luar sektor hutan dan lahan) pada 2030.
Di sisi lain, Indonesia telah menyepakati Just Energy Transition Partnership (JETP) yang menargetkan bauran energi terbarukan lebih tinggi dari 34% pada 2030. Meski demikian Fabby menilai JETP belum menempatkan Indonesia selaras dengan target Persetujuan Paris.
Koordinator Proyek Climate Policy IESR, Delima Ramadhani, mengatakan agar sejalan dengan Persetujuan Paris emisi sektor ketenagalistrikan harus turun menjadi 140-150 juta ton setara karbon dioksida pada 2030, dan nir emisi pada 2040.
“Indonesia perlu menerapkan reformasi kunci yang disarankan dalam dokumen perencanaan dan kebijakan investasi komprehensif JETP (CIPP) serta merumuskan dan mengimplementasikan jalur dekarbonisasi yang ambisius untuk pembangkit listrik captive,” ujar Delima.
Sementara itu Analis Sistem Ketenagalistrikan IESR Akbar Bagaskara mengatakan, secara umum penilaian terhadap Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) adalah “sedang”. Artinya RUKN telah memiliki basis hukum yang jelas yakni Permen ESDM 143/2019. Namun implementasinya banyak menemui hambatan, termasuk target bauran energi terbarukan tahunan yang sering tidak tercapai.
“Sulitnya Indonesia dalam mencapai target tahunan bauran energi terbarukan seharusnya menjadi bahan evaluasi dan urgensi bagi pemerintah untuk menyiapkan strategi dan inovasi yang progresif untuk mencapai target-target tersebut dan sesuai dengan Persetujuan Paris,” kata Akbar.
Akbar mengatakan, untuk meningkatkan implementasi pengembangan energi terbarukan di Indonesia, pemerintah perlu meningkatkan keberadaan undang-undang pendukung untuk menciptakan lingkungan yang lebih baik. Kemudian, menyediakan perangkat yang jelas dan komprehensif mulai dari proses perencanaan, pengadaan, dan pelaporan, terutama untuk pemegang area bisnis selain PLN.
Pemerintah juga harus menciptakan model pendapatan baru untuk PLN. Hal lainnya adalah memperbaiki kerangka kerja keuangan berkelanjutan PLN untuk mendorong lebih banyak sumber pembiayaan.
SHARE