KTT AIS 2023 Diklaim Selamatkan Pulau Kecil dan Pesisir, Tapi...
Penulis : Gilang Helindro
Kelautan
Kamis, 12 Oktober 2023
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Pemerintah menyatakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Negara-negara Pulau dan Kepulauan atau Archipelagic and Island State (AIS) Forum 2023 merupakan salah satu upaya penting menyelamatkan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. Menurut pemerintah, forum ini adalah bentuk nyata kontribusi Indonesia kepada dunia internasional.
KTT AIS telah diselenggarakan di Bali pada 10-12 Oktober 2023.
Menanggapi klaim pemerintah, Mustaghfirin, yang biasa disapa Bobi, nelayan Pulau Pari di Kepulauan Seribu, mengatakan bahwa pelaksanaan KTT AIS 2023 hanya terlihat di atas kertas. Menurutnya, di tengah KTT AIS 2023 ini, banyak pulau-pulau kecil di Indonesia yang telah dan sedang tenggelam akibat kenaikan air laut yang dipicu oleh krisis iklim.
“Sangat ironis, karena pemerintah Indonesia tidak melakukan apa-apa untuk menyelamatkan pulau-pulau kecil yang telah dan tengah tenggelam,” katanya dalam konferensi pers Rabu, 11 Oktober 2023.
Bobi mencontohkan Pulau Pari, tempat dimana ia, keluarga, dan beserta warga yang hidup, yang kini terancam tenggelam. Sudah sebelas persen dari Pulau Pari hilang akibat kenaikan air laut. Demi menahan kenaikan air laut, Bobi bersama tiga orang warga Pulau Pari lainnya, sejak awal Februari 2023 mewakili warga menggugat Holcim, perusahaan semen terbesar di dunia.
Menurut Bobi, Holcim telah memproduksi emisi lebih dari 7 miliar ton CO2 sejak 1950. "Hampir satu tahun gugatan berjalan, tetapi Pemerintah Indonesia tidak memberikan dukungan sedikitpun bagi langkah kami. Hal ini terbalik dengan apa yanag dilakukan sejumlah pemerintah di negara lain, di antaranya Menteri Keadilan Austria, Alma Zadic, yang secara terbuka mendukung gugatan kami," kata dia. “Harusnya pemerintah Indonesia malu,” ungkap Bobi.
Forum KTT AIS 2023 di Bali, tambah Bobi, takkan bermakna apa-apa jika pemerintah tidak memiliki keseriusan menyelamatkan Pulau Pari dan seluruh pulau kecil di Indonesia.
“Kami mendesak Holcim sebagai perusahaan raksasa pencemar bertanggung jawab emisi yang telah mereka keluarkan,” ungkapnya.
Senada dengan Bobi, Amin Abdullah, Nelayan di Lombok Timur dan juga Ketua Lembaga Pengembangan Sumber Daya Nelayan (LPSDN), Nusa Tenggara Barat menilai kehidupan nelayan semakin sulit.
Amin menegaskan KTT AIS 2023 tidak akan bermanfaat bagi kehidupan nelayan tradisional di Indonesia selama pemerintah tidak mau menghentikan seluruh proyek yang merusak wilayah pesisir, laut, dan pulau kecil, seperti pertambangan pasir laut yang kini dilegalisasi oleh PP No. 26 Tahun 2023.
Menurut Amin, kehidupan nelayan kini semakin sulit akibat dampak krisis iklim. Salah satu dampak dari krisis iklim adalah banyaknya nelayan tradisional di Lombok Timur harus melaut semakin jauh untuk menangkap ikan sampai ke perairan Sumba.
“Situasi di lapangan semakin buruk. Nelayan harus menghadapi krisis iklim pada satu sisi. Di sisi lain, mereka harus berhadapan dengan dampak pertambangan pasir laut yang dulu pernah dialokasikan untuk reklamasi Teluk Benoa,” tegasnya.
Dalam catatan Amin, kehidupan nelayan juga semakin sulit sejak disahkannya UU Cipta Kerja dan PP No. 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur. Nelayan tradisional, ujarnya, harus mengurus perizinan yang sangat rumit. “Kita bisa bayangkan, bagaimana nelayan mengurus perizinan yang begitu banyak, mulai dari izin kapal yang sangat rumit, izin penangkapan ikan, sampai izin untuk mendapatkan kuota pengangkatan ikan,” jelasnya.
Dengan demikian, kata Amin, KTT AIS 2023 jelas-jelas tidak akan memberikan dampak positif apapun bagi kehidupan nelayan tradisional yang setiap hari harus berjuang melawan dampak krisis iklim dan buruknya tata kelola sumber daya kelautan dan perikanan.
“Berbagai macam pertemuan internasional di Indonesia, seperti KTT AIS 2023 ini, tetap akan mempersulit kehidupan nelayan tradisional di Indonesia,” ungkap Amin.
SHARE