Walhi: Pembangunan PLTN di Kalbar Bukan Solusi Ketahanan Energi
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Energi
Selasa, 19 September 2023
Editor :
BETAHITA.ID - Rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Kalimantan Barat (Kalbar) kembali mencuat dan memicu kritik serta penolakan. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalbar meminta proyek PLTN itu dihentikan, selain bukan solusi menjawab ketahanan energi, pemanfaatan energi berbahan uranium itu juga membahayakan.
Kepala Divisi Kajian dan Kampanye Walhi Kalbar, Hendrikus Adam mengatakan, PLTN bukan solusi bagi kebutuhan pemerataan energi listrik yang murah, aman, bersih dan berkeadilan, di saat potensi energi terbarukan masih berlimpah dan belum dioptimalkan penggunaannya.
"Inisiatif pembangunan PLTN pada satu sisi hanya menjadi interes segelintir orang yang lebih ditujukan untuk kepentingan industri, namun dikemas sebagai solusi ketahanan energi nasional," kata Adam, Jumat (15/9/2023) kemarin.
Adam membeberkan sejumlah kekurangan PLTN, di antarnaya pembangunannya yang membutuhkan biaya besar, waktu pembangunan yang lama, dan berpotensi menciptakan ketergantungan teknologi kepada negara penyedia teknologi. Selain itu PLTN membutuhkan kapasitas institusi yang tinggi dan luar biasa untuk membangun, mengelola, mengawasi, serta mengurus limbah dan menangani post-closing (decommissioning).
"Jadi tentu tidak sesederhana yang dibayangkan dan dengan demikian risikonya juga jauh lebih besar dan berbahaya untuk jangka panjang yang tidak layak diwariskan pada generasi mendatang," kata Adam.
Hingga saat ini, lanjut Adam, energi terbarukan masih belum menjadi fokus serius untuk dikembangkan pemerintah, termasuk di Kalbar. Padahal, penggunaan energi ini akan lebih baik, ramah dan aman, karena memiliki potensi risiko yang kecil bila dibandingkan penggunaan energi fosil maupun penggunaan sumber energi berbahaya melalui PLTN. Terlebih bila kemudian terjadi gagal teknologi dan kecelakaan fatal yang mungkin terjadi.
Adam menyebut, bahaya nuklir pada 2018 silam juga dengan tegas pernah disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat memberi kuliah di Korea Selatan. Saat itu Presiden menyebut bahwa nuklir sebagai salah satu dari beberapa tantangan yang sedang dihadapi dunia saat ini.
Pernyataan Presiden itu, menurut Adam, mengonfirmasi bahwa energi nuklir disadari berbahaya dan menjadi ancaman sekaligus tantangan bagi terwujudnya perdamaian dunia. Karenanya, kesadaran untuk tidak memaksakan PLTN mestinya jadi pilihan di saat masih banyak potensi energi terbarukan yang belum dimaksimalkan hingga saat ini.
"Sejauh ini pula, rencana pembangunan PLTN di Kalimantan Barat maupun di Indonesia pada umumnya tidak diinformasikan dengan jujur, utuh dan berimbang kepada publik. Bahkan informasi yang disampaikan BATAN dan para promotor PLTN lainnya justru mengandung sesat pikir juga kebohongan publik," tuding Adam.
Adam menerangkan, ancaman krisis energi di masa depan mestinya dapat diatasi dengan memanfaatkan secara maksimal potensi energi terbarukan yang dimiliki disertai efisiensi energi di segala lini. Sesat pikir paling krusial juga terlihat ketika energi nuklir dianggap sebagai bagian dari energi terbarukan oleh promotor PLTN.
Adam kemudian menyoroti pernyataan Pj. Gubernur Kalbar, yang secara substansi hendak mengatakan bahwa penggunaan teknologi nuklir sudah cukup aman, sebagaimana penggunaan alat diagnostik kedokteran yang digunakan di rumah sakit. Hal itu, kata Adam, mengandung sesat pikir yang perlu diluruskan.
"Menyamakan penggunaan energi nuklir untuk medis dengan wacana pendirian PLTN itu ibarat dua sisi mata uang, serupa tapi secara substansi berbeda. Bapak Pj Gubernur terlihat ngegas entah apa motifnya, baru 6 hari seusai dilantik lantas buka suara soal dukungan terhadap PLTN di Kalbar," ucapnya.
Bila energi diibaratkan sebagai makanan, kata Adam, maka sumber energi nuklir berbahan uranium bukan satu-satunya pilihan menu santapan yang mau tidak mau harus dinikmati. Ada banyak pilihan makanan yang lebih prioritas, lebih baik, aman, sehat dan berkelanjutan dari alam yang perlu dikelola dan optimalkan.
Karenanya, PLTN mestinya bukan pilihan mendesak di tengah alpanya upaya mengoptimalkan sumber energi terbarukan yang melimpah. Adam merasa aneh, alih-alih akan mengoptimalkan potensi energi terbarukan, bahan mentah sumber energi listrik seperti batu bara misalnya, lebih banyak diekspor ketimbang dipakai sendiri untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
"Sehingga tidak heran bila industri keruk sumber daya alam terus terjadi yang diiringi dengan potensi risiko sosial dan lingkungannya yang kerap tidak diperhitungkan," katanya.
Soal rencana pembangunan nuclear small modular reactor (SMR) di Bengkayang, kata Adam, pakar Nuklir Indonesia pernah mengingatkan bahwa PLTN sangat berbahaya dan teknologi ini tidak bisa dianggap main-main, karena penggunaan energi ini bukan alih teknologi, namun lebih berorientasi proyek.
"Sebagai sebuah proses penerapan dan pengembangan ilmu pengetahuan, studi mengenai nuklir suatu hal yang sah-sah saja. Namun bila mengikuti dinamika dan prosesnya, maka studi pengembangan nuklir SMR terkesan aneh dan lebih berorientasi proyek. Sebab jauh sebelum ini juga pernah dilakukan studi di daerah yang sama terkait dengan rencana pendirian tapak PLTN," ungkap Adam.
Adam mengatakan, andai pembiayaan yang selama ini digunakan untuk proses pendirian PLTN itu digunakan untuk membangun dan memfasilitasi penggunaan energi terbarukan, tentu jauh lebih berguna dan bisa langsung dirasakan warga yang memerlukan.
"Jadi, jelaslah kiranya bahwa PLTN bukan solusi yang diharapkan di tengah belum optimalnya energi terbarukan selama ini. Namun jika tetap akan dipaksakan, maka silakan dirikan saja tapak PLTN di samping rumah tinggal para promotor PLTN."
Adam meminta rencana pembangunan PLTN di Kalbar dihentikan, agar tidak melahirkan potensi risiko bencana dan momok bagi generasi mendatang mestinya jadi perhatian untuk menjawab pemenuhan kebutuhan energi masa depan yang murah, aman, bersih dan berkeadilan.
Sebelumnya, PT PLN Indonesia Power (PLN IP) bersinergi dengan Kemenko Perekonomian, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), PT PLN (Persero), USTDA dan NuScale Power melakukan studi pengembangan nuclear SMR di Kabupaten Bengkayang, Kalbar, pada 2030.
Direktur Pengembangan Bisnis dan Niaga PLN Indonesia Power Bernadus Sudarmanta mengatakan nuclear SMR menawarkan operasi pembangkit sebagai pemikul beban dasar dan sekaligus memiliki fleksibilitas yang tinggi untuk bersinergi dengan penetrasi pembangkit intermitensi solar PV yang direncanakan semakin masif ke depan.
Menurut Sudarmatan, untuk mencapai net zero emission pada 2060 dibutuhkan persiapan yang matang serta kerja sama dengan berbagai pihak agar transisi energi berjalan dengan baik.
"PLN IP telah memiliki Peta Jalan Transisi Energi hingga 2060 untuk net zero emmission dengan mengembangkan energi hijau untuk bumi yang lebih baik. Kami hadir di sini untuk mempersiapkan secara matang dan aman, sehingga sesuai dengan peraturan dan perizinan, tantangan tidak mudah sehingga dibutuhkan kerja sama berbagai pihak agar transisi ini berjalan baik serta memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat," ujarnya saat Kick Off Meeting Techno-Economic Assessment of Nuclear Small Modular Reactor (SMR), dikutip dari Antara.
Rencana pembangunan PLTN di Kalbar ini agaknya telah mendapat lampu hijau dari pemerintah daerah. Pj Gubernur Kalbar, Harisson mengatakan Pemerintah Provinsi Kalbar akan siap memfasilitasi PLTN.
"Kita siap fasilitasi, tapi memang perlu diperdalam lagi kajian-kajian lingkungan terhadap pembangkit listrik ini," katanya Selasa (12/9/2023) pekan lalu, dikutip dari Tribun Pontianak.
Harisson bilang, tenaga nuklir sebenarnya cukup aman, hanya saja perlu dikaji lagi dari sisi lingkungan.
"Sebenarnya sudah kita coba juga untuk alat-alat diagnostik itu di RSUD dr Soedarso itu sudah menggunakan diagnostik kedokteran nuklir dan aman dari segi kesehatan bahkan sangat membantu untuk penegakan diagnostiknya," ujarnya.
SHARE