Promosi Co-Firing Biomassa Bukan Solusi, tapi Taktik Jahat

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Lingkungan

Jumat, 25 Agustus 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Pemerintah diminta berhenti memanfaatkan situasi genting kesehatan warga Jakarta akibat polusi udara, dengan mempromosikan co-firing biomassa. Sebab mencampur pelet kayu dalam pembakaran batu bara hanya akan memperpanjang usia pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dalam memproduksi emisi beracun.

Trend Asia berpendapat, yang harus dilakukan pemerintah mestinya adalah memperketat pengawasan dan transparan dengan membuka data-data hasil pemantauan pencemaran dari sumber tak bergerak yakni industri padat polusi termasuk PLTU ke publik.

Manager Program Bioenergi Trend Asia, Amalya Reza Oktaviani, mengatakan, di awal pekan ini, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mempromosikan co-firing biomassa, dengan dalih akan menghasilkan emisi yang lebih rendah dan klaim komitmen pendanaan transisi energi sebagai solusi polusi udara Jakarta. Menyedihkannya lagi, promosi ini dilakukan ketika Jakarta disebut oleh media internasional sebagai kota paling beracun di dunia.

“Promosi co-firing PLTU adalah taktik jahat dan melukai perasaan puluhan juta warga Jakarta yang tercekik polusi," ujar Amalya, dalam keterangan tertulis, Kamis (24/8/2023).

Kepingan kayu, salah satu jenis biomassa yang dicampur dengan batu bara pada PLTU co-firing. Foto: mightyearth.org

Amalya menguraikan, solusi palsu ini juga bertolak belakang dengan semangat penindakan terhadap sumber polusi tak bergerak yang kini digencarkan Satgas Pengendalian Pencemaran Udara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). Menurut Amalya, PLTU tua seharusnya didorong untuk ditutup lebih awal, sebab tidak lagi efisien dalam paparan polusi udara, dan bukan malah diperpanjang operasionalnya melalui co-firing.

Dalam skenario transisi energi, pemerintah Indonesia menargetkan co-firing biomassa di 107 PLTU di Indonesia termasuk tiga di antaranya berada di radius 100 kilometer dari Jakarta, yakni PLTU Suralaya di Cilegon, PLTU Lontar di Suralaya dan PLTU Labuan di Banten. Data riset Trend Asia menyebut co-firing biomassa dengan batu bara berpotensi lebih emisif dibandingkan pembakaran penuh batu bara.

Proyeksi kebutuhan pasokan pelet kayu 10% co-firing di 107 unit PLTU berpotensi menghasilkan emisi hingga 26,48 juta ton, setara karbon dioksida per tahun. Emisi ini muncul mulai dari deforestasi, pengelolaan hutan tanaman energi hingga produksi pelet kayu.

“Dari pengalaman pembangunan hutan tanaman industri (HTI) dan hitungan kebutuhan biomassa kayu untuk co-firing, maka berpotensi terjadinya deforestasi baru sedikitnya dua juta hektare. Sementara kita tahu tutupan hutan di Jawa sudah kurang dari 30%, sementara kondisi RTH Jakarta hanya sekitar 5%. Kalau seperti ini, polusi di sekitar kawasan PLTU termasuk di Jabodetabek tidak akan pernah terselesaikan,” kata
Wildan Siregar, Pengkampanye Bioenergi Trend Asia.

Jika pembakaran batu bara di PLTU menghasilkan partikel polutan terkecil PM2,5, co-firing biomassa menghasilkan emisi PM10 yang juga buruk bagi kesehatan karena partikelnya berukuran besar. Praktik co-firing tidak membuat emisi PLTU lebih bersih, dan emisi NO2 dan PM10 yang dihasilkan justru lebih destruktif, terutama ketika menggunakan kayu basah.

Fokus mengatasi polusi pada sumber tak bergerak sangatlah penting. Berdasarkan data Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), selama Covid-19 pada 2020, lalu lintas transportasi berkurang namun ternyata tidak besar pengaruhnya pada perbaikan kualitas udara Jakarta. Kontribusi sumber polusi dari industri dan PLTU ini juga diakui oleh Presiden Joko Widodo sendiri beserta sejumlah menteri yakni Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya.

Sejak Senin (21/8/2023) kemarin, Kementerian LHK menurunkan seratusan personil Satgas Pengendalian Pencemaran Udara untuk mengawasi sumber-sumber pencemaran polusi tidak bergerak seperti PLTU, penimbunan batu bara (stockpile) dan industri padat polusi lainnya di wilayah Jabodetabek. Bahkan, Rabu (23/8/2023) kemarin, lebih jauh lagi, Kementerian LHK menyegel dan menghentikan kegiatan empat perusahaan penimbunan batu bara dan peleburan di kawasan Marunda, Jakarta Utara.

“Upaya satgas yang turun ke sumber-sumber polusi hanya akan memberikan dampak jika dilakukan secara transparan. Data-data emisi pencemaran harus dibuka ke publik termasuk situasi tingkat pencemaran di pembangkit listrik. Tanpa tindakan itu, kebijakan ini hanya akan jadi pernyataan politik seperti yang sudah-sudah dan sekadar memenuhi dahaga publik yang akhirnya menjadi masalah yang timbul-tenggelam setiap tahun,” ujar Wildan.

SHARE