Studi: Utang Reparasi Iklim Korporasi Fosil $209 Miliar Per Tahun

Penulis : Kennial Laia

Perubahan Iklim

Rabu, 24 Mei 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Perusahaan bahan bakar fosil terkemuka di dunia disebut berhutang setidaknya $209 miliar per tahun untuk perbaikan iklim. Ini adalah kompensasi kepada masyarakat yang paling dirugikan oleh bisnis perusahaan, yang mencemari planet bumi selama puluhan tahun.

Hal ini terungkap dalam sebuah analisis terbaru yang terbit dalam jurnal One Earth. British Petroleum (BP), Shell, ExxonMobil, Total, perusahaan negara milik Arab Saudi, dan Chevron termasuk dalam 21 pencemar yang bertanggung jawab atas $5,4 triliun kerugian dari bencana iklim antara tahun 2025 dan 2050. Mulai dari kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, kenaikan permukaan laut, gletser mencair, dan katastrofi iklim lainnya. 

Ini adalah pertama kalinya para peneliti menghitung beban ekonomi yang disebabkan oleh masing-masing perusahaan yang telah mengekstraksi – dan terus mengekstraksi – kekayaan dari bahan bakar fosil yang memanaskan planet ini.  

Di tengah perdebatan tentang siapa yang harus menanggung biaya ekonomi dari krisis iklim, laporan berjudul Time to Pay the Piper ini menyatakan bahwa perusahaan penghasil karbon paling bertanggung jawab atas kerusakan iklim. Mereka mendesak agar perusahaan menggunakan kekayaan buah pencemaran itu untuk mengkompensasi korban. 

Desa yang terendam di Matiari, provinsi Sindh, setelah banjir besar menghantam Pakistan Juni 2022. Dok UNICEF/Asad Zaidi A

Meski demikian, angka $209 miliar per tahun itu masih konservatif. Pasalnya, metodologi yang digunakan tidak memasukkan nilai ekonomi dari hilangnya nyawa dan mata pencaharian, kepunahan spesies, dan hilangnya keanekaragaman hayati, serta komponen kesejahteraan lainnya yang tidak tercakup dalam PDB. 

“Ini hanyalah puncak gunung es dari kerusakan iklim jangka panjang, mitigasi, dan biaya adaptasi,” kata Richard Heede, salah satu penulis laporan dan direktur Climate Accountability Institute. 

Studi ini didasarkan pada basis data utama karbon, yang mencatat emisi masing-masing perusahaan minyak, gas, dan batu bara sejak 1988 – tahun ketika Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) didirikan.

“Ketika bencana semakin menghancurkan, seperti banjir dan kenaikan permukaan laut membawa kesengsaraan bagi jutaan orang setiap hari, pertanyaan seputar reparasi ini mengemuka,” kata Harjeet Singh, kepala strategi politik global di Climate Action Network International, sebuah kelompok yang beranggotakan hampir 2.000 kelompok masyarakat sipil di 130 negara.

“Laporan baru ini menempatkan angka di atas meja – bahwa pencemar tidak bisa lagi bersembunyi dari kejahatan mereka terhadap kemanusiaan dan alam,” tambah Singh. 

Selama ini pembicaraan iklim internasional berfokus pada peran dan tanggung jawab negara untuk mengatasi dampak iklim. Pasalnya, 1% populasi dunia yang paling kaya bertanggung jawab atas dua kali lipat jumlah gas rumah kaca dibandingkan dengan 50% orang termiskin di dunia. Kelompok miskin inilah yang menderita akibat paling parah dari kerugian iklim. 

Sejauh ini, negara-negara kaya di utara dunia dianggap menjanjikan terlalu sedikit – dan memberikan lebih sedikit lagi – untuk upaya adaptasi iklim di negara-negara miskin.

Pada COP27 di Mesir tahun lalu, negara-negara anggota setuju untuk menetapkan pembiayaan kerugian dan kerusakan (loss and damage). Tujuannya memberikan kompensasi sebagian kepada negara-negara miskin atas biaya ekonomi dan non-ekonomi yang tidak dapat diperbaiki dan tidak dapat dihindari dari peristiwa cuaca ekstrem. Hal ini ditambah dengan bencana iklim yang terjadi secara perlahan seperti kenaikan permukaan laut dan pencairan gletser. 

Studi baru ini dinilai membingkai ulang perdebatan tentang pendanaan iklim internasional. Fokusnya beralih pada tanggung jawab keuangan perusahaan bahan bakar fosil untuk kerusakan iklim. 

“Bukti ini dan metodologi yang mendasarinya dapat memberi pembuat kebijakan dan negosiator kerangka kerja konkret untuk mengalokasikan tanggung jawab atas biaya terkait iklim kepada pencemar sejarah terbesar di dunia,” kata Wewerinke-Singh, profesor hukum berkelanjutan di University of Amsterdam. 

Secara keseluruhan, kerusakan ekonomi global akibat krisis iklim diperkirakan mencapai $99 triliun antara tahun 2025 dan 2050. Dari angka ini, emisi bahan bakar fosil bertanggung jawab atas $69,6 triliun, menurut lebih dari 700 ekonom iklim. 

Studi ini secara konservatif mengaitkan sepertiga dari biaya iklim masa depan dengan industri bahan bakar fosil global, dan masing-masing sepertiga untuk pemerintah dan konsumen.

Ini berarti industri bahan bakar fosil global bersalah atas setidaknya $23,2 triliun dari kerugian ekonomi terkait iklim yang diperkirakan terjadi selama 25 tahun ke depan, atau $893 miliar per tahun.

Harga kerusakan iklim yang harus dibayar oleh 21 produsen minyak, gas, dan batu bara terburuk ini didasarkan pada operasi masing-masing perusahaan dan emisi terkait produk sejak 1988 – dan pada situasi ekonomi negara asal mereka. Sekitar setengah dari pemanasan yang dialami sejauh ini terjadi sejak 1988 – ketika ilmuwan NASA James Hansen bersaksi tentang peran manusia dalam kerusakan iklim di depan Senat AS.

Para perusahaan pun dinilai mampu membayar reparasi iklim ini. Menurut penelitian tersebut, ini adalah utang yang harus dibayar beberapa perusahaan penghasil emisi terbesar di dunia:

Saudi Aramco, perusahaan milik negara dengan emisi terbesar, berutang $43 miliar per tahun – setara dengan lebih dari seperempat keuntungannya di tahun 2022.

ExxonMobil berhutang $18 miliar dalam reparasi tahunan. Angka ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan rekor laba $56 miliar pada 2022.

Raksasa minyak Inggris Shell dan BP, yang bersama-sama menghasilkan $68 miliar untuk pemegang saham tahun lalu, secara kolektif bertanggung jawab atas $30,8 miliar dalam perbaikan iklim tahunan. 

Para penulis membebaskan empat perusahaan di negara berpenghasilan rendah (India, Iran, Aljazair, dan Venezuela) dan membagi kewajiban enam produsen di negara berpenghasilan menengah (Rusia, Cina, Meksiko, Brasil, dan Irak). Peneliti menggunakan argumen moral bahwa ini akan mendorong mereka untuk membayar lebih banyak pajak dan memberikan kontribusi progresif lainnya.

“Kerangka kerja yang diusulkan untuk mengukur dan menghubungkan reparasi dengan produsen bahan bakar karbon utama didasarkan pada teori moral dan memberikan titik awal untuk diskusi tentang kewajiban keuangan yang harus dibayar oleh industri bahan bakar fosil kepada korban iklim,” kata Prof Marco Grasso, penulis lainnya dari University of Milano-Bicocca. 

Guardian

SHARE