Ambisi Hilirisasi Nikel Tersandung WTO
Penulis : Aryo Bhawono
Tambang
Jumat, 06 Januari 2023
Editor : Raden Ariyo Wicaksono
BETAHITA.ID - Hasil final putusan panel WTO di Dispute Settlement Body (DSB) atas perkara larangan ekspor nikel Indonesia yang dicatat dalam sengketa DS 592.
Pada putusan 17 Oktober lalu, Indonesia terbukti melanggar ketentuan WTO Pasal XI.1 GATT 1994 dan tidak dapat dijustifikasi dengan Pasal XI.2 (a) dan XX (d) GATT 1994.
Regulasi atau peraturan perundang-undangan Indonesia yang dinilai melanggar ketentuan WTO, antara lain UU No 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019 Tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Lalu, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 96 Tahun 2019 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian serta Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Pemerintah menyiapkan dua opsi untuk menghadapi putusan ini, pertama adalah banding yang diajukan pada 8 Desember. Kedua adalah peningkatan pajak ekspor.
Selain itu Menteri Investasi/ Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia, membeberkan rencananya untuk mengajak negara penghasil nikel untuk membentuk persekutuan semacam Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC). Beberapa negara yang ia sebutkan antara lain Filipina, kemudian Australia, Kanada, Brazil, dan lainnya.
Belum lagi tuntas soal putusan WTO soal nikel ini, pemerintah menyiapkan pelarangan ekspor bijih bauksit. Pada 21 Desember lalu, Presiden Joko Widodo, mengumumkan ekspor bijih bauksit mulai diberlakukan pada Juni 2023. Ia mengklaim kebijakan serupa terhadap bijih nikel telah berhasil menambah nilai ekspor mineral itu.
Hilirisasi nikel di dalam negeri, klaim Jokowi, diperkirakan meningkatkan pendapatan negara dari Rp21 triliun menjadi sekitar kurang lebih Rp 62 triliun. Penyetopan ekspor nikel, pendapatan negara melalui hilirisasi nikel melejit hingga 30 miliar dolar AS dari yang sebelumnya hanya 1,1 miliar dolar AS.
Dikutip dari CNN Indonesia, ekspor bauksit dalam data Bank Indonesia, menunjukkan tren kenaikan dari tahun ke tahun. Data tersebut melaporkan volume ekspor bauksit sebesar 1,7 juta ton pada 2017, melesat menjadi 8,6 juta ton pada 2018.
Pada 2019 volume ekspor bauksit naik menjadi 15,5 juta ton dan di 2020 ekspornya tembus 19,3 juta ton.
Data Kementerian ESDM menunjukkan cadangan bauksit Indonesia sekitar 4 persen atau setara 1,2 miliar ton dari total cadangan global, yang mencapai 30,3 miliar ton. Jumlah ini mendudukkan Indonesia sebagai negara pemilik cadangan bauksit terbesar keenam di dunia. Negara kaya bauksit lainnya adalah Guinea 24 persen, Australia 20 persen, Vietnam 12 persen, Brazil 9 persen, lalu Jamaica 7 persen
Rata-rata produksi bauksit Indonesia mencapai 31,4 juta ton per tahun. Sementara itu, kebutuhan domestik hanya 7 juta ton. Artinya, mayoritas produksi bauksit untuk memenuhi pasar ekspor. Cadangan bauksit terbesar berada Kalimantan, Sumatera dan Jawa.
Menyoal Penambahan Nilai Larangan Ekspor Nikel
Klaim penambahan nilai oleh pemerintah pernah disanggah oleh Faisal Basri. Menurutnya pemerintah-yang kemudian ia sebut penguasa- gagal menjanjikan soal pembangunan pabrik baterai untuk mobil listrik. Hingga sampai sekarang Indonesia cuma mengolah jadi pellet, nickel pig iron, ferro nickel, dan besi baja setengah jadi.
"Hampir semua produk smelter nikel itu mereka ekspor ke negerinya sendiri. Penguasa tak mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) karena hampir seluruh produknya mereka ekspor. Tak juga membayar pajak ekspor," ungkap Faisal Basri, melalui akun blog pribadinya.
Pemerintah menetapkan harga hanya sekitar seperempat dari harga di dalam negeri. Atas kondisi tersebut, kata dia, tak pelak lagi banyak pengusaha asing, khususnya China berbondong-bondong ke RI. Mereka mendapat karpet merah berupa fasilitas bebas pajak (tax holiday), memperoleh tax allowance, investment allowance, dan super deduction tax.
Seharusnya pemerintah melakukan audit atas fasilitas fiskal luar biasa yang mereka terima dan audit tenaga kerja yang ditengarai menyalahi aturan.
"Negara berpotensi mengalami kerugian ratusan triliun rupiah. Tak pernah terdengar suara dari Kementerian Keuangan dan Kementerian Tenaga Kerja,” tulisnya.
Sementara peneliti Auriga Nusantara, Sadam Afian Richwanudin, menyebutkan negara kehilangan potensi royalti dan bea keluar sebesar Rp996 miliar pada 2019 ketika menerapkan skema Peningkatan Nilai Tambah (PNT) untuk nikel kadar 1,7 persen.
Penelitian KPK bersama Yayasan Auriga Nusantara menemukan beberapa celah potensi kerugian keuangan negara ini melalui beberapa poin. Pertama, kerugian keuangan negara akibat kehilangan royalti dan bea keluar dari ekspor ilegal bijih nikel.
Kedua, lemahnya sistem penilaian, monitoring dan evaluasi pembangunan smelter. Pengawasan pembangunan melalui sistem penilaian dan monitoring dan evaluasi progres Kurva S oleh Kementerian ESDM merupakan cara agar pembangunan smelter tidak molor.
Dan ketiga, adanya celah dalam perumusan dan penerapan Harga Patokan Mineral (HPM) berpotensi mendorong terjadinya ekspor ilegal. Pemerintah sebenarnya telah mengatur HPM logam dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 11 tahun 2020 tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan Penjualan Mineral Logam untuk menjaga keseimbangan dan keadilan antara pemilik smelter dan penambang.
SHARE