Berharap Anti Kriminalisasi di Kejaksaan
Penulis : Aryo Bhawono
Hukum
Kamis, 27 Oktober 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Pedoman Jaksa Agung memuat perlindungan pejuang lingkungan melalui mekanisme Anti Strategic Litigation Against Public Participation (Anti-SLAPP). Pedoman ini bisa menjadi harapan mencegah kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan.
Mekanisme Anti-SLAPP ini dimuat dalam Pedoman Jaksa Agung No 8 Tahun 2022 Tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pedoman ini menyebutkan Anti-SLAPP merupakan satu dari empat pokok dinamika hukum yang harus disikapi untuk memberikan kepastian hukum dalam penanganan perkara tindak pidana lingkungan hidup.
Tiga pokok lainnya adalah koordinasi penegakan hukum terpadu tanpa mengurangi kedudukan jaksa sebagai pengendali perkara (dominus litis), berlakunya UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah mengakibatkan perubahan beberapa ketentuan pidana dalam sektor lingkungan hidup, dan perkembangan tipologi dan modus tindak pidana lingkungan hidup banyak melibatkan badan usaha/ korporasi.
“Pedoman ini setidak-tidaknya bisa menjadi salah satu jalan atau cara untuk menjaga dan memastikan perlindungan negara terhadap lingkungan hidup. Sehingga manusia di masa saat ini dapat mewarisi lingkungan hidup yang sehat dan baik untuk generasi yang akan datang,” tulis latar belakang pedoman tersebut.
Perlindungan Anti-SLAPP sendiri diatur dalam Bab VI. Poin penting dalam metode perlindungan ini adalah penuntutan terhadap pejuang lingkungan hidup dapat dihentikan melalui penerbitan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2).
Penghentian ini dilakukan selama perbuatan memperjuangkan hak atas lingkungan hidup dilakukan tidak secara melawan hukum dan dengan itikad, serta terdapat pembenaran yang layak.
Juru Kampanye Auriga Nusantara, Hilman Afif, menyebutkan Anti-SLAPP menjadi penting sebagai instrumen perlindungan bagi para pembela lingkungan untuk dapat secara aktif, bebas, dan bersuara terutama dalam menjaga lingkungan hidup yang bersih dan sehat sebagai bagian dari HAM. Pedoman ini memberikan peluang untuk mencegah kriminalisasi seperti yang selama ini terjadi.
“Selain itu, para pembela lingkungan hadir menjadi wali dari lingkungan atau alam itu sendiri. Sebab alam punya hak untuk dilindungi dan secara otomatis, jika tidak ada perlindungan terhadap para pembela lingkungan maka hak alam untuk dilindungi akan hilang,” ucapnya.
Auriga Nusantara mencatat ancaman terhadap pembela lingkungan tersebar di seluruh pulau besar Indonesia sejak 2014. Dari total 69 kasus yang terdokumentasi, terbanyak terjadi Jawa-Bali (22 kasus), disusul Sumatera (17 kasus), Kalimantan (12 kasus), Sulawesi (10 kasus), Nusa Tenggara (5 kasus), Maluku (1 kasus), dan Tanah Papua (2 kasus).
Sebanyak 53 kasus ancaman terhadap pembela lingkungan terjadi dalam bentuk kriminalisasi. Jenis ancaman terbanyak setelahnya berupa ancaman fisik (15 kasus), intimidasi (7 kasus), pembunuhan (6 kasus), pembakaran rumah (1 kasus) dan gugatan hukum (1 kasus).
SHARE