Gelek Klagilit Maburu/Mawera Sorong Tolak Sawit PT IKSJ
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Hutan
Jumat, 15 Juli 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Ekspansi perkebunan sawit masih jadi ancaman terbesar bagi masyarakat adat di Tanah Papua, tak terkecuali bagi masyarakat adat Marga atau Gelek Klagilit Maburu/Mawera. Masyarakat adat yang tinggal di Kampung Wonosobo, Distrik Moi Segen, Kabupaten Sorong ini sama sekali tidak berniat membiarkan perkebunan sawit meraja menguasai tanah ulayatnya.
Pada Senin (11/6/2022) kemarin, perwakilan gelek ini menyerahkan surat pernyataan sikap kepada Kepala Kantor Pertanahan Sorong, yang salah satu isinya meminta agar jangan ada Hak Guna Usaha (HGU) yang diterbitkan di atas wilayah adat Gelek Klagilit Maburu/Mawera.
Dalam surat pernyataan sikapnya masyarakat adat Gelek Klagilit Maburu/Mawera mengapresiasi Pemerintah Kabupaten Sorong yang telah mencabut sejumlah izin perusahaan perkebunan sawit di Sorong. Bagi masyarakat adat, kebijakan itu adalah bentuk penyelamatan tanah dan hutan Masyarakat Hukum Adat Moi yang tersisa.
Begitu juga dengan penetapan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Moi di Kabupaten Sorong. Perda ini menegaskan Masyarakat Hukum Adat Moi memiliki kedudukan sebagai subjek hukum yang memiliki hak yang melekat dan bersifat asal-usul. Lebih lanjut sebagai subjek hukum, Masyarakat Hukum Adat Moi memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum berkaitan dengan hak Masyarakat Hukum Adat Moi.
Dalam surat pernyataan sikap yang ditandatangani oleh 50 anggota Gelek Klagilit Maburu/Mawera ini diungkapkan bahwa saat ini wilayah adatnya tengah dalam ancaman penggusuran oleh perusahaan perkebunan sawit PT Inti Kebun Sejahtera (IKSJ).
Pada 2012 lalu, perusahaan tersebut memperoleh Izin Pelepasan Kawasan Hutan (IPKH)--kini disebut Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan (PPKH)--dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) seluas 19.655,35 hektare melalui SK.516/Menhut-II/2012. Dari luasan tersebut, sekitar 786,33 hektare di antaranya masuk dalam wilayah adat Gelek Klagilit Maburu/Mawera.
Disebutkan, sejak memperoleh izin tersebut, pihak PT IKSJ sudah berkali-kali berusaha melakukan pendekatan terhadap masyarakat adat Gelek Klagilit Maburu/Mawera, dalam bentuk tawaran kerja sama dan atau kemitraan, yang dianggap oleh warga hanya sebagai janji manis belaka. Masyarakat adat berkeras menolak perusahaan dan memilih mempertahankan wilayah adatnya.
"Namun di saat yang sama kami pun menolak tawaran-tawaran tersebut. Tanah dan hutan adalah sumber kehidupan kami masyarakat adat dan masyarakat pada umumnya, sehingga menyelamatkan hutan sama halnya menyelamatkan kehidupan manusia," ujar Gelek Klagilit Maburu/Mawera dalam surat pernyataannya.
Tak hanya datang dengan tawaran kerja sama, pihak perusahaan juga pernah mendatangi warga membawa tak terhitung uang tunai sebagai ganti rugi lahan, dan memberikan kendaraan mobil kepada salah satu anggota gelek (marga), namun semua usaha perusahaan itu ditolak mentah-mentah oleh masyarakat adat.
Secara spasial, luas wilayah adat Gelek Klagilit Maburu/Mawera sekitar 1.961,02 hektare dan 786,33 hektare masuk dalam izin PT IKSJ. Namun arael yang masuk dalam izin PT IKSJ ini sebenarnya tumpang tindih dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi batu bara PT Megapura Prima Industri yang luasnya sekitar 841,8 hektare berdasarkan izin Nomor SK 545/15/2012). Sementara itu, di bagian lain wilayah adat Gelek Klagilit Maburu/Mawera juga ada IUP eksplorasi batu bara PT East Side Mining Indonesia dengan izin Nomor SK.272.A Tahun 2009 seluas sekitar 946,85 hektare.
Peta wilayah adat Gelek Klagilit Maburu/Mawera. Hasil overlay dengan izin PT IKSJ, menunjukkan adanya tumpang tindih antara wilayah adat dengan konsesi perkebunan sawit PT IKSJ./Gambar: AMAN
Gelek Klagilit Maburu/Mawera juga mengingatkan, pada dasarnya Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat. Bahkan Mahkamah Konstitusi (MK) sudah mengeluarkan Putusan Nomor 35/PUU-X/2012, yang mana dalam amar putusan 1.2 MK menyatakan, hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.
"Tanah Papua bukan tanah kosong, keseluruhan tanah di Papua ada pemiliknya."
Kemudian Papua memiliki kekhususan dengan adanya Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 2 Tahun 2021, dan sebagai peraturan pelaksana pada 2019 DPRD Provinsi Papua Barat telah menerbitkan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pedoman Pengakuan, Perlindungan, Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat dan Wilayah Adat di Provinsi Papua Barat.
Pada 2019 lalu, Gelek Klagilit Maburu/Mawera juga telah melakukan pemetaan wilayah adat dan telah sampai pada tahap akhir (penyelesaian), yang nantinya akan diusulkan kepada Bupati Sorong untuk penerbitan Keputusan Bupati Sorong tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Gelek Klagilit Maburu/Mawera.
Melalui suratnya, Gelek Klagilit Maburu/Mawera menyampaikan beberapa poin pernyataan sikap. Yang pertama, menolak pembukaan perkebunan sawit oleh PT IKSD di atas wilayah adat Gelek Klagilit Maburu/Mawera. Kedua, meminta Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Sorong untuk tidak menerbitkan Hak Guna Usaha (HGU) kepada PT IKSJ di atas wilayah adat Gelek Klagilit Maburu/Mawera.
"Apabila kemudian telah diterbitkan izin HGU, kami mendesak agar segera dicabut, karena kami Gelek Klagilit Maburu/Mawera tidak pernah melepaskan wilayah adat kami kepada pihak perusahaan PT IKSJ," sebut Gelek Klagilit Maburu/Mawera dalam surat pernyataan sikapnya.
Kemudian yang ketiga, masyarakat adat ini juga meminta Bupati Sorong meninjau kembali Izin Lokasi dan Izin Usaha Perkebunan PT IKSJ, dan yang keempat, kepada KLHK masyarakat adat Gelek Klagilit Maburu/Mawera meminta untuk dilakukan peninjauan kembali Izin Pelepasan Kawasan Hutan (SK.516/Menhut-II/2012) yang diberikan kepada PT Inti Kebun Sejahtera.
Perwakilan masyarakat adat Gelek Klagilit Maburu/Mawera menyerahkan surat pernyataan sikap kepada pihak Kantor Pertanahan Sorong. Isi surat tersebut di antaranya, keinginan agar tidak ada HGU yang diterbitkan di atas wilayah adat./Foto: Istimewa
Ketua Badan Pengurus Harian (BPH) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sorong Raya, Feki Wilson Mobalen mengatakan, PT IKSJ beroperasi di wilayah Moi Segen Salawati sejak sekitar 2008 lalu, hanya memegang HGU seluas 4.000 hektare. Namun sekarang sebagian besar daratan Moi Segen Salawati itu kini telah dipenuhi oleh sawit.
Perluasan sawit ini terutama terjadi sejak KLHK melepas kawasan hutan seluas 19.665 hektare, September 2012 lalu, yang memberi peluang besar-besaran bagi PT IKSJ mengkonversi hutan alam menjadi perkebunan sawit. Menurut Feki, PT IKSJ mulai membabat hutan sejak 2007 di daerah Modan, dan berlanjut penanaman pada 2008 di Klasof.
"Dan berkembang di beberapa wilayah seperti kilo 11, 12, Klasof, Modan, Klasari dan 2016 pembongkaran hutan di Seget dan pada 2017 baru melakukan penanaman," ungkap Feki, Selasa (12/7/2022).
Feki bilang, keseluruhan wilayah-wilayah yang sudah dijadikan perkebunan sawit itu memiliki persoalan yang sama, yakni PT IKSJ menjanjikan kesejahteraan bagi masyarakat adat pemegang hak ulayat yang melepaskan lahannya untuk dijadikan kebun sawit.
Tanah dan hutan bagi masyarakat adat Papua dan juga masyarakat adat pada umumnya, lanjut Feki, bukan semata merupakan sumber kehidupan dan ekonomi saja, namun juga merupakan sentral kebutuhan spiritual.
"Terdapat konsep kunci dalam tradisi masyarakat adat Papua, bahwa tanah adalah "Ibu". Hingga kini sesungguhnya bagi masyarakat adat Papua, tanah tidak bisa diperjualbelikan," kata Feki.
SHARE