Otan dan 4 Orangutan Lainnya Akhirnya Kembali ke Alam
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Biodiversitas
Jumat, 24 Juni 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Setelah sekian lama menjalani proses rehabilitasi, lima individu orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus), yakni Otan (jantan), Kotap (jantan), Anjas (jantan), Cemong (jantan) dan Joyce (betina) akhirnya kembali bebas di alam. Mereka dilepasliarkan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat (Kalbar) dan Yayasan International Animal Rescue Indonesia (YIARI) di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (TNBBBR), Sabtu (18/6/2022) kemarin.
"Mereka dianggap sudah layak untuk dilakukan pelepasliaran di Kawasan Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya, setelah menjalani proses rehabilitasi antara 7 sampai dengan 11 tahun di Pusat Rehabilitasi Yayasan IAR Indonesia di Ketapang," kata Sadtata dalam keterangan tertulisnya, Selasa (21/6/2022).
Lima individu satwa endemik Kalimantan dengan status konservasi Critically Endangered (CR) berdasarkan IUCN ini telah menjalani tes kesehatan sebelum pelepasliaran. Setelah menjalani pemeriksaan kesehatan mereka diangkut melalui jalan darat dari Kabupaten Ketapang menuju Kabupaten Melawi yang menempuh perjalanan selama 15 jam melewati enam kabupaten yaitu Ketapang, Kayong Utara, Sanggau, Sekadau, Sintang dan Melawi. Selanjutnya perjalanan dilanjutkan dengan mempergunakan jalan air dan berjalan kaki.
Dalam websitenya, pihak YIARI menjelaskan, lima orangutan itu sebelumnya menjalani rehabilitasi setelah diselamatkan dari kasus pemeliharaan ilegal satwa liar dilindungi.
Otan yang kini berusia 8 tahun, dulunya ditemukan oleh pekerja sawit di Kabupaten Kayong Utara, Kalbar. Otan kemudian diserahkan ke BKSDA Kalbar dan dibawa ke pusat penyelamatan dan konservasi orangutan YIARI di Sungai Awan Kiri, Kabupaten Ketapang pada 18 September 2015. Setelah menjalani proses rehabilitasi selama 7 tahun, Otan akhirnya siap kembali ke habitat aslinya.
Selanjutnya, Kotap merupakan orangutan yang menjadi korban pemeliharaan ilegal satwa liar dilindungi oleh warga Kecamatan Sengah Temila, Kabupaten Landak, Kalbar. Kotap sempat dipelihara oleh warga selama 3 tahun dan ditempatkan dikandang kayu kecil di depan rumah warga. Kotap diselamatkan oleh tim gabungan BKSDA Kalbar dan YIARI pada 12 April 2017. Saat ini Kotap berusia 9 tahun.
Kemudian untuk Cemong, orangutan ini dulunya juga merupakan satwa yang dipelihara warga di Kabupaten Kubu Raya, Kalbar, sebelum kemudian diselamatkan oleh tim gabungan BKSDA Kalbar dan YIARI pada 26 Januari 2011. Sebelumnya, Cemong ditemukan oleh warga di area pembukaan lahan untuk kebun sawit, dalam keadaan terluka dan induknya ditemukan sudah mati. Untuk mengembalikan sifat alami dan kemampuanya bertahan hidup sebagai orangutan, Cemong harus menjalani masa rehabilitasi selama 11 tahun sebelum akhirnya bisa dilepasliarkan.
Sama dengan Cemong, orangutan Anjas juga berasal dari Kabupaten Kubu Raya. Dia dulunya dipelihara oleh pedagang yang menemukannya di hutan tanpa induk. Anjas dipelihara selama 3 tahun sebelum akhirnyat diserahkan secara sukarela kepada BKSDA Kalbar dan YIARI pada 6 Februari 2014. Kini Anjas telah berusia 12 tahun.
Terakhir, Joyce, orangutan betina ini juga sempat dipelihara oleh warga di Kecamatan Delta Pawan, Kabupaten Ketapang, Kalbar. Menurut pengakuan si pemelihara, Joyce ini menjadi diberikan seorang pengendara motor tidak dikenal sebagai pengganti uang bensin. Joyce kemudian diserakan ke BKSDA Kalbar dan YIARI pada Januari 2013 setelah si pemelihara mengetahui bahwa memelihara satwa liar dilindungi ini merupakan perbuatan melawan hukum. Saat dilepaskan Joyce telah berusia 11 tahun.
YIARI menjelaskan, proses rehabilitasi terhadap orangutan tidak mudah dan bisa berlangsung lama tergantung kemampuan masing-masing individu. Bahkan proses rehabilitasi ini bisa berlangsung sampai belasan tahun. Rehabilitasi ini diperlukan untuk mengembalikan sifat dan kemampuan alami orangutan untuk bertahan hidup di habitat aslinya.
Di alam bebas, bayi orangutan akan tinggal bersama induknya sampai usia 6-8 tahun, untuk belajar dari induknya bagaimana bertahan hidup di alam sebagai orangutan. Karena bayi orangutan ini dipaksa berpisah dengan induknya untuk dijadikan peliharaan, bayi orangutan ini kehilangan kesempatan untuk menguasai kemampuan bertahan hidupnya.
Kawasan TNBBBR kembali dipilih sebagai tempat pelepasliaran karena berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan, tidak didapati adanya populasi alami orangutan sedangkan jumlah dan jenis pohon pakannya tinggi.
Dijelaskan, untuk mencapai lokasi pelepasliaran, tim pelepasan bersama orangutan harus menempuh perjalanan darat sejauh 700 kilometer dan dilanjutkan dengan perahu dan berjalan kaki. Diperlukan waktu hingga tiga hari untuk mencapai titik pelepasan dari pusat rehabilitasi orangutan YIARI di Ketapang. Meski demikian, status kawasan sebagai taman nasional akan lebih menjamin keselamatan satwa di dalamnya.
Kepala Program Yayasan IAR Indonesia, Argitoe Ranting mengatakan bahwa, proses rehabilitasi mengambil peran yang cukup penting dalam kesuksesan pelepasliaranya ini. Proses rehabilitasi yang sangat panjang ini tidak berakhir pada saat orangutan sudah dilepasliarkan. Setelah pelepasliaran, tim monitoring masih harus mengikuti perkembangan orangutan setiap hari dan memastikan orangutan bisa bertahan hidup di alam.
"Untuk itu, kami dibantu masyarakat lokal dari areal penyangga taman nasional di wilayah Sungai Mentatai. Selain tim monitoring ada juga dokter hewan yang bertugas di lokasi pelepasan untuk memastikan kondisi orangutan ini sehat dan prinsip kesejateraan terpenuhi,” kata Argitoe dalam pernyataan tertulis yang disampaikan di laman website Yiari, Selasa (21/6/2022).
Upaya tersebut, lanjut Argitoe, membutuhkan tenaga dan waktu yang sangat panjang demi memastikan bahwa orangutan yang diselamatkan dari kasus pemeliharaan ilegal satwa liar dilindungi ini kembali mempunyai kemampuan untuk bertahan hidup di habitat aslinya.
SHARE