Ledan: Guru dan Penjaga Hutan Pesalat
Penulis : Lusia Arumingtyas dan Budi Baskoro
SOROT
Selasa, 21 Juni 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
Kolaborasi liputan Betahita dan Mongabay Indonesia. Artikel ini merupakan tulisan berseri yang diproduksi atas dukungan dari Dana Jurnalisme Hutan Hujan (Rainforest Journalism Fund) yang bekerja sama dengan Pulitzer Center
BETAHITA.ID - Lumut-lumut mulai menggerogoti jembatan kayu di Pesalat, salah satu wilayah hutan rehabilitasi di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah. Tutupan pohon rindang membuat hanya sedikit sinar matahari masuk terkena jejeran kayu dengan lebar hingga 80 cm itu.
Saat perahu merapat ke dermaga, gapura kayu dengan papan hijau bertuliskan ‘Welcome to Pesalat’ menyambut dengan gagah. Sejauh mata melihat ke dalam, hanya pepohonan rimbun menuju ‘rumah belajar’ bagi masyarakat yang berkecimpung pada konservasi taman nasional.
Ledan–nama panggilan Redansyah–tinggal dan menekuni konservasi di wilayah ini sejak 2003 silam. Tak ada yang tak kenal dengan sosoknya yang sangat setia pada Pesalat. Dia tinggal sendirian di dalam hutan itu.
Saban pagi pukul 05.00 WIB dia bangun dan mulai menjalankan aktivitas. Ledan mencari bibit ke dalam hutan, melakukan penyemaian, menanam bibit, menyiram secara rutin dan melakukan pengecekan bibit-bibit yang sudah ditanam. Bersepeda atau berjalan kaki dalam melakukan penanaman menjadi rutinitas yang dilakukan tanpa mengenal apa itu bosan.
Pesalat menjadi satu dari beberapa pilihan jalur trekking yang berada di antara resort Pondok Tanggui dan Tanjung Harapan yang menjadi pusat rehabilitasi orang utan. Ketiganya, juga menjadi tempat tujuan wisata jalur tracking.
Jembatan kayu dengan panjang 800 meter ini akan membawa kita pada lokasi di mana ketekunan masyarakat untuk menghutankan kembali Pesalat dimulai. Sebagian besar area ini datar dan mencakup rawa gambut dan lahan kering.
Jembatan kayu menuju area restorasi Pesalat. Sepanjang jalan, serangga dan suara hewan nyaring terdengar. Dok Tim kolaborasi Betahita - Mongabay Indonesia
Pohon meranti rawa, nyatuh, ramin, keruing, jelutung, dan gaharu terlihat menjulang tinggi. Suara serangga dan kicauan burung bersahutan, sangat memekakkan telinga.
Kegiatan restorasi di Pesalat merupakan satu bagian dari kerja Friends of The National Park Foundation (FNPF) bersama dengan masyarakat desa Sekonyer–sebuah desa yang berada di wilayah barat dengan taman nasional dan dipisahkan dengan sungai Sekonyer.
“Saya tinggal di sini sejak saya bekerja untuk menanam bersama dengan FNPF dan masyarakat Sekonyer hingga saat ini,” cerita pria Dayak, kelahiran Tempayung, Kotawaringin Lama, itu.
“Sudah nyaman,” imbuhnya.
Ledan menghitung terdapat 180 pohon yang ditanam setiap bulannya sejak 2003. “Mungkin sudah 2.160 pohon sudah kutanam setiap tahunnya.”
Camp restorasi Pesalat yang dikeliling rimbun pepohonan pada November 2021. Di sini Ledan menghabiskan hari-harinya menanam dan menjaga hutan yang terus tumbuh. Dok Tim kolaborasi Betahita - Mongabay Indonesia
Jika dihitung sejak 2003, saat masyarakat masih giat menanam bersama, hampir 40.000 bibit yang ada ditanam Ledan di wilayah itu.
Tinggal di hutan dan mengenal banyak jenis kayu bahkan jenis obat-obatan dari hutan bukan menjadi hal baru baginya. Sebagai peladang nomadik, kebiasaan menebang pohon untuk pemenuhan kebutuhan pun menjadi hal yang biasa.
“Saat saya masuk kawasan, sejak kenal dengan Bu Birute, saya jadi merasa bersalah (dahulu menebang pohon),” ujarnya.
Birute Marry Galdikas, seorang peneliti yang meraih doktor dari University of California Los Angeles (UCLA) karena studi orang utan di Tanjung Puting. Ia lalu jadi salah seorang aktor utama konservasi orang utan di sana, dengan mendirikan dan menjadi presiden Orangutan Foundation International (OFI).
Tahun 1980, itu kali pertama Ledan bergabung dalam dunia konservasi saat menjadi asisten peneliti yang mengisi catatan aktivitas orang utan (Pongo pygmaeus) di Tanjung Puting. Perahu sampan kala itu menjadi transportasi utama dari Pelabuhan Kumai, Pangkalan Bun menuju Tanjung Puting.
Camp Pesalat pada tahun 2003. Disekeliling adalah ilalang, bruta, dan tunggak-tunggak pohon bekas perambahan liar yang terbakar. Dok FNPF
“Dahulu kayu ulin, meranti diameternya seukuran drum. Lebat sekali, kalau sekarang ya sulit melihat itu,” ujarnya putus asa.
Untuk diketahui, ulin (Eusideroxylon zwageri) yang juga disebut kayu besi merupakan spesies pohon endemik dan bernilai tinggi di Kalimantan. Dahulu tanaman ini melimpah di Pesalat. Namun kini hanya tinggal tunggul pohon berwarna hitam pekat bekas terbakar.
Ledan menunjukkan bagaimana kayu ulin menjadi spesies terbaik dan harus dijaga karena pertumbuhannya lambat.
“Ini ulin yang sudah ditanam dari tahun 2004, diameternya belum ada 5 cm,” tuturnya sambil menunjukkan pohon yang berada di belakang pondok. Tingginya berkisar kurang lebih 150 cm.
Kayu ramin, meranti, ulin, nyatuh, dan sebagainya merupakan jenis kayu kelas termahal yang banyak ditemui. Namun kini, itu hanya menjadi sebuah cerita dari seorang Ledan saja. Kayu-kayu itu jarang ditemui karena sudah dibabat habis dengan penebangan liar era tahun 1990.
Sisa pohon ulin yang telah terbakar dan di depannya juga ditanam pohon ulin sejak tahun 2006. Ledan mengatakan bahwa meski ulin memiliki umur panjang, proses pertumbuhannya sangat lambat. Dok Tim kolaborasi Betahita - Mongabay Indonesia
Puncaknya di akhir 90-an karena situasi politik pemerintah pusat yang sedang kacau balau. “Ilog (illegal logging, red) marak. Petugas sudah tidak berani, sedih sekali.” Ledan terdiam mengingat kejadian-kejadian pada tiga dekade lalu.
Aliran sungai penuh dengan kayu-kayu besar yang ditata berbaris untuk dijual di Pelabuhan Kumai. Hutan seperti perkampungan, banyak kamp berada di dalam hutan. Suara gergaji mendominasi dibandingkan suara hewan-hewan di dalam hutan. “Pemerintah kala itu tak berdaya,” ujarnya.
Ledan pun pernah bercerita bagaimana dirinya dan peneliti dari Inggris Carey Yeager dikepung ratusan penebang kayu liar. “Pak Ledan, Carey, hari ini harus keluar,” ujarnya menirukan ancaman para pembalak liar kala itu. Takut dan cemas, itu saja yang dirasakan. Kegiatan Ledan yang kala itu menjadi asisten peneliti Bekantan dianggap mengganggu para illegal logger.
Pengalaman pahit dan manis itulah yang membuat Ledan hingga kini menekuni dunia konservasi. “Saya akan terus di sini. Saya tidak betah lama-lama di kota, paling lama satu minggu saja. Sudah pusing,” ungkapnya.
Pesalat menjadi Rumah
Pesalat sudah menjadi rumah bagi Ledan. Kali pertama dia tinggal di Pesalat, sejauh mata memandang hanya ilalang dan bruta. Itu tanda kondisi lahan yang kritis. Sebelum perluasan taman nasional pada 1984, Pesalat merupakan area pertanian tebang bakar tradisional. “Seperti lapangan sepak bola,” ujarnya.
Pada 2003, Pesalat menyerupai padang ilalang. Dok FNPF
Tak hanya bagi Ledan, Pesalat menjadi sebuah rumah pembelajaran bagi banyak orang dalam upaya melakukan restorasi. Salah satunya Basuki Budi Santoso. Kala itu, dia menjabat sebagai Manajer FNPF.
“Pesalat itu tempat kami semua bisa belajar bersama. Bersama masyarakat melakukan banyak uji coba bagaimana restorasi itu bisa murah, mudah dan efektif. Uji coba di sini sudah direplikasi pada banyak wilayah restorasi lainnya,” ujarnya.
Ariyadi, salah satu pemuda desa Sekonyer pun bercerita pertama kali dia turut andil bagian dalam restorasi di Pesalat. “Awal ikut menanam di Pesalat, kita tanam dan jaga itu bibit,” ceritanya.
Dia menjadi salah satu masyarakat yang ikut bersama dengan FNPF melakukan restorasi. Keinginannya sama, ingin mengembalikan Pesalat dan Taman Nasional Tanjung Puting menjadi hutan. Kala itu usianya masih belia, sekitar belasan tahun. Pohon-pohon yang Ariyadi tanam, sudah banyak yang tumbuh melebihi tinggi badannya.
Basuki Budi Santoso, salah satu yang terlibat dalam restorasi di Taman Nasional Tanjung Puting sejak awal, termasuk di area Pesalat. Baginya menanam pohon sama seperti ibadah. Dia kini melanjutkan restorasi di Taman Nasional Way Kambas. Dok Yudi Nofiandi/Auriga Nusantara
Di lokasi Pesalat juga terdapat demplot tanaman obat, diantaranya Saluang Balum (menyembuhkan sakit pinggang, ginjal), Sensamuttan (meningkatkan nafsu makan), betapai (memulihkan stamina dan membuang darah kotor pasca melahirkan) dan sebagainya.
Ledan pernah bercerita saat dia sakit sendirian dan obat tak juga kunjung datang dari kota, dia merebus beberapa tanaman obat di Pesalat.
“Waktu itu saya lemas, muntah-muntah. Saya rebus daun Betapai, nyeri di perut saya hilang pelan-pelan,” ceritanya. Pengetahuan tanaman obat itu ia warisi dari orangtuanya.
Tutupan hutan lebat saat ini menjadi hasil dari ketekunan dan konsistensi masyarakat sejak tahun 2003. Sejauh mata memandang masih banyak ditemui bruta di beberapa wilayah restorasi lainnya. Contohnya Pondok Tanggui, Pondok Ambung, dan Natai Tengah. Sinar matahari masih menyengat terkena kulit jika masuk ke dalam wilayah restorasi tersebut.
Demplot tanaman obat di area Pesalat. Lokasi ini merupakan salah satu area restorasi yang berhasil. Dok Tim kolaborasi Betahita - Mongabay Indonesia
“Pohon itu tidak akan khianat. Kalau kita enggak rawat, kita tanam lalu tinggal pergi itu akan mati,” ceritanya sambil berkelakar.
Bagi seorang Dayak yang sejak kecil tinggal di hutan, menjadi hal yang biasa bagi Ledan untuk bisa mengidentifikasi jenis pohon. Ada 300 macam yang dia hafal dengan nama lokal. Kemampuan Ledan pun sering diakui dan menjadi ‘kompas’ bagi banyak orang di sekitar Taman Nasional Tanjung Puting untuk mengidentifikasi jenis pohon, tak terkecuali Murlan Dameria Pane, Kepala Balai TN Tanjung Puting.
“Coba saja tanya ke Pak Ledan, dia hafal semua jenis pohon,” ujar Murlan, saat bercerita tentang salah satu spesies pohon yang tidak dikenalnya dengan para stafnya. “Hebat dia (Pak Ledan) itu.”
Kecintaan Ledan pada hutan memang tidak bisa digambarkan. Hutan menjadi rumah baginya hingga akhir hayat. “Saya ingin tetap disini, sekarang saya ingin bekerja yang tugasnya untuk mengenalkan pohon kepada masyarakat,” pungkasnya.
Ledan memegang pohon ulin berusia 17 tahun, ditanam pada 2004. Pohon ini tanaman endemik di Kalimantan. Ledan selalu melakukan pembibitan tanaman termasuk ulin. Dia bilang tanaman ini berumur panjang meski tumbuhnya lambat. Dok Tim kolaborasi Betahita - Mongabay Indonesia
SHARE