Catatan Kritis Kelompok Masyarakat untuk RUU EBET
Penulis : Kennial Laia
Energi
Jumat, 20 Mei 2022
Editor : Raden Ariyo Wicaksono
BETAHITA.ID - Dekarbonisasi sektor energi sebagai salah satu penghasil emisi terbesar di Indonesia perlu dilakukan untuk mencapai target netral karbon di tahun 2060 atau lebih cepat. Untuk itu, Indonesia seharusnya menyiapkan kebijakan yang mendukung pengembangan energi terbarukan.
Namun, sejumlah kelompok masyarakat sipil menilai Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) belum memadai untuk mendorong pemanfaatan energi terbarukan yang berkelanjutan di Indonesia. Padahal aturan tersebut telah memasuki tahap harmonisasi di Senayan.
Catatan kritis tersebut disampaikan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR), Bersihkan Indonesia, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Adidaya Initiative, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), dan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL).
Institute for Essential Services Reform (IESR) menyoroti kerancuan RUU EBET yang mencampuradukkan energi fosil, nuklir, dan energi terbarukan dalam satu undang-undang. Menurut lembaga tersebut, sumber energi baru yang merupakan produk hilirisasi batu bara dan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) akan memperbesar potensi aset terbengkalai serta tidak signifikan menekan emisi gas rumah kaca.
“RUU ini sangat dipengaruhi oleh kepentingan status quo, yaitu industri batu bara dan nuklir, yang menyelinap masuk menggunakan definisi energi baru,” kata Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa dalam diskusi daring, Kamis, 19 Mei 2022.
“Implikasinya RUU ini tidak fokus mengembangkan energi terbarukan yang sebenarnya butuh dorongan politik dan kerangka regulasi yang lebih kuat sehingga dapat berkembang cepat, mendukung cita-cita transisi energi,” tandasnya.
Senada, Koordinator Bersihkan Indonesia Ahmad Ashov Birry mendorong legislator di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menyiapkan kebijakan yang secara jelas mendukung energi terbarukan. Pasalnya aturan saat ini masih membuka ruang bagi energi fosil dan berbahaya untuk diasosiasikan sebagai energi terbarukan.
“Ini dapat menjadi sinyal yang tak jelas bagi komunitas internasional yang ingin bersolidaritas mendukung Indonesia untuk bertransisi. Masih ada kesempatan untuk perubahan, dan langkah perubahan itu harus berani diambil pemerintah,” ungkap Ahmad.
Lebih lanjut, Direktur Eksekutif Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Paul Butarbutar mengatakan, keberadaan bahwa RUU EBET ini seharusnya menjadi dasar hukum untuk memaksimalkan investasi di bidang EBET.
“RUU ini harusnya fokus ke energi terbarukan, sehingga RUU EBET ini dapat menjadi dasar hukum yang kuat, yang memberikan kepastian hukum untuk memaksimalkan investasi di bidang energi terbarukan, sebagai bagian dari transisi energi untuk mencapai net-zero emissions secepatnya. Dengan demikian, semua pasal-pasal terkait energi baru, istilah yang tidak dikenal secara internasional, dapat dihapuskan,” jelas Paul.
Menyoal insentif terhadap pengguna energi terbarukan, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menuturkan RUU EBET harus mengatur insentif yang signifikan baik fiskal maupun non fiskal bagi konsumen pengguna energi terbarukan.
“Sedangkan energi yang berasal dari bahan bakar fosil tidak layak untuk diberikan subsidi bahkan perlu dikenakan cukai (disinsentif) karena mempunyai dampak eksternalitas,” jelasnya.
Di sisi lain, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Mike Verawati Tangka meminta DPR untuk lebih memperhatikan suara dan posisi perempuan dalam pembuatan kebijakan energi. Asas kesetaraan dan inklusi sosial harus menjadi perspektif tata kelola energi dari hulu sampai hilir dalam kebijakan energi yang tengah disusun oleh parlemen dan pemerintah.
Menurut Mike, pasal partisipasi masyarakat dalam RUU EBET harus memastikan semua elemen masyarakat seperti perempuan dan kelompok marjinal lainnya dapat terlibat dalam akses energi bersih yang berkelanjutan, dengan memastikan representasi berbasis jender.
Hal ini perlu dilakukan sebab perempuan dan kelompok marjinal lainnya masih diposisikan sebagai konsumen energi yang terbatas sehingga ketika krisis energi terjadi mereka menghadapi dampak buruk yang lebih berlipat.
“Tidak hanya di atas kertas, tetapi dilibatkan dalam desain pembangunan sektor energi, memberdayakan dan melibatkan perempuan dan kelompok marjinal melalui konsultasi, partisipasi dan pengambilan keputusan,” jelas Mike.
“Kemudian mengembangkan strategi khusus jender untuk memaksimalkan manfaat bagi perempuan dan kelompok masyarakat miskin mengatasi dampak pembangunan energi baru terbarukan,” tambah Mike.
Desakan bagi DPR
Akademisi Universitas Katolik Atma Jaya Sonny Keraf menyebut RUU EBET mirip “tarian poco-poco” yang “selangkah maju, selangkah mundur.” Menurutnya, aturan tersebut masih sarat kepentingan “pedagang fosil yang kotor guna mengamankan dan melanggengkan kepentingannya.”
“Terlalu banyak dampak negatif kalau kita tetap bertahan dengan ‘tarian poco-poco’. Kredibilitas diplomasi global pemerintah di bidang negosiasi perubahan iklim bisa tergerus. Ekspor produk industri dalam negeri bisa terhambat ketentuan standar emisi dalam seluruh rantai produksi dan rantai pasok produk kita. Komitmen mitigasi perubahan iklim kita terganjal,” kata Sonny.
Oleh karena itu, ada tiga pokok desakan bagi Komisi VII DPR. Yang pertama, legislator harus menanggalkan segala bentuk energi tidak terbarukan dalam RUU EBET. Kemudian, pembuat kebijakan dan pemangku kepentingan terkait harus mengatur insentif bagi penggunaan energi terbarukan untuk mencapai target bauran energi sebesar 23% pada 2025.
Ketiga, Komisi VII DPR-RI dan pemangku kepentingan terkait harus mempertimbangkan saran saintifik dan aspirasi masyarakat dari berbagai kalangan dalam menyusun RUU EBET.
“Ini sebagai upaya pertumbuhan ekonomi sekaligus meningkatkan upaya dekarbonisasi di sektor energi dalam rangka mencapai keadilan ekonomi dan lingkungan di Indonesia,” pungkas Co-founder Adidaya Initiative Aji Said Iqbal Fajri.
SHARE