Hari Badak Sedunia: Siasat Teknologi Menghindari Kepunahan

Penulis : Aryo Bhawono

Satwa

Rabu, 22 September 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Kepunahan mengancam badak Sumatera. Jumlah populasi satwa tersebut diperkirakan kurang dari 100 ekor dan proses perkembangbiakanya sangat lambat. Pegiat konservasi satwa pun berharap penerapan teknologi membantu penyelamatan badak Sumatera dari kepunahan. 

Jumlah populasi badak Sumatera saat ini diperkirakan kurang dari 100 ekor yang terdapat di dua kantong populasi di Aceh dan Lampung.  Kantong populasi badak di Kawasan Aceh Leuser Aceh masih memungkinkan untuk keberlanjutan reproduksi spesies sehat atau viable. Sedangkan di Lampung jumlah populasi maupun keragaman genetik sangat terbatas (terisolasi).  

Direktur Program Tropical Forest Conservation Action-Sumatera (TFCA-Sumatera), Samedi, menyebutkan angka populasi ini menunjukkan kondisi tak baik. Kondisi badak Sumatera di Indonesia ini mirip dengan Malaysia pada 25 tahun, dan dua tahun lalu negara tetangga itu menyatakan badak telah punah. 

“Jangan sampai pada peringatan kemerdekaan RI ke-100 dua puluh lima tahun yang akan datang kita terpaksa harus mengumumkan kepunahan badak”, ujar Samedi dalam Media Briefing Penerapan Teknologi Berbantu dalam Konservasi Badak Sumatra yang diselenggarakan oleh TFCA-Sumatera dan Yayasan KEHATI bekerja sama dengan SIEJ (Society of Indonesian Environmental Journalists) pada Senin lalu (21/9).

Badak sumatera, Ratu, dengan anaknya di Suaka Rhino Sumatera, Taman Nasional Way Kambas, Lampung. Foto: International Rhino Foundation

Langkah preventif untuk menghindari kepunahan dilakukan dengan pembangunan suaka badak sebagai zona perlindungan menyeluruh (full protection zone) seperti di Taman Nasional Gunung Leuser.  Sedangkan fasilitas pengembangbiakan badak Sumatera (Sumatran Rhino Sanctuary) di Taman Nasional Way Kambas dianggap berhasil mempertahankan dan menghasilkan anakan badak baru.

Saat ini tengah dibangun fasilitas pengembangbiakan badak lainnya di kawasan Leuser Timur, Aceh oleh konsorsium Badak Utara yang dipimpin oleh Forum Komunikasi Leuser.  Pendanaan proyek ini berasal dari program TFCA-Sumatera, yakni program di bawah perjanjian bilateral pengalihan utang untuk lingkungan antara Pemerintah Amerika Serikat dan Pemerintah Indonesia. 

Koordinator Konsorsium Badak Utara, Dedi Yansyah, menyampaikan saat ini proses pembangunan fasilitas pengembangbiakan badak (SRS) telah dimulai. Pembangunan ini dimulai dengan proses studi kelayakan berikut kajian zoonosis telah dirampungkan sebelumnya. Fasilitas ini diharapkan dapat rampung pada akhir Desember 2021. 

Bupati Aceh Timur sendiri telah berkomitmen untuk mengalokasikan kawasan seluas 7.302 Ha di Alue Timur, Leuser untuk konservasi badak di Aceh.  

Namun upaya penyelamatan badak Sumatera dengan pembangunan kawasan ini dirasa belum cukup karena satwa itu sulit berkembang di alam. Penyebabnya adalah populasi yang tersebar dalam kantong-kantong kecil bersifat non-viabel dan sangat terisolasi. Selain itu proses berkembang biak badak Sumatera sangat lambat. Terbukti fasilitas pengembangbiakan badak Sumatera di Taman Nasional Way Kambas sangat lambat, yaitu hanya menghasilkan dua anakan dalam waktu lebih 10 tahun.  

Pakar Teknologi Reproduksi Berbantu (Assisted Reproductive Technology/ ART), Muhammad Agil,  menyebutkan bahwa teknologi ini diperlukan untuk meningkatkan populasi satwa khususnya badak Sumatera. Perkembangan teknologi saat ini memungkinkan membantu kesinambungan hidup populasi yang nyaris atau bahkan telah punah di alam. Salah satunya adalah teknologi menggunakan stok plasma nutfah dalam bio-bank (cryo-preservation).  

Teknologi ini mulai diaplikasikan di Indonesia sejak 2019 dan menjadi mandat dokumen Rencana Aksi Darurat Sumatra yang dikeluarkan oleh Pemerintah. 

Badak Sumatera sulit berkembang di alam karena populasi yang tersebar dalam kantong-kantong kecil bersifat non-viabel dan sangat terisolasi. Jumlah yang sedikit dan kawasan habitat cukup luas menyebabkan badak di alam sulit untuk bertemu dan kawin (Allee effect).  Pengembangbiakan secara alami sangat lambat dan baru menghasilkan 5 anak badak selama 40 tahun.  

Hal ini sangat mengkhawatirkan jika tidak dibantu dengan teknologi reproduksi yang ada. Selain itu, badak yang kita miliki juga mengalami masalah patologis dan penyakit (seperti adanya kista serta tumor pada rahim dan leher rahim badak betina, yang disebabkan oleh alee effect tadi).

“Program darurat berupa pencarian dan penyelamatan (search and rescue) badak pada populasi yang terisolasi dan tidak viable perlu dilakukan, dimana badak-badak tersebut akan dipindahkan ke fasilitas pengembangbiakan seperti SRS,” ucap Agil.  

Pengumpulan materi genetik dan kepastian keragaman genetik harus dilakukan untuk memastikan tidak akan terjadi perkawinan antar kerabat.  Pengumpulan bahan genetik dilakukan dalam bentuk stok semen beku, embrio dan induced-pluripotent stem cell sebagai cadangan untuk menghasilkan anak-anak badak baru.  Aktivitas seperti ini telah tertuang dalam peta jalan ART dan Bio-bank Badak Sumatera tahun 2021-2026 yang disusun oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati KLHK, Indra Eksploitasia, menyebutkan badak adalah aset negara yang dijaga dan dilestarikan bersama. Kebijakan pemerintah mengembangkan suaka dan ART adalah program pengembangbiakan di dalam lingkungan terkontrol yang terkoneksi dengan program konservasi in situ.  

“Bila program pembiakan ini berhasil, anakan badak maupun satwa liar lainnya akan dikembalikan ke alam,” ujar dia.  

SHARE