Kendornya Penegakan Hukum Sektor Kehutanan Pasca Omnibus Law
Penulis : Kennial Laia
Hutan
Jumat, 16 Juli 2021
Editor :
BETAHITA.ID - Penegakan hukum terhadap kejahatan lingkungan dan kehutanan berpotensi ‘hilang’ di bawah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Pasalnya, Omnibus Law ini disebut hanya mengandalkan sanksi administratif bagi pelanggar di dalam kawasan hutan.
Direktur Hukum Yayasan Auriga Nusantara, Roni Saputra mencontohkan, banyak pasal dalam Undang-Undang Perlindungan Lingkungan Hidup yang hilang dan tidak berlaku lagi pasca diubah di dalam Omnibus Law. Pasal-pasal ini terutama yang digunakan oleh penegak hukum untuk menjerat korporasi pelanggar hutan.
Menurutnya, berbagai kasus yang menjerat korporasi hampir semuanya menggunakan pasal 98 dan pasal 99. Sementara itu vonisnya menggunakan pasal 99 terkait kelalaian yang mengakibatkan melebihi baku mutu.
“Ketika pasal 99 dihapus dan diganti dengan sanksi administratif, penegakan hukum di lingkungan hidup juga hilang. Norma ini dipindahkan ke sanksi administratif,” terang Roni dalam diskusi virtual, Rabu, 14 Juli 2021.
Kasus yang paling menarik adalah terkait perusahaan yang menanam kebun sawit di dalam kawasan hutan. Dengan Omnibus Law, nantinya korporasi hanya dikenakan sanksi administratif dengan ketentuan wajib memenuhi syarat dan denda.
“Ketika sudah membayar, dia mendapat penerbitan pelepasan kawasan hutan atau persetujuan melanjutkan kegiatan usaha di dalam kawasan hutan lindung atau konservasi. Tidak ada pidana sama sekali,” ujar Roni.
Salah satu pasal yang menjadi polemik sejak Omnibus Law masih menjadi draf adalah pasal 110a dan pasal 110b. Kedua pasal ini dianggap bermasalah karena memberikan kemudahan bagi pelaku ketelanjuran yang membuka kebun sawit di dalam kawasan hutan.
Peneliti Walhi Nasional Even Sembiring mengatakan, pelanggaran administratif sebagai pelanggaran yang serius dan mengancam hajat hidup orang banyak dan lingkungan, termasuk sawit korporasi di dalam kawasan. Menurutnya, Omnibus Law telah menghilangkan keseriusan dalam pelanggaran administrasi tersebut.
“Kalau bicara administrasi, kan bertahap. Itu malah melegalkan kejahatan tanpa memikirkan bagaimana pemulihannya,” kata Even.
Direktur Penegakan Hukum Pidana Kementerian Lingkungan dan Kehutana (KLHK) Yazid Nur Huda mengatakan, norma penegakan hukum di sektor kehutanan maupun lingkungan hidup telah bergeser sejak disahkannya UU Cipta Kerja.
Menurutnya, saat penegakan hukum mengutamakan asas ultimum remedium, yang menyatakan hukum pidana sebagai upaya terakhir. Pelanggaran yang bersifat administratif tidak lagi diberikan sanksi pidana, tapi sanksi administratif.
“Contoh pelanggaran administratif adalah usaha atau kegiatan yang tidak memiliki izin lingkungan. Pada undang-undang sebelumnya, ini tadinya dipidana,” kata Yazid. “Di UU Cipta Kerja, hal itu diubah. Pelanggaran terhadap kewajiban administratif diberikan sanksi administratif,” terangnya.
Ada lima sanksi administratif, mulai dari teguran tertulis hingga pencabutan izin. Menurut Yazid, pelanggaran administratif tetap bisa dilakukan namun dengan beberapa acuan. Misalnya, pelanggaran berdampak pada kesehatan, keselamatan orang, dan lingkungan (K2L).
“Selama punya dampak ke lingkungan, walau pelanggaran administratif tapi itu pidana. Saya harus buktikan. Begitu juga dengan kehutanan. Seluruh ancaman perbuatan yang dilarang di UU Kehutanan dan UU Lingkungan Hidup pasti berdampak pada lingkungan,” jelasnya.
Terkait dengan pemulihan kualitas lingkungan, Yazid mengatakan akan mengenakan pasal 119 Undang-Undang Lingkungan Hidup kepada pelanggar di dalam kawasan hutan.
“Ini pidana tambahan untuk korporasi, yaitu kewajiban memulihkan lingkungan. Untuk kasus-kasus kerusakan, kami sering menggunakan pasal itu,” jelasnya.
“Lalu bagaimana dengan administrasi dengan konteks pasal 110b? Itu juga bisa. Setelah bayar denda, (korporasi) diberikan legalitas untuk melanjutkan usaha. Bisa juga diwajibkan untuk memulihkan lingkungan yang rusak,” terangnya.
SHARE