Derita Masyarakat di Balik Naiknya Pamor Nikel
Penulis : Kennial Laia
Tambang
Rabu, 24 Maret 2021
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Eksploitasi bijih nikel di Indonesia menjadi salah satu sumber konflik, kriminalisasi masyarakat, dan kerusakan lingkungan. Menurut Ketua Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) hal itu terjadi di berbagai lokasi operasi tambang nikel.
Melky mengatakan, saat ini industri dan pertambangan nikel tersebar di berbagai pulau, seperti Sulawesi, Kepulauan Maluku, serta Papua. “Dari tinjauan lapangan, hampir semua pulau-pulau tersebut dipenuhi oleh izin korporasi tambang. Di Sulawesi, misalnya, dari Morowali ke Bangai itu penuh tambang nikel,” kata Melky kepada Betahita, Selasa, 23 Maret 2021.
Kondisi tersebut bukan tanpa dampak. Melky mengatakan, masyarakat petani kehilangan ruang produksi karena adanya alih fungsi lahan baik secara prosedur legal maupun perampasan tanah. Saat ada yang menolak menjual tanahnya, petani mengalami intimidasi sehingga terpaksa melepas lahannya seperti yang terjadi di Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara.
Masyarakat adat juga kena getahnya. Suku Tobelo Dalam yang hidup nomaden di sekitar hutan-hutan Halmahera Utara, Maluku Utara, misalnya, mengalami perampasan tanah oleh perusahaan nikel yang membangun jalan hingga ke wilayah suku tersebut. Wilayah hidup dan makam leluhur suku Tobelo Dalam Ma, Kokarebok, Folajawa, Komao, Ngoti-Ngotiri, Sakaulen, Namu, Mein, dan Talen masuk dalam konsesi tambang.
“Ketika ruang-ruang masyarakat ini hilang, terjadi perubahan sosial di mana masyarakat tidak lagi mandiri secara pangan dan bergantung pada ekonomi uang,” tutur Melky.
Kerusakan lingkungan
Direktur Eksekutif Walhi Nasional Nur Hidayati mengatakan, studi lapangan menemukan adanya pembuangan limbah panas dari aktivitas kawasan industri nikel di Sulawesi Tengah. Selain ini, lalu-lalang tongkang pengangkut batu bara untuk sumber listrik maupun bijih nikel mengganggu aktivitas nelayan di Dusun Kurisa, Desa Fatufia, Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali.
Nelayan pun mengalami kesulitan karena tercemarnya Laut Maluku itu. “Akibatnya, tangkapan nelayan di beberapa desa berkurang. Mereka harus melaut lebih jauh, dan ini membutuhkan biaya produksi yang lebih besar,” kata Yaya, panggilannya, dalam diskusi virtual pekan lalu.
Hal serupa menimpa warga di Pulau Obi, Maluku Utara. Kepulauan Maluku. Limbah akhir (tailing) berakhir di laut dan menyulitkan nelayan. Melky menyebut, kawasan perikanan di Halmahera Tengah bernama Tanjung Uli dan Teluk Gemaf telah hilang karena limbah perusahaan tambang. Kualitas air dan biota laut di Teluk Weda pun rusak.
Warga juga mengalami kesulitan air karena harus berebut dengan perusahaan. Data Jatam mengungkap, setiap tahun aktivitas pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara yang digunakan perusahaan menyedot sekitar 2 juta meter kubik air tawar dan air laut untuk pasokan PLTU batu bara dan kebutuhan pekerja pabrik.
“Dampak tambang nikel di wilayah ini, mulai dari hilangnya lahan hingga kerusakan udara dan lingkungan, ketika diakumulasi, menimbulkan daya rusak yang luar biasa yang akan terasa hingga generasi mendatang. Ini tidak dihitung oleh negara dan perusahaan,” kata Melky.
Konflik agraria dan kriminalisasi
Melky mengatakan, hampir semua daerah lokasi industri nikel beroperasi mengalami konflik. Mulai dari Pulau Buli, Halmahera, Banggai, Morowali Utara, hingga Konawe Selatan pernah terjadi bentrok antara masyarakat dengan korporasi dan aparat negara maupun non-negara yang mengamankan perusahaan.
Beberapa konflik berujung pada kriminalisasi warga yang mempertahankan tanahnya dari perusahaan tambang. Contohnya di Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Beberapa kali perusahaan menerobos tanah masyarakat dengan penjagaan aparat bersenjata. Ketika protes, sebanyak 27 warga dituduh melakukan perampasan kemerdekaan, melakukan ancaman, dan penganiayaan.
Kriminalisasi dan kekerasan juga dialami oleh warga di tempat lain, seperti Weda, Buli, dan Pulau Obi di Maluku Utara; Banggai, Bahodopi, dan Morowali Utara di Sulawesi Tengah. Konflik ini seringkali melibatkan aktor negara maupun non-negara, kata Melky.
Melky mengatakan, konflik tersebut terjadi karena pemerintah tidak melibatkan masyarakat pada pengambilan keputusan maupun proses perizinan. Ketika bertemu dengan masyarakat, perusahaan telah mengantongi dokumen izin atau izin usaha pertambangan, dan terkadang didampingi oleh polisi atau tentara.
“Perusahaan datang bukan untuk dialog, tapi melakukan sosialisasi searah,” kata Melky.
“Seluruh kebijakan terkait eksploitasi tambang nikel itu tidak berangkat dari aspirasi dan kebutuhan warga. Semua ditentukan oleh Jakarta. Dan yang dapat untung adalah korporasi dan elit politik tertentu,” ujarnya.
Industri nikel butuh regulasi lebih baik
Beberapa tahun terakhir, komoditas nikel semakin populer seiring berkembangnya isu krisis iklim. Nikel merupakan salah satu bahan baku komponen kendaraan listrik, yaitu baterai litium-ion. Mobil listrik disebut dapat menjadi alternatif kendaraan berbahan bakar fosil karena ramah lingkungan.
Juru Kampanye Energi Terbarukan Greenpeace Indonesia Satrio Swandiko Prilianto mengatakan, kondisi tersebut diikuti oleh konsumsi sumber daya alam seperti di Indonesia. Menurutnya, industri nikel dapat menjadi potensi masalah lingkungan dan sosial jika tidak diregulasi dengan baik.
“Masalah tersebut mulai dari masalah eksploitasi, pembukaan lahan, hingga limbah,” kata Satrio kepada Betahita, dalam keterangan tertulis, Selasa, 23 Maret 2021.
Satrio mengatakan, pemerintah harus menekan konsumsi nikel agar tidak terjadi eksploitasi berlebihan dan berdampak negatif terhadap lingkungan dan sosial. Khususnya, karena pemerintah telah mencanangkan pengembangan otomotif listrik melalui Peraturan Presiden tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai dua tahun lalu.
Dalam berbagai kesempatan, pemerintah mengungkapkan niat untuk menggenjot investasi komoditas nikel di dalam negeri. Salah satunya Tesla, perusahaan asal Amerika Serikat yang digawangi Elon Musk.
“Ke depan, ada potensi meningkatnya konsumsi nikel untuk sektor ini,” kata Satrio.
Greenpeace Indonesia menghitung, kebutuhan nikel berpotensi naik hingga 1.000 persen pada 2050. Karena itu, kata Satrio, pihaknya mendorong pemerintah untuk fokus pada penggunaan kendaraan umum berbasis listrik ketimbang kendaraan pribadi berbasis listrik. Menurutnya itu salah satu alternatif yang lebih hijau dan tidak memicu masalah baru.
“Berkaca pada banyaknya volume kendaraan terutama di kota-kota besar, maka itu tidak dapat menyelesaikan masalah kemacetan yang juga menjadi masalah problem tersendiri,” pungkasnya.
SHARE