Kasus Baru Covid-19 2.657, Epidemiolog: Orang Bergerak Bebas
Penulis : Betahita.id
Covid-19
Kamis, 09 Juli 2020
Editor :
BETAHITA.ID - Penambahan kasus baru pasien positif Covid-19 kembali mencatat rekor. Pada Kamis, 9 Juli 2020, tambahan penderita yang terinfeksi virus corona sebesar 2.657 orang.
“Jumlah penderita menjadi 70.736 kasus,” kata juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, dalam konferensi pers.
Sebanyak 1.066 orang sembuh, sehingga menjadi 32.651 kasus. Terdapat 58 kasus pasien yang meninggal sehingga menjadi 3.417 orang. Jumlah orang yang masih dipantau atau ODP sebanyak 38.498, dan 13.732 orang merupakan pasien dalam pengawasan (PDP).
“Tambahan cukup banyak dari Jawa Barat sebanyak 962 kasus, dan dilaporkan 27 orang sembuh,” kata Yurianto
Berdasarkan penyelidikan epidemiologi sejak 29 Juni 2020, Yurianto mengatakan penambahan kasus positif Covid-19 yang tinggi ini berasal dari klaster pusat pendidikan Sekolah Calon Perwira TNI Angkatan Darat (Secapa AD). “Kami dapatkan seluruh kasus positif dari klaster ini sebanyak 1.262 orang,” katanya.
Kasus positif baru di Jawa Timur 517 dan di DKI Jakarta 284. Daerah yang menyumbang tambahan pasien positif cukup banyak lainnya adalah Sulsel 130, Sulut 126, Jateng 120, Kalsel 108, Sumut 108, Sumsel 108.
Selain itu, Iqbal yang juga Kolaborator Saintis LaporCOVID-19, menjelaskan pengaruh lain kemungkinan berasal dari berubahnya virulensi virus SARS-COV-2 menjadi lebih ganas, tapi status ini harus dibuktikan dengan data klinis dan data genetik. Juga perilaku pencegahan - jaga jarak aman, pakai masker dengan benar, cuci tangan yang benar - oleh individu dan masyarakat tidak maksimal.
Selain itu faktor yang mendorong kenaikan jumlah orang positif terkonfirmasi Covid-19, menurutnya adalah harus mengetahui apakah pemeriksaan orang yang datang ke rumah sakit meningkat, kemudian apakah orang yang terlacak dalam pelacakan dari kasus positif meningkat, serta apakah orang-orang yang diperiksa melalui survei khusus meningkat di superspreading event.
"Misalnya di kerumunan, perkantoran, pasar-pasar, pabrik-pabrik, perumahan, sarana transportasi umum, pesantren, sarana pendidikan, sarana agama, dan lainnya," tutur Iqbal.
Selain itu, kata dia, harus diketahui pula kemampuan lab covid untuk memeriksa jumlah sampel meningkat, misalnya karena ada tambahan lab, tambahan alat dan tambahan tenaga, termasuk apakah semua lab Covid melaporkan angka positif mereka setelah pada hari-hari sebelumnya tertunda.
Menurut Iqbal, yang juga peneliti dari Eijkman-Oxford Clinical Research Unit (EOCRU), perlu kejelasan dari otoritas kesehatan dan gugus tugas, dari jalur mana kontribusi kenaikan kasus itu terjadi. "Sehingga dapat menjelaskan apakah karena situasinya memang tambah parah, atau karena ada upaya penemuan, diagnosis, dan pelaporan yang lebih baik," ujarnya.
Iqbal mengatakan ada beberapa solusi untuk mengatasi penyebaran Covid-19 yang semakin banyak ini, tapi harus dilakukan secara maksimal. Pemerintah daerah jangan merasa takut untuk memulai atau memperpanjang dan mengulang pembatasan sosial berskala besar (PSBB), karena risiko tinggi, baik di tingkat kabupaten/kota, dan kecamatan.
Kemudian, pemerintah daerah dan aparat juga harus memaksimalkan pemakaian masker di luar rumah, serta pastikan ada sanksi sosial untuk pelonggaran. Karena menurutnya, pemakaian masker adalah tindakan bela negara dan manfaat untuk melindungi anggota komunitas yang lain.
"Pemda mempercepat, perbanyak tracing kontak, pemeriksaan PCR dan segera diisolasi jika positif sehingga interaksi orang-orang tersebut di masa infektif mereka dapat dimininalkan," kata Iqbal menambahkan. "Ajarkan isolasi diri yang benar di rumah tangga supaya tidak terjadi transmisi di dalam rumah."
Iqbal yang juga anggota dari Indonesian Young Scientists Forum (IYSF) menerangkan bahwa menjelaskan data dan situasi yang sesungguhnya adalah kunci mengatasi pandemi. Dia berujar, pengaturan dan tertutupnya data yang sesungguhnya hanya menurunkan kewaspadaan masyarakat dan memberikan pesan yang salah kepada sesama aparat, sekaligus menurunkan kredibilitas penanganan Covid-19.
"Statistik pandemi haruslah statistik kebenaran, bukan dengan statistik pembenaran, apalagi pembegalan dan pengaturan statistik," tutur Iqbal.
SHARE