RUU Cipta Kerja Dinilai Perumit Pengaturan Masyarakat Hukum Adat
Penulis : Redaksi Betahita
Agraria
Kamis, 12 Maret 2020
Editor : Redaksi Betahita
Betahita.id – Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang disiapkan pemerintah dianggap tidak akan menyelesaikan permasalahan yang muncul, bahkan malah akan memperumit pengaturan masyarakat hukum adat dan hak atas wilayah adat di Indonesia. Anggapan tersebut muncul salah satunya karena terdapat banyak frasa yang digunakan dalam pengaturan masyarakat adat.
Baca juga: 12 Alasan Masyarakat Sipil Tolak Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja
Penelitian Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) menemukan frasa-frasa yang tidak seragam untuk mengatur masyarakat hukum adat dan hak atas wilayah adat dalam RUU Cipta Kerja. Hal tersebut disampaikan dalam diskusi peluncuran “Kertas Kebijakan Pengaturan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja†di Javara Culture, Jakarta Selatan, Selasa (10/3/2020) lalu.
Direktur Perkumpulan HuMa, Dahniar Adriani, mengatakan, dalam konteks subjek hukum, terdapat frasa masyarakat hukum adat, masyarakat adat, masyarakat lokal, dan masyarakat tradisional. Sedangkan untuk mengatur wilayah adat misalnya terdapat frasa hak ulayat, hak tradisional, wilayah adat, wilayah kelola masyarakat hukum adat, desa adat, dan kawasan adat.
“Perbedaan frasa-frasa tersebut terjadi karena di dalam berbagai undang-undang sektoral yang diubah oleh RUU ini memang menyebutkan istilah yang berbeda tentang masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya, dan ternyata persoalan itu dilanggengkan oleh RUU ini. RUU ini tidak memanfaatkan momentum untuk mengurangi ego sektoral pengelolaan sumber daya alam dalam pengakuan dan perlindungan hak masyarakat hukum adat,” ungkap Dahniar Andriani, Selasa (10/3/2020).
Berkaitan dengan pengakuan masyarakat hukum adat sebagai subjek, RUU Cipta Kerja melanggengkan ketidakpastian hukum yang selama ini ditimbulkan oleh perundang-undangan nasional. Dahniar Andriani melanjutkan, terdapat tiga pengaturan yang tidak seragam berkaitan dengan prosedur pengakuan masyarakat hukum adat dalam RUU Cipta Kerja. Yaitu: pertama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kedua diserahkan kepada pemerintah pusat dan ketiga harus melalui Peraturan Daerah.
Selain melestarikan ketidakjelasan prosedur, kewenangan, pada tingkat mana dan dengan produk hukum apa pengukuhan masyarakat hukum adat, pengaturan di atas juga melanggengkan pengakuan bersyarat bagi masyarakat hukum adat. Karena terdapat syarat prosedural untuk mengakui masyarakat hukum adat secara hukum, yaitu harus terlebih dahulu ditetapkan melalui produk hukum.
Selain syarat prosedural, syarat substantif pengakuan masyarakat hukum adat juga dipertahankan oleh RUU Cipta Kerja. Terdapat pasal yang membatasi secara rigid definisi masyarakat hukum adat, misalnya Pasal 38 angka 2, yang mensyaratkan masyarakat hukum adat harus memiliki kelembagaan.
RUU Cipta Kerja juga mempertahankan syarat pengakuan masyarakat hukum adat sesuai peraturan perundang-undangan. Padahal selama ini peraturan perundang-undangan mengatur syarat-syarat yang rigid untuk pengakuan masyarakat hukum adat, misalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan kepentingan nasional.
“Persoalan utamanya adalah pengakuan dengan syarat prosedural dan substantif tersebut mempersulit masyarakat hukum adat untuk menikmati hak-hak tradisionalnya. Padahal UUD 1945 mencita-citakan agar masyarakat hukum adat dapat menikmati hak-hak tradisionalnya,” kata Dr. Rikardo Simarmata, pakar hukum adat Universitas Gadjah Mada (UGM) dalam pertemuan tersebut.
Lebih lanjut, terdapat beberapa masalah terkait pengaturan yang berhubungan dengan wilayah adat dalam RUU Cipta Kerja. Pertama, penggunaan beberapa frasa hak ulayat tanpa disertai definisi pada ketentuan umum. Kedua, penggunaan frasa hak ulayat yang definisinya berbeda dari yang diatur Konstitusi dan Putusan MK 35/PUU-X/2012.
Misalnya dalam pasal-pasal terkait UU 17/2019 tentang Sumber Daya Air. Dalam ketentuan umumnya, hak ulayat hanya didefinisikan sebagai kewenangan untuk memanfaatkan. Padahal, hak ulayat masyarakat hukum adat atas wilayah adatnya juga termasuk kewenangan mengatur dan menguasai.
Ketiga, kewenangan yang terbatas bagi masyarakat hukum adat. Misalnya frasa wilayah kelola masyarakat hukum adat yang berkaitan dengan UU 27/2007 tentang PWP3K sebagaimana telah diubah dengan UU 1/2014. Frasa tersebut hanya disinggung berkaitan dengan perizinan berusaha di perairan pesisir.
Contoh lain adalah peraturan mengenai kawasan adat berkaitan dengan penataan ruang. Tidak diatur kewenangan masyarakat hukum adat dalam kawasan adat. Keempat, walaupun terdapat beberapa pasal yang seolah-olah melindungi kepentingan masyarakat hukum adat, namun pasal-pasal tersebut tidak akan menyelesaikan perampasan wilayah adat akibat konflik penguasaan tanah dan sumberdaya alam.
Apalagi pasal-pasal terkait wilayah adat dalam RUU Cipta Kerja dimaksudkan untuk pembukaan tanah bagi kepentingan investasi. Sampai sekarang masih terdapat ketidakjelasan mengenai mekanisme pengakuan dan pendaftaran tanah hak ulayat.
Tanpa mekanisme pengakuan yang jelas, wilayah adat sangat rentan dirampas demi investasi karena secara formil belum mendapat pengakuan. Terakhir, pengaturan mengenai wilayah adat dalam RUU Cipta Kerja masih sangat sektoral. Hal ini mencederai semangat penghargaan hak tradisional masyarakat hukum adat yang harusnya bersifat holistik.
Di tempat sama Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas, Dr. Kurnia Warman mengatakan, dilihat dari substansi pengaturan mengenai masyarakat hukum adat dalam RUU Cipta Kerja, dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, RUU Cipta Kerja yang digadang-gadang pemerintah untuk menyelesaikan tumpang tindih pengaturan ternyata sama sekali tidak menyelesaikan sektoralisme pengaturan masyarakat hukum adat dan hak atas wilayah adat.
Kedua, ketidakjelasan pengakuan masyarakat hukum adat dan wilayah adat yang dilanggengkan oleh RUU Cipta Kerja menyebabkan masyarakat hukum adat rentan menjadi korban perampasan tanah demi kepentingan investasi.
“Ketiga, RUU ini tidak bisa diharapkan untuk mendorong penyelesaian konflik penguasaan tanah dan pengelolaan sumber daya alam yang senantiasa merugikan masyarakat hukum adat,” kata Dr. Kurnia Warman.
SHARE