Ibu Kota Baru: Rumah Tambang Minyak dan Batu Bara
Penulis : Redaksi Betahita
Uncategorized
Rabu, 28 Agustus 2019
Editor : Redaksi Betahita
Betahita.id – Kalimantan Timur resmi ditetapkan sebagai ibu kota baru oleh Presiden Joko Widodo. Menurut Joko, akrab disebut dengan Jokowi, ada dua kabupaten yang ideal untuk menggantikan Jakarta, yakni Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara.
“Fasilitas infrastruktur di Kalimantan relatif lengkap. Lokasi ibu kota baru yang paling ideal ini berada di sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian di Kabupaten Kutai Kartanegara,” kata Jokowi pada pengumuman di Istana Negara, Jakarta, Senin, 26 Agustus 2019.
Wacana pemindahan ibu kota ke luar Pulau Jawa telah menyeruak sejak presiden pertama, Ir. Soekarno. Namun, baru Jokowi yang serius hendak mewujudkannya. Menurut Jokowi, Jakarta terlalu banyak menanggung beban. Mulai dari pusat pemerintahan, bisnis, perdagangan, jasa, hingga pendidikan. Berbagai masalah seperti kemacetan dan polusi udara juga menjadi pertimbangan.
“Kondisi Jakarta sudah terlalu padat. Kemacetan lalu lintas terlanjur parah. Ditambah lagi masalah lingkungan seperti polusi air dan udara. Harus segera ditangani,” ungkapnya.
Jokowi mengatakan kedua lokasi ibu kota baru itu dipilih berdasarkan kajian tiga tahun. Kajian itu menilai potensi bencana seperti banjir, longsor, kebakaran hutan, gempa bumi, tsunami, serta erupsi gunung berapi.
Dia menambahkan pemerintah telah menguasai 180,000 hektare lahan di provinsi tersebut. Dua kabupaten pilihan tersebut, menurutnya, juga dekat dengan Balikpapan serta ibu kota provinsi, Samarinda. Balikpapan memiliki dua bandara internasional, dengan pusat penyulingan minyak dan pelabuhan. Sementara itu, Samarinda merupakan terminal penting bisnis batu bara Indonesia. Kutai Kartanegara merupakan produsen batu bara terbesar di Indonesia.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan, ibu kota baru mulai dibangun pada 2021 dengan target selesai pada 2024 saat periode kedua pemerintahan Jokowi berakhir.
“Masterplan yang sedang dibangun kira-kira akan menggambarkan kota yang mudah-mudahan menjadi kota yang ideal, dan yang paling penting, menjadi standar bagi pengembangan atau pembangunan kota-kota besar di wilayah metropolitan di Indonesia,” kata Bambang kepada media, 1 Agustus lalu.
Ibu kota negara dibangun secara bertahap dalam tiga fase. Fase pertama adalah kawasan pusat pemerintahan meliputi istana, kantor lembaga negara, taman budaya, serta kebun botani di atas lahan seluas 2.000 hektare dengan target selesai pada 2024. Fase perluasan kedua dan ketiga ditargetkan selesai pada 2045. Total luas lahan yang dibutuhkan mencapai lebih dari 200.000 hektare.
Menurut Bambang, pemerintah berkomitmen tidak mengurangi luas hutan lindung dalam proses pembangunan ibu kota. Pasalnya, ibu kota baru akan memiliki sekitar 50 persen “lahan hijau terbuka”, meliputi taman rekreasi, kebun binatang, kebun botani, serta kompleks olahraga yang terintegrasi dengan lanskap alami hutan seperti perbukitan dan sungai.
“Yang pasti komitmen besarnya adalah tidak akan mengurangi luasan hutan lindung di Indonesia. Lalu, dengan target 50 persen ruang terbuka hijau, dalam artian bukan tanah kosong. Tapi benar-benar merupakan wilayah hijau dan konsepnya forest city,” katanya.
“Justru, ketika kita membangun ibu kota baru, kita sekaligus melakukan perbaikan kondisi lingkungan di Kalimantan. Ini strategi kita dalam memastikan bahwa kondisi lingkungan tidak terganggu selama pembangunan ibu kota baru tersebut,” tegasnya.
Bambang memperkirakan, ibu kota baru akan menelan biaya sekitar Rp460 triliun (US$ 33 juta). Sebanyak 19 persen berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan selebihnya melalui investasi swasta dan kerjasama antara pemerintah dan badan usaha. Pindahnya ibu kota juga akan diikuti oleh eksodus 1.5 juta penduduk, mayoritas aparatus sipil negara.
Badan Pusat Statisik menyebutkan, Pulau Kalimantan atau Borneo memiliki 37 juta hektare hutan tropis yang didominasi oleh wilayah gambut, dengan 7 juta hektare hutan lindung. Berdasarkan Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 1 Tahun 2016, luas hutan lindung lebih dari 1,8 juta hektare. Kalimantan Timur dihuni sekitar 3,6 juta jiwa, dari total 16 juta penduduk di seluruh Pulau Kalimantan.
Dalam beberapa dekade terakhir, pembukaan hutan skala besar untuk industri pertambangan, kehutanan, dan perkebunan kelapa sawit menjadi sumber konflik antara perusahaan dan masyarakat adat/komunitas lokal; serta mengancam keberlangsungan hidup orangutan Borneo (Pongo pygmaeus), yang merupakan satwa endemik dan terancam punah.
Kebakaran hutan dan lahan juga rutin terjadi di Kalimantan Timur. Data kebakaran hutan sepanjang enam bulan pertama 2019 oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan, Kalimantan Timur menyumbang asap kebakaran hutan sebesar 12,4 persen yang berasal dari lahan seluas 16.892 hektare. Kalimantan Timur juga menempati urutan kedua tertinggi dengan luas hutan terbakar mencapai 4.430 hektare.
Kepala Departemen Advokasi Wahana Lingkungan Hidup Nasional (WALHI) Zenzi Suhadi mengatakan pemindahan ibu kota akan memperburuk beban lingkungan hidup di Kalimantan Timur. Menurutnya, ancaman serta risiko kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Timur selalu ada.
“Apalagi saat ini Kalimantan Timur sudah menanggung beban lingkungan yang tinggi akibat aktivitas tambang, sawit, serta hutan produksi dan industri. Dampaknya nyata, mulai dari lubang tambang yang ditinggalkan hingga turunnya kualitas air bersih,” katanya kepada Betahita, Rabu, 28 Agustus 2019.
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kalimantan Timur mencatat, terdapat 1.190 Izin Usaha Pertambangan di provinsi tersebut. Sebanyak 625 izin di antaranya berlokasi di Kabupaten Kutai Kartanegara, salah satu lokasi yang digadang-gadang sebagai rumah ibu kota negara baru.
Masih oleh JATAM, saat ini terdapat 13,83 juta hektare izin di Kalimantan Timur. Seluas 5,2 juta di antaranya merupakan izin pertambangan.
SHARE