Aliran Duit Perusak Hutan Sumatera
Penulis : Aryo Bhawono
Ekologi
Kamis, 25 Desember 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Sepanjang 2014-2025 pembiayaan skala besar ke sejumlah perusahaan di sektor yang berisiko kerusakan lingkungan di Sumatera mencapai 42,9 miliar dolar AS, di antaranya dari bank-bank BUMN. Koalisi Responsibank mendesak industri keuangan berperan memutus pembiayaan yang merisikokan lingkungan hidup pasca bencana ekologis di Sumatera.
Analisis data Forests and Finance menunjukkan pendanaan sebesar 42,9 miliar dolar AS telah mengaliri perusahaan di sektor berisiko di Sumatera sepanjang 2014–2025. Pendanaan ini terdiri dari pinjaman sebesar 16,9 miliar dolar AS dan pembiayaan penjaminan (underwriting) sebesar 26,1 miliar dolar AS. Aliran dana ini mengalir di tengah meningkatnya risiko ekologis dan konflik sosial di wilayah operasi perusahaan-perusahaan ayng mendapatkan pendanaan itu..
Pada daftar kreditur terbesar, tercatat sejumlah bank nasional dengan nilai pembiayaan signifikan. Bank Mandiri tercatat menyalurkan pembiayaan sebesar 3,75 miliar dolar AS, disusul Bank Rakyat Indonesia (BRI) sebesar 1,65 miliar dolar AS, dan Bank Negara Indonesia (BNI) sebesar 1,14 miliar dolar AS. Selain bank nasional, sejumlah lembaga keuangan internasional dari China, Jepang, Singapura, dan Inggris juga tercatat aktif membiayai sektor-sektor tersebut.
Aliran pendanaan di perusahaan sektor yang merisikokan perusakan lingkungan di Sumatera sepanjang 2014-2025. Data: Forest and Finance
Sementara itu, berdasarkan kelompok perusahaan, PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE), yang mengembangkan PLTA Batang Toru tercatat menerima pembiayaan terbesar dengan total 23 miliar dolar AS, mayoritas melalui skema penjaminan. PT Agincourt Resources, yang memiliki konsesi tambang di Batang Toru, sebesar US$ 9,87 miliar dan PTPN III sebesar 7,54 miliar dolar AS.
Koalisi Responsibank menekankan bahwa data ini baru mencerminkan sebagian kecil perusahaan yang dapat ditelusuri, mengingat masih terbatasnya keterbukaan data pembiayaan dan struktur korporasi di Indonesia.
Kepala Departemen Advokasi dan Pendidikan Publik Transparansi untuk Keadilan (TuK) Indonesia, Abdul Haris menyebutkan selama ini akses data perusahaan dan pembiayaan menunjukkan lemahnya akuntabilitas. Ini justru menguatkan alasan mengapa transparansi dan kewajiban pelaporan harus diperketat.
“Perusahaan mengelola sumber daya alam yang merupakan barang publik, maka keterbukaan risiko sosial dan lingkungan dalam laporan keuangan bukanlah pilihan, melainkan kewajiban,” kata dia.
Tekanan terhadap ekosistem juga tercermin dari temuan lapangan. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Utara mencatat perubahan tutupan hutan seluas 10.795,31 hektare di lanskap Batang Toru yang diduga terkait aktivitas tujuh perusahaan besar. Kerusakan tersebut diperkirakan telah menghilangkan lebih dari 5,4 juta pohon, termasuk di kawasan yang berfungsi sebagai penyangga hidrologis dan koridor satwa. Pembukaan lahan dalam skala besar ini dinilai melemahkan fungsi alamiah kawasan hulu dan memperbesar risiko banjir bandang serta longsor di wilayah hilir.
Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Utara, Rianda Purba, menilai respons pemerintah pascabencana tidak boleh berhenti pada langkah administratif semata. Ia menegaskan bahwa perusahaan-perusahaan yang berkontribusi pada kerusakan harus dievaluasi secara menyeluruh dan izinnya dicabut.
“Keselamatan masyarakat tidak bisa dikorbankan atas nama legalitas. Negara tidak bisa melepaskan tanggung jawab ketika kerusakan ekologis dilegitimasi melalui izin resmi,” ujarnya.
Rianda juga mengingatkan bahwa ekosida yang dilegitimasi melalui izin resmi memperlihatkan bahwa negara sebagai penerbit izin tidak bisa melepaskan diri dari tanggung jawab atas kerusakan ini. Bencana ekologis di Batang Toru mencerminkan kegagalan dalam tata kelola lingkungan dan pembiaran sistemik terhadap kerusakan sumber daya alam.
“Akan menjadi sia-sia jika pelaku ilegal diproses hukum, sementara aktivitas deforestasi yang legal justru terus dibiarkan melalui perizinan resmi,” ujarnya.
Koalisi Responsibank juga menyoroti peran strategis industri keuangan dalam memutus siklus bencana. Dwi Rahayu Ningrum, Staf Program Sustainable Development PRAKARSA, menyatakan bahwa pasar modal dan perbankan memegang kunci transisi. Penghentian pendanaan pada kegiatan yang destruktif dan memprioritaskan yang berkelanjutan, perbankan sejatinya sedang mengamankan masa depan portofolio mereka sendiri dari risiko ekologis.
“Ini bukan soal menambah beban, tapi soal menjamin keberlanjutan bisnis jangka panjang,” katanya.
Koalisi Responsibank menilai, tanpa audit perizinan yang menyeluruh, keterbukaan data pembiayaan, dan penegakan hukum yang tegas, risiko ekologis di Sumatera akan terus berulang dan berubah menjadi tragedi kemanusiaan. Bencana yang terjadi saat ini dinilai sebagai peringatan bahwa pembenahan sistem pembiayaan dan tata kelola sumber daya alam tidak lagi bisa ditunda.
Menurut mereka pengetatan perizinan berbasis daya dukung dan daya tampung lingkungan dinilai mendesak, termasuk kewajiban pemenuhan standar hak asasi manusia dan perlindungan lingkungan dalam setiap operasi bisnis. Di balik kerusakan ekologis tersebut, aliran pembiayaan ke perusahaan-perusahaan di Sumatera terus berlangsung dalam skala besar.
Rangkaian bencana ekologis yang melanda berbagai wilayah di Sumatera dalam beberapa waktu terakhir kembali menyingkap persoalan struktural yang selama ini luput dari sorotan: kerusakan lingkungan yang ditopang oleh aliran pembiayaan ke sektor-sektor berisiko tinggi. Koalisi Responsibank menilai, banjir, longsor, dan degradasi ekosistem yang terjadi bukan semata akibat faktor alam, melainkan dampak langsung dari praktik bisnis ekstraktif yang terus mendapat dukungan pendanaan dari lembaga keuangan, termasuk bank-bank nasional.
“Bencana ekologis ini menunjukkan bahwa risiko lingkungan yang diabaikan pada akhirnya berubah menjadi beban sosial dan ekonomi yang harus ditanggung publik,” ujarnya.
SHARE

Share
