Solusi Kegagalan KLH di Gunung Sampah Tangerang Selatan: Walhi
Penulis : Aryo Bhawono
Sampah
Sabtu, 20 Desember 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mendesak pemerintah menetapkan kebijakan berbasis Zero Waste yang memaksa pengurangan di hulu, tanggung jawab produsen melalui skema Extended Producer Responsibility (EPR). Kasus menggunungnya sampah di jalanan Kota Tangerang Selatan menunjukkan kegagalan pemerintah mengelola sampah.
Penutupan TPA Cipeucang telah memicu krisis sampah dan berimbas dengan menggunungnya sampah di jalanan Kota Tangerang Selatan. Walhi menyebutkan peristiwa ini merupakan kegagalan pemerintah dalam pengelolaan sampah yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan. Mereka mendesak pemerintah segera menetapkan kebijakan berbasis Zero Waste yang memaksa pengurangan di hulu, tanggung jawab produsen melalui skema Extended Producer Responsibility (EPR), dan desain ulang produk agar minim sampah.
TPA Cipeucang hanya memiliki daya tampung 300–400 ton sampah per hari, sementara Kota Tangerang Selatan menghasilkan sekitar 1.000 ton setiap hari. Akibatnya, sejak 10 Desember 2025, tumpukan sampah menggunung di berbagai ruas jalan, termasuk di depan Pasar Cimanggis, Ciputat, meski telah dilakukan pengangkutan.
Manajer Kampanye Perkotaan Berkeadilan Walhi, Wahyu Eka Setyawan, mengucapkan krisis sampah di Tangerang Selatan bukan sekadar masalah teknis melainkan akumulasi ketidakmampuan pemerintah mengantisipasi lonjakan volume sampah melalui kebijakan.
Penutupan TPA Cipeucang telah melanggar UU No. 18 Tahun 2008 yang mewajibkan pengelolaan sampah secara sistematis, termasuk larangan pembuangan terbuka dan kewajiban pengurangan di hulu.
“Dalam hal ini pemerintah gagal menetapkan target pengurangan sampah, karena tidak menjalankan kebijakan pengurangan sampah dari hulu ke hilir,” ucapnya melalui rilis pers pada Jumat (19/12/2025).
Masalah ini tidak hanya menjadi tanggung jawab Pemkot Tangsel, tetapi juga Kementerian Lingkungan Hidup. Mereka justru berkutat pada solusi semu seperti Pengolahan Sampah Menjadi Energi Listrik (PSEL), Waste to Energy (WtE), atau Refuse-Derived Fuel (RDF) yang mahal dan tidak mengurangi timbulan sampah. Solusi jangka panjang harus berfokus pada pengurangan sampah dari sumbernya, bukan sekadar memusnahkan di hilir.
“Pemerintah harus memaksa penerapan kebijakan berbasis konsep Zero Waste City yang menekankan pengurangan di hulu, sistem guna ulang, dan tanggung jawab produsen melalui skema EPR, termasuk desain ulang produk agar minim sampah,” kata Wahyu.
Menurutnya KLH harus membuat kebijakan Zero Waste City, lengkap dengan roadmap kebijakan yang terhubung secara nasional dan daerah. Selain itu, KLH harus membuat regulasi yang mengikat skema EPR, agar tanggung jawab dari produsen bersifat mutlak.
Tanpa perubahan paradigma ini, krisis seperti penutupan TPA Cipeucang akan terus berulang, sebagaimana terjadi di TPA Piyungan, Yogyakarta.
“Mengabaikan tata kelola sampah dari hulu ke hilir bukan hanya pelanggaran regulasi, tetapi juga pelanggaran hak asasi warga yang kini hidup dalam kepungan sampah dan dampak lingkungan yang merugikan,”
Sementara KLH sendiri mulai mengangkut tumpukan sampah di Pasar Cimanggis, Kota Tangerang Selatan. Sebanyak 116 ton sampah itu dialihkan ke 54 Tempat Pengolahan Sampah Reduce-Reuse-Recycle (TPS3R) dengan kapasitas 99 ton per hari, serta dua Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) dengan kapasitas 14 ton per hari.
Mereka menyebutkan penumpukan sampah di Tangerang Selatan dipicu oleh penutupan sementara TPA Cipeucang selama sekitar 10 hari akibat penataan dan normalisasi saluran air serta kali yang tertutup sampah. Proses penataan diperkirakan berlangsung hingga satu bulan.
“Kami akan mengawal tindak lanjut di lapangan dan memastikan pengelolaan sampah berjalan sesuai ketentuan, dengan melibatkan pemerintah daerah dan masyarakat,” kata Menteri Lingkungan Hidup/Kepala BPLH Hanif Faisol Nurofiq.
SHARE

Share

