Riset: Korban Orangutan dari Bencana Sumatra Bisa Lebih Banyak
Penulis : Kennial Laia
Konservasi
Kamis, 18 Desember 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Sebuah laporan baru memperkirakan terdapat 33 hingga 54 orang utan tapanuli mati pasca longsor dan banjir bandang di Sumatra. Ekosistem Batang Toru–habitat satwa endemik tersebut–adalah salah satu area paling terkena dampak bencana, membawa guncangan baru terhadap populasi kecil yang menghadapi ancaman kepunahan ini.
Banjir yang terjadi pada akhir bulan November telah menjadi gangguan tingkat kepunahan bagi kera besar paling langka di dunia, menurut para ilmuwan, menyebabkan kerusakan besar pada habitat dan prospek kelangsungan hidupnya.
Orang utan tapanuli (Pongo tapanuliensis) hanya hidup di kawasan Batang Toru di Sumatra Utara. Populasinya diperkirakan 800 individu di alam liar, yang tersebar di sejumlah zona di kawasan tersebut. Sebelum bencana Sumatra, satwa terancam punah ini terus mengalami tekanan dari aktivitas pertambangan, perkebunan kelapa sawit, dan proyek pembangkit listrik tenaga air yang mengepung kawasan tersebut.
“Mengingat besarnya bencana tanah longsor ini, kami perkirakan lebih banyak orang utan yang terbunuh atau terluka parah, akibat tanah longsor, tumbangnya pohon, atau banjir,” kata Erik Meijard, penulis utama dan Managing Director Borneo Futures yang berbasis di Brunei Darussalam, Selasa, 16 Desember 2025.
Pada 3 Desember 2025, satu bangkai satwa ditemukan di lokasi bencana di ekosistem Batang Toru. Ketua Orangutan Info Centre (OIC) Panut Hadisiswoyo mengonfirmasi bahwa bangkai tersebut merupakan orang utan. “Ini pertanda bahwa dampak bencana terhadap orang utan itu memang nyata,” katanya.
Para ahli biologi mengatakan bahwa kehilangan populasi tahunan sebesar 1% saja sudah cukup untuk mendorong orang utan tapanuli punah. Hal ini dikarenakan proses reproduksinya hanya setiap enam hingga sembilan tahun.
Laporan tersebut memperkirakan kehilangan tersebut antara 6,2 dan 10,5% populasi orang utan Tapanuli akibat curah hujan ekstrem hanya dalam beberapa hari saja. Artinya, satu peristiwa dengan dampak luas telah melebihi batas kematian tahunan orang utan di Batang Toru.
“Ini adalah guncangan demografis terhadap populasi orang utan,” kata Meijaard. “Jadi jika dalam satu tahun kita kehilangan 5-11% populasi, sementara habitatnya masih terdegradasi dan hilang karena pembangunan, maka kemungkinan besar spesies punah dalam waktu dekat akan semakin besar,” ujarnya.
Para peneliti menganalisis zona yang terkena dampak melalui citra satelit. Mereka menemukan, hampir 4.000 hektare hutan yang sebelumnya utuh tersapu tanah longsor dan banjir, serta memperkirakan 2.500 hektare lainnya kemungkinan terdampak meskipun tidak teramati karena tutupan awan.
Citra satelit menunjukkan retakan besar di lanskap pegunungan di ekosistem Batang Toru. Beberapa di antaranya memanjang lebih dari satu kilometer dan lebarnya hampir 100 meter, kata Meijaard. Gelombang lumpur, pepohonan, dan air yang roboh dari lereng bukit akan membawa segala sesuatu yang dilaluinya, termasuk satwa liar lainnya seperti gajah.
Citra satelit menunjukkan area Batang Toru sebelum dan sesudah tersapu banjir dan tanah longsor. Dok. Nusantara Atlas
David Gaveau, pakar penginderaan jarak jauh dan pendiri startup konservasi Tree Map, mengatakan dia segera memeriksa kondisi Batang Toru melalui citra satelit setelah mendapat kabar area tersebut ikut terdampak bencana pada 7 Desember 2025.
“Setelah memeriksa citra satelit Sentinel-2 sebelum dan sesudah di area tersebut, saya terkejut melihat pembukaan hutan yang luas. Mengingat bahwa gambar-gambar tersebut diambil hanya dalam waktu satu bulan, kemungkinan besar ini akibat tanah longsor dan bukan penggundulan hutan,” kata Gaveau.
“Selama lebih dari 20 tahun memantau hutan di Indonesia menggunakan data satelit, saya belum pernah melihat peristiwa sedahsyat ini,” katanya.
Kerusakan habitat yang terjadi di Batang Toru kemungkinan besar memaksa sebagian populasi orang utan berpindah ke area yang secara ekologis kurang produktif, menurut para peneliti. Orang utan di area itu juga akan semakin rentan, karena sumber makanan dan tempat berlindung mereka kini tersapu bersih.
Panut, yang juga merupakan penulis laporan mengatakan, hasil penelitian tersebut penting untuk ditindaklanjuti. Rekomendasi para peneliti antara lain, pemerintah Indonesia segera menetapkan moratorium terhadap aktivitas penggunaan lahan yang merusak habitat yang tersisa; perluasan kawasan lindung di sekitar Blok Barat dan koridor-koridor utama; pengkajian habitat dan populasi orangutan secara rinci; restorasi hutan dataran rendah yang penting untuk pemulihan jangka panjang.
“Kami juga mendesak agar pemerintah menetapkan ekosistem Batang Toru sebagai Kawasan Strategis Nasional, yang akan memberikan dasar hukum yang lebih kuat untuk perlindungan jangka panjang, mengintegrasikan konservasi dan manajemen risiko bencana di seluruh yurisdiksi, dan memastikan bahwa perencanaan tata ruang nasional memprioritaskan integritas ekosistem dan ketahanan iklim dibandingkan tekanan ekstraktif dan infrastruktur,” kata Panut.
SHARE

Share