Skandal PEFC: Beri Sertifikasi Berkelanjutan ke Pembalak Hutan
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Hutan
Selasa, 16 Desember 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Kelompok masyarakat sipil melihat ada sebuah paradoks dalam pemberian sertifikasi keberlanjutan kepada perusahaan kebun kayu di Indonesia. Sebab perusahaan dimaksud justru sebagai salah satu penyumbang kehilangan hutan alam atau deforestasi terbesar di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.
Pada November 2024, perusahaan Indonesia yang dikenal karena perilakunya yang buruk, yakni PT Industrial Forest Plantation (IFP), diberikan sertifikasi di bawah Programme for the Endorsement of Forest Certification (PEFC), yang memungkinkan produk dari kayu yang ditanam di konsesinya dijual sebagai produk 'berkelanjutan' dengan memasang Logo PEFC.
Logo PEFC, yang bergambar dua pohon, tidak asing bagi konsumen di seluruh dunia dan ditemukan pada produk kayu mulai dari furnitur hingga tisu. Hal ini dimaksudkan untuk meyakinkan pembeli bahwa kayu tersebut berasal dari sumber yang berkelanjutan dan dari perusahaan yang mengikuti prinsip-prinsip dasar keberlanjutan.
“Namun antara 2016 dan 2022, PT IFP menghancurkan hampir 22.000 hektare hutan alam di Kalimantan Tengah—sebuah area seukuran Amsterdam. Maka apanya yang berkelanjutan?” kata Earthsight—sebuah lembaga masyarakat sipil yang berbasis di Inggris—dan Auriga Nusantara, dalam sebuah keterangan tertulis, Kamis (11/12/2025).
Menurut mereka, area PT IFP ini sebelumnya tertutup oleh hutan hujan yang rimbun dan menjulang tinggi, hidup dengan suara sahut-sahutan owa, kepakan sayap enggang yang berat, dan gemerisik beruang madu yang mencari makan di lantai hutan.
Terletak di antara Sungai Kahayan dan Sungai Kapuas, wilayah di Kalimantan Tengah ini merupakan benteng pertahanan utama bagi orangutan, seperti hasil asesmen yang didukung oleh pemerintah pada 2016. Penilaian setelahnya, pada 2022, memperkirakan separuh dari konsesi PT IFP itu merupakan habitat orangutan.
Selain itu, hutan ini juga penting bagi komunitas adat (dayak) di area tersebut, yang bergantung padanya untuk mata pencaharian, praktik budaya, dan identitas spiritual mereka.
“Hari ini, sebagian besar dari permadani ekologis yang kaya ini telah digantikan oleh petak-petak kaku perkebunan monokultur akasia dan eukaliptus. Warga di desa-desa yang berbatasan dengan wilayah itu mengatakan mereka telah kehilangan akses terhadap kayu dan material lainnya. Protes warga itu telah berujung pada konfrontasi dengan polisi,” kata mereka.
Menanggapi temuan Earthsight dan Auriga, PT IFP menyatakan semua aktivitas pembukaan lahan dan penanaman sejalan dengan rencana kerja yang disetujui oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia—kini disebut Kementerian Kehutanan, dan mengklaim telah menghentikan penebangan kayu alam pada akhir 2023.
Namun, kelompok pemantau hutan mendeteksi lebih dari 1.000 hektare deforestasi terjadi di konsesi tersebut pada 2024. Analisis Earthsight menunjukkan bahwa pembukaan hutan di konsesi tersebut berlanjut hingga November 2024.
Kehancuran akibat greenwashing
Logo PEFC dapat dilihat pada kemasan di supermarket-supermarket di Inggris. Foto: Earthsight.
PEFC adalah badan payung global yang “mengesahkan” skema sertifikasi tingkat nasional. Ketika aturan skema nasional untuk pengelolaan hutan lestari dinilai memenuhi standar PEFC, produk yang disertifikasi di bawahnya dapat dijual secara internasional dengan logo 'berkelanjutan' PEFC.
Namun, dalam sebuah surel kepada Earthsight, PEFC International menyatakan bahwa mereka tidak menerbitkan sertifikat pengelolaan hutan sendiri, tidak pula mereka menilai bukti yang berkaitan dengan keputusan sertifikasi individu, yang dibuat oleh badan sertifikasi yang terakreditasi secara nasional.
Di Indonesia, standar Indonesian Forestry Certification Cooperation (IFCC) yang disahkan PEFC seharusnya mengecualikan perkebunan kayu yang didirikan di lahan di mana hutan primer atau sekunder dibabat setelah 31 Desember 2010. Pengecualian sempit ada untuk area deforestasi kecil yang tidak membahayakan situs penting secara ekologis atau budaya dan "memberikan kontribusi pada konservasi jangka panjang, manfaat ekonomi dan sosial."
Pada Juli 2024, PT IFP menjalani penilaian Standar Pengelolaan Hutan Lestari IFCC oleh perusahaan audit Mutu International, dan dianggap patuh, meskipun telah menghancurkan 29.075 hektare hutan lahan kering sekunder antara April 2010 dan Juni 2024—sebuah fakta yang diakui dalam laporan audit Mutu International. Dari area ini, 19.454 hektare diubah menjadi hutan tanaman. PT IFP kemudian memperoleh sertifikasi PEFC pada November 2024.
“Menanggapi temuan kami, PEFC International memberi tahu bahwa hanya 81.534 hektare dari konsesi seluas 100.989 hektare milik PT IFP yang disertifikasi, dengan area sisanya dikecualikan karena pembabatan hutan alam sejak 2010, termasuk 3.176 hektare yang mengalami deforestasi pada tahun 2023,” ujar mereka.
Dua kelompok masyarakat sipil lintas benua ini melanjutkan, memakai logika ini, skema tersebut hampir tidak menawarkan insentif bagi perusahaan perkebunan untuk melindungi hutan alam di konsesi mereka.
Dengan tidak menerapkan tanggal batas waktu (cut-off date) deforestasi 2010 di seluruh konsesi, PEFC secara efektif membiarkan para pelaku deforestasi besar memisahkan lahannya menjadi hutan yang 'dikelola secara berkelanjutan’—biasanya perkebunan akasia dan eukaliptus matang yang ditanam di lahan yang mengalami deforestasi sebelum 2010—dan area di mana mereka terus membuka lahan lama setelah tanggal tersebut.
Setelah semua hutan alam yang tersisa dibabat dan kayu hasil deforestasi dijual, perusahaan kemudian dapat mencari sertifikasi untuk perkebunan matang mereka, tanpa kewajiban untuk mengatasi kerugian lingkungan atau sosial yang disebabkan oleh deforestasi pasca-2010, atau memulihkan satu hektare pun hutan yang hancur.
PT IFP pertama kali menyatakan secara terbuka kepada publik mengenai tujuannya untuk mencapai pengelolaan hutan lestari sejalan dengan Standar IFCC pada Februari 2021. Pada Agustus 2023, perusahaan telah memformalkan komitmen ini dalam kebijakan Pengelolaan Hutan Lestari, berjanji untuk mematuhi standar tersebut, dan tidak "mengonversi hutan alam secara signifikan menjadi hutan tanaman."
“Namun terlepas dari janji-janji ini, PT IFP membabat 334 hektare hutan alam antara Agustus 2023 dan Juni 2024—lama setelah mengadopsi kebijakannya—sebuah fakta yang secara eksplisit diakui oleh auditornya,” kata Earthsight dan Auriga.
Menanggapi temuan Earthsight dan Auriga, Mutu International memberi tahu bahwa mereka menerbitkan laporan 'Ketidaksesuaian Utama' (Major Non-Conformance) sebagai tanggapan atas pelanggaran tersebut. Dikatakan oleh mereka bahwa PT IFP memberikan penjelasan, dan bahwa mereka sejak itu melihat kemajuan pada rencana pemulihan perusahaan, yang akan ditinjau melalui audit pengawasan yang berkelanjutan.
Tapi Mutu International tidak merinci apa saja kemajuan tersebut. Dengan demikian, PT IFP diberikan sertifikasi sebagai perusahaan 'kehutanan berkelanjutan', meskipun melanggar janjinya untuk mengakhiri deforestasi dan diharuskan untuk memulihkan hutan yang ditebang.
Masalah sistemik
Lebih jauh lagi, ini bukan kasus satu-satunya. Enam perusahaan perkebunan yang dimiliki oleh grup PT Borneo Hijau Lestari yang penuh rahasia, yang telah dikaitkan dengan konglomerat Indonesia Royal Golden Eagle (meskipun RGE telah menyangkal hubungan apa pun), semuanya bersertifikat PEFC meskipun melakukan deforestasi ekstensif setelah 2010.
Lima dari perusahaan ini menjadi bersertifikat pada Januari 2024, sementara yang keenam disertifikasi pada Oktober 2023. PT Santan Borneo Abadi, yang mengoperasikan konsesi kayu industri seluas 37.825 ha di Kalimantan Timur, mendeforestasi 12.252 hektare antara 2016 dan Oktober 2020, sementara PT Mahakam Persada Sakti membabat 1.837 ha dalam periode waktu yang sama.
“Namun PT Borneo Hijau Lestari tidak menanggapi permintaan kami untuk memberikan komentarnya,” kata mereka.
Bersama dengan skema sertifikasi sukarela lainnya, PEFC telah memposisikan dirinya sebagai alat untuk memfasilitasi kepatuhan terhadap Regulasi Deforestasi Uni Eropa (EUDR) yang akan datang, sebuah undang-undang baru yang akan melarang impor komoditas yang berasal dari deforestasi ke UE, termasuk produk kayu.
Dalam pernyataan publik baru-baru ini, Sekretaris Jenderal PEFC Michael Berger mengatakan, bahwa sertifikasi PEFC sejalan dengan EUDR dan melangkah lebih jauh untuk mencakupi pula isu-isu sosial, ekonomi, dan lingkungan yang vital.
“Konsumen dapat yakin bahwa produk yang membawa label PEFC berasal dari hutan yang dikelola secara berkelanjutan dan bahwa perusahaan mengambil bahan berbasis hutannya secara bertanggung jawab,” katanya.
Namun produk bersertifikat PEFC masih bisa berasal dari perusahaan di balik beberapa deforestasi terburuk di Indonesia. Hal tersebut menjadi sebuah kontradiksi yang mencolok antara klaim dan praktiknya.
Kebun kayu yang baru tumbuh mengelilingi sisa hutan alam di konsesi PT Industrial Forest Plantation, Kalimantan Tengah, November 2024. Foto: Auriga/Earthsight.Meskipun Earthsight dan Auriga belum menemukan bukti bahwa kayu dari area yang di deforestasi sejak 2020—tanggal batas waktu EUDR—telah dijual dengan label bersertifikat PEFC, tapi kayu apa pun yang berasal dari PT IFP menjadi berisiko tinggi tidak mematuhi regulasi tersebut.
Laporan Earthsight dan Auriga yang baru diterbitkan, Risky Business, mengungkapkan bagaimana PT IFP menjual kayu hutan alam dari deforestasi pada 2024 kepada perusahaan-perusahaan yang mengekspor ke Eropa. Dalam laporan itu Earthsight dan Auriga berpendapat bahwa importir Eropa seharusnya hanya membeli dari perusahaan tanpa deforestasi baru-baru ini dalam rantai pasok mereka.
Menurut laporan audit Mutu International, konsesi PT IFP seluas 100.989 hektare berisi 27.982 hektare hutan tanaman. Jika 19.454 hektare dari jumlah ini tidak patuh terhadap standar PEFC karena pembukaan hutan setelah 2010, itu berarti hanya 30 persen kayu tanaman PT IFP yang secara sah dapat dijual sebagai bersertifikat PEFC.
“Area yang tidak bersertifikat, di mana pembukaan lahan terjadi pada tahun 2024, terletak berdampingan dengan area bersertifikat tanpa demarkasi fisik yang jelas, menciptakan risiko tinggi percampuran kayu dari kedua sumber tersebut,” kata Earthsight dan Auriga.
PEFC International meyakinkan Earthsight dan Auriga bahwa badan sertifikasi mengatasi risiko ini melalui inspeksi lapangan, pemeriksaan volume, dan verifikasi konsistensi antara catatan panen dan rencana pengelolaan yang disertifikasi.
“Namun demikian, bahkan jika perlindungan ini memastikan bahwa semua kayu bersertifikat PEFC berasal dari perkebunan tua yang dikembangkan sebelum 2010, bukankah ini tetap merusak tujuan sertifikasi? Jika konsumen yang mencari produk berkelanjutan membeli dari perusahaan yang bertanggung jawab atas deforestasi yang luas dan baru terjadi?” kata mereka.
Menulis ulang aturan
Menurut mereka, kelemahan mendasar dalam sistem sertifikasi sukarela telah memungkinkan segmen besar industri kayu Indonesia menampilkan citra keberlanjutan yang menyesatkan. Terlepas dari klaim PEFC bahwa mereka dapat membantu kepatuhan EUDR, perusahaan Eropa tidak boleh mengandalkan 'label hijau', melainkan melakukan uji tuntas (due diligence) mereka sendiri untuk memastikan tidak ada risiko kayu deforestasi dalam rantai pasok mereka.
“Jika ingin mempertahankan signifikansi nyata bagi konsumen, PEFC harus mencabut sertifikasi PT IFP dan merevisi standarnya sehingga perusahaan tidak dapat begitu saja membagi konsesi mereka menjadi area yang patuh dan tidak patuh,” ujar mereka.
Sebuah perusahaan yang telah membabat hutan alam di mana pun dalam konsesinya sejak 2010 harus dianggap tidak patuh sepenuhnya—demikian pula perusahaan mana pun dalam grup korporasi yang sama (membawanya lebih sejalan dengan standar Forest Stewardship Council (FSC) tentang konversi hutan). Sehingga PEFC seharusnya tidak mengesahkan standar nasional apa pun yang tidak memenuhi kriteria ini.
“Tanpa perubahan ini, PEFC bukan saja berisiko menjadi usang dalam menghadapi legislasi rantai pasok yang lebih kuat, tetapi juga menjadi alat greenwashing bagi beberapa pelanggar lingkungan terburuk di planet ini,” kata Earthsight dan Auriga.
SHARE

Share
