Pengembalian Hutan Adat oleh Pemerintah: 9 Tahun cuma 300 ribu Ha
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Masyarakat Adat
Rabu, 19 November 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Desakan pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat terus menguat. Bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), di Jenewa, pada 6 November 2025, mendesak Pemerintah Indonesia segera memberikan perlindungan penuh terhadap masyarakat adat yang menghadapi kekerasan, kriminalisasi, dan ketidakpastian hukum atas wilayah adat dan hak kolektif mereka.
Lebih dari 15 tahun RUU Masyarakat Adat masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), namun belum pernah tuntas dibahas dan disahkan oleh DPR RI. Sejumlah komunitas adat mendesak pemerintah dan DPR RI untuk segera membahas dan mengesahkan RUU Masyarakat Adat, yang dinilai sebagai langkah krusial untuk menyelamatkan Indonesia dari krisis iklim.
“Pembahasan dan pengesahan RUU Masyarakat Adat bukan sekadar kebutuhan legalitas, tetapi urgensi untuk menghentikan krisis iklim yang semakin nyata kami rasakan. Bagi Masyarakat Adat Kepulauan Aru, kehadiran UU Masyarakat Adat adalah solusi agar pengelolaan sumber daya alam berdasarkan kearifan lokal diakui,” kata Mika Ganobal, Perwakilan Masyarakat Adat Aru, Maluku, dalam sebuah keterangan tertulis, Selasa (18/11/2025).
Tanpa regulasi nasional yang tegas, lanjut Mika, keberadaan dan peran masyarakat adat dalam menjaga dan mengelola alam belum diakui sepenuhnya oleh negara. Melalui pengesahan RUU Masyarakat Adat, masyarakat adatnya dapat bersama-sama menghentikan kerusakan dan keluar dari krisis iklim.
Proses legislasi RUU Masyarakat Adat banyak mengalami tantangan dan hambatan. Minimnya komitmen legislasi mencolok padahal pengesahan RUU Masyarakat Adat adalah pemenuhan atas hak konstitusi. Kekhawatiran bahwa pengakuan wilayah adat akan mengubah status dan kontrol pengelolaan hutan, lahan, dan sumber daya, itu merupakan berlebihan.
Harnilis dari Masyarakat Adat Meratus, Kalimantan Selatan, menuturkan, Masyarakat Adat di Pegunungan Meratus mendukung penuh proses legislasi undang-undang dilakukan sesegera mungkin. Pihaknya menyerukan kepada DPR RI agar pembahasan pengesahan RUU Masyarakat Adat ini juga menjadi agenda politik di masing-masing partai.
“Semakin banyak partai yang mendukung maka pengesahan RUU Masyarakat Adat kian nyata,” ujarnya.
Pegunungan Meratus, sambung Harnilis, telah ditetapkan sebagai Global Geopark oleh UNESCO pada Sidang Dewan Eksekutif ke-221 di Paris, Prancis (April 2025). Pengakuan ini diberikan karena Meratus memiliki nilai penting secara geologi, ekologi, dan budaya, dan menjadi kawasan pertama di Kalimantan yang memperoleh pengakuan internasional tersebut.
“Sebagai masyarakat yang secara turun-temurun menjaga, merawat, dan hidup berdampingan dengan Pegunungan Meratus, sudah saatnya negara hadir dan mengakui kami. Pemerintah dan DPR RI harus segera membahas dan mengesahkan RUU Masyarakat Adat, sebagai bentuk perlindungan dan penghormatan terhadap hak, budaya, dan wilayah adat,” ujar Harnilis.
Dalam Conference of the Parties ke 30 (COP30) di Belem, Brasil, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni menyampaikan komitmen Indonesia untuk memberikan hak 1,4 juta hektare hutan adat hingga 2029. Koordinator Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, Veni Siregar, menganggap janji Menteri Kehutanan tidak akan terwujud jika RUU Masyarakat Adat sebagai payung hukum yang menjamin perlindungan dan pemenuhan hak masyarakat adat dalam upaya menjawab krisis lingkungan tidak kunjung disahkan.
Data Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) menunjukkan bahwa wilayah adat yang sudah teregistrasi luasnya sekitar 33,6 juta hektare, dan 72% berpotensi menjadi Hutan Adat. Kenyataannya proses pengakuan dan perlindungan masyarakat adat melalui skema hutan adat tidak murah, cenderung berbelit-belit, lama, dan serba tidak pasti. Dalam kurun waktu 9 tahun terakhir hutan adat yang dikembalikan kepada komunitas masyarakat adat hanya 0,3 juta hektare.
Philipus K Chambu, dari Masyarakat Adat Suku Malind Anim, Merauke, Papua Selatan, menyebut ketiadaan regulasi perlindungan berisiko menyebabkan hilangnya wilayah adat. Masyarakat Adat Merauke Papua, kata Philipus, merupakan kelompok paling terdampak dari deforestasi dan krisis akibat pembangunan.
“Kami terpinggirkan dari keputusan pembangunan di wilayah adat kami. Tanpa UU Masyarakat Adat kami berpotensi mengalami intimidasi dan kriminalisasi saat mempertahankan tanah adat,” ujarnya.
Mandeknya pengesahan RUU ini, menunjukkan lemahnya komitmen DPR dalam memenuhi amanat konstitusi untuk mengakui, menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak masyarakat adat sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 Pasal 18B ayat (2) serta dipertegas melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012.
SHARE

Share

