Seruan Cabut Izin Tambang Nikel di Pulau Kecil di COP30

Penulis : Kennial Laia

Lingkungan

Selasa, 18 November 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Aktivis lingkungan Indonesia menyerukan agar pemerintah melakukan perbaikan tata kelola pertambangan nikel yang telah merusak lingkungan dan merugikan masyarakat adat dan komunitas lokal di berbagai wilayah. Seruan ini dibawa ke KTT iklim PBB (COP30) yang tengah berlangsung di Belem, Brasil. 

Dalam sebuah side event, Satya Bumi bersama Walhi Sulawesi Tenggara memotret kondisi Pulau Kabaena melalui video pendek berjudul “Beneath the Nickel Boom: Voices from Kabaena” di KTT iklim PBB (COP30). Video berdurasi delapan menit 42 detik tersebut merekam kerusakan lingkungan di Pulau Kabaena, Sulawesi Tenggara. Perubahan warna air laut di Desa Baliara terjadi akibat sedimentasi dan limbah pertambangan menunjukkan tata kelola yang buruk dari industri nikel. 

Di sisi lain, ekspansi yang terus terjadi juga membuka potensi replikasi kerusakan di mata air terakhir Pulau Kabaena yang telah dikelilingi izin tambang. Jika ini terjadi, maka akan ada 40.000 warga yang terancam kehilangan akses air bersih.

“Ada begitu banyak warga yang mengeluhkan terkait dengan kegiatan pertambangan nikel yang kemudian merusak lingkungan dan sumber-sumber penghidupan mereka, serta menyebabkan kesehatan mereka terganggu,”  kata Direktur Walhi Sulawesi Tenggara Andi Rahman, Senin, 17 November 2025.

Kondisi perairan di sekitar pemukiman warga di Pulau Kabaena, Sultra. Foto: Satya Bumi.

“Hingga kini kami masih menerima laporan warga, ada begitu banyak yang mengalami gatal-gatal akibat air dan lautnya tercemar,” ujarnya. 

Andi pun mengkritisi komitmen dan upaya transisi energi yang digaungkan pemerintah di COP30, karena lebih banyak mengulas perdagangan karbon sebagai solusi mengurangi emisi. Sementara itu di dalam negeri, industri nikel menjadi andalan utama pemerintah untuk transisi energi. “Ini dilakukan hingga mengabaikan berbagai prinsip lingkungan hidup dan hak asasi manusia,” katanya.

“Pulau-pulau kecil, khususnya di timur Indonesia sudah menjadi korban, salah satunya Pulau Kabaena. Kerusakan sistematis terjadi dan terus dirasakan oleh masyarakat,” ujar Andi.

Dalam video tersebut, masyarakat Suku Bajau pun mengeluhkan kerusakan lingkungan di darat dan laut membawa efek domino terhadap kesehatan warga, termasuk meningkatnya potensi penyakit ISPA dan gatal-gatal. Efek domino lainnya muncul dari sektor ekonomi, di mana nelayan harus melaut lebih jauh, tanpa ada jaminan mendapatkan tangkapan yang lebih banyak.

Video produksi Satya Bumi tersebut juga menyampaikan berbagai seruan kepada pemerintah Indonesia dan perusahaan manufaktur mobil untuk memastikan semua proses transisi energi berkeadilan. 

Menurut Direktur Eksekutif Satya Bumi Andi Muttaqien,  demam kendaraan listrik dan tuntutan transisi energi perlu dibarengi dengan prinsip hijau dan berkeadilan. Tujuan besar transisi energi sebagai mitigasi dampak terburuk krisis iklim tidak akan tercapai jika prosesnya tetap menghasilkan banyak buangan emisi dan melakukan deforestasi, katanya.  

“Pemerintah Indonesia harus memperbaiki tata kelola tambang nikel termasuk mengenai hilirisasi. Tidak boleh ada transisi energi itu justru mengorbankan lingkungan dan masyarakat,” kata Andi. 

Satya Bumi dan Walhi Sulawesi Tenggara menilai COP30 sebagai forum strategis yang bukan hanya dimanfaatkan sebagai ruang diskusi upaya mitigasi krisis iklim, tapi juga evaluasi berbagai upaya yang telah dilakukan. 

“Untuk memastikan hal ini, pemerintah harus memperbaiki tata kelola industri nikel di Indonesia. Cabut semua izin usaha pertambangan nikel di wilayah pulau kecil yang berpotensi membuat kerusakan sistematis dalam ekosistem,” kata Andi. 

“Pemerintah Indonesia juga harus meminta perusahaan pertambangan nikel bertanggung jawab terhadap pemulihan hak warga atas lingkungan, ekonomi, dan kehidupan sosial yang baik,” kata Andi. 

SHARE