Mudarat Tambang Nikel di Halmahera Timur

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Tambang

Rabu, 12 November 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Sumber daya nikel di Halmahera Timur diperebutkan dengan mengabaikan keberadaan masyarakat setempat. Sebab, alih-alih memberikan keadilan lingkungan maupun perlindungan sosial bagi masyarakat lokal, hilirasasi nikel yang dijalankan pemerintah justru menciptakan kriminalisasi terhadap masyarakat yang memprotes atau dianggap menolak tambang, saat tanahnya dirampas oleh perusahaan.

Potret mudarat tambang nikel di bagian timur Halmahera itu diulas dalam sebuah laporan terbaru berjudul Nikel dari Tanah Terampas: Kriminalisasi Warga dan Pertarungan Kuasa Antar-Korporasi di Halmahera, yang dirilis Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) bersama simpul Jatam Maluku Utara.

Dalam laporan itu, Jatam menyebut salah satu kawasan strategis namun terpinggirkan dalam sejarah eksploitasi mineral di Indonesia ini tengah diubah, dari ruang hidup yang semula bergantung pada ekosistem hutan, sungai dan kebun, menjadi ladang konsesi bagi konglomerasi tambang nasional, transnasional, elit politik, dan jaringan militer.

Dalam penelitian ini, sedikitnya terdapat tujuh fakta lapangan ditemukan, yakni (1) penjarahan ruang hidup dan tatanan adat oleh ekspansi nikel, (2) skandal tumpang-tindih, manipulasi tapal batas dan pembiaran negara, (3) kolusi korporasi, negara, militer dan aparat penegak hukum, (4) kriminalisasi sistematis dan represi kolektif, (5) perang korporasi, saling lapor, persekusi hukum, oligarki hukum modal, (6) krisis sosial-ekologis, air, pangan dan identitas yang terampas, dan (7) absennya negara dan menguatnya kekuasaan oligarki.

Dua warga Maba Sangaji memantau operasi alat berat PT Position. Foto: Istimewa.

Dinamisator Jatam Maluku Utara, Julfikar Sangaji mengatakan, dalam dua dekade terakhir, Halmahera, terutama wilayah tengah dan timurnya, mengalami transformasi paling memilukan akibat penetrasi industri tambang nikel berskala besar, pencemaran Sungai Sangaji, matinya tanaman pangan (sagu dan pala), pecahnya konflik tapal batas, fragmentasi sosial, hingga kehilangan hak atas tanah dan masa depan.

“Hal ini didorong oleh kebijakan nasional hilirisasi nikel serta promosi kawasan industri berbasis mineral, yang mendorong investasi raksasa dan perubahan struktural ruang hidup masyarakat di kawasan ini,” kata Julfikar, dalam keterangan tertulis, Senin (10/11/2025).

Sementara itu, lanjut Julfikar, audit lingkungan dan perlindungan negara berjalan semu. Di tengah itu, jejaring bisnis dan elit militer-politik terang-terangan membangun pengaruh, menjadikan Halmahera Timur sebagai model akumulasi kekuasaan baru di sektor mineral dan batu bara (minerba).

Julfikar menjelaskan, transformasi radikal terjadi seiring ekspansi tambang nikel dan logam dasar sejak akhir 1990-an. Halmahera Timur pun berubah menjadi ladang konsesi mega-proyek dengan tumpang tindih izin pertambangan, perubahan tapal batas administratif, dan pembelahan ruang hidup menjadi wilayah industri, serta pemukiman warga yang tergusur dari tanah adat.

“Tatanan sosial, ekologi, dan budaya lokal mengalami tekanan hebat akibat perubahan orientasi pembangunan dan akumulasi modal,” kata Julfikar.

Bersamaan dengan itu, sambung Julfikar, ruang investasi tambang dibuka selebar-lebarnya. Masuknya PT Aneka Tambang yang bermitra dengan PT Minerina Bhakti di Pulau Gee pada 1997 menjadi tonggak awal atas legitimasi ekstraksi, hingga kemudian diikuti perusahaan-perusahaan besar lainnya seperti Yudistira Bhumi Bhakti, Heng-Fung, Haltim Mining, PT Position dan PT Wana Kencana Mineral.

Julfikar menyebut, penerbitan izin dilakukan secara manipulatif, dengan tumpang-tindih dan penjarahan lahan dan hutan adat, yang mengakibatkan warga kehilangan ruang produksi, air bersih serta identitas budaya. Hal tersebut menghancurkan tatanan adat dan ekonomi lokal melalui logika ekstraksi tambang yang mengabaikan kepentingan dan masa depan warga.

“Kini, timur Halmahera menjadi salah satu titik api konflik pertambangan nikel di Indonesia,” ujarnya.

Menurut Julfikar, wilayah ini bukan hanya menjadi perluasan arena bermain perusahaan-perusahaan raksasa seperti PT Aneka Tambang, PT Weda Bay Nickel dan beberapa perusahaan lainnya. Tetapi juga menjadi arena perebutan modal transnasional, jaringan lokal dan aparatus negara.

Situasi ini kemudian diperparah dengan terciptanya aliansi korporasi, milter, birokrat lokal hingga pemerintah provinsi. Kasus penangkapan 27 warga hingga kekerasan aparat yang berujung pada jatuhnya vonis penjara bagi sebelas warga Maba Sangaji menjadi salah satu preseden buruk yang diorkestrasikan oleh kekuasaan.

11 warga Maba Sangaji berorasi di hadapan massa usai menjalani sidang putusan di Pengadilan Negeri Soasio, Kota Ternate. Foto: Jatam Malut.

Kehadiran perusahaan tambang skala besar memicu dan semakin memperluas konflik horizontal, baik antara perusahaan dan warga berupa kriminalisasi, represi dan pemiskinan. Hal tersebut termasuk konflik antar korporasi seperti PT Position vs PT Wana kencana Mineral-PT Wana Kencana Sejati, yang mempermainkan tapal batas, dokumen hingga menghina hukum negara. Intervensi negara serta aparatus represifnya justru memihak pada kepentingan modal.

“Ketika warga melakukan aksi damai, membela kehidupan, mereka akan dihadapkan pada penangkapan dan vonis penjara tanpa pendampingan hukum yang layak. Pada konteks ini, keterlibatan negara hanya sekadar entitas pembersih kloset bagi korporasi,” ucap Julfikar.

Jejaring aktor di balik seteru korporasi

Julfikar, mengatakan perubahan paling dramatis tampak di Halmahera Timur. Di sana, ruang hidup tradisional petani dan komunitas adat terus menyusut, terdesak oleh kepungan perusahaan tambang. Para pengekstrak—PT Position, PT Wana Kencana Mineral (WKM), PT Nusa Karya Arindo (NKA), dan PT Weda Bay Nickel (WBN)—beroperasi berdempetan dalam konsesi yang sering tumpang tindih.

Di balik tumpukan izin dan jargon pembangunan, jejaring korporasi ini meninggalkan jejak bencana ekologis, berupa sungai-sungai yang tercemar, hutan adat yang hancur, dan tanah leluhur milik suku O’Hongana Manyawa (Tobelo Dalam) terampas, memaksa mereka bertahan di tengah gempuran perubahan yang tidak mereka ketahui, apalagi minta.

Menurut Julfikar, dampak ekspansi itu semakin terasa sejak awal 2024. Di Maba Sangaji, air Sungai Sangaji yang dulu jernih dan sejuk kini berubah kecoklatan, bahkan kemerahan—pertanda pencemaran yang merembet hingga perairan Pulau Mobon, kawasan sakral dan penting bagi nelayan.

Sungai Sangaji sendiri terhubung langsung dengan 600-an anak sungai. Dari airnya, masyarakat menanak nasi, menyeduh kopi, memproses (bahalo) sagu, hingga menyiram kebun.

Warga membawa air galon dari rumah melintasi Sungai Sangaji yang tampak berwarna merah kecoklatan. Foto: Istimewa.

Julfikar mengatakan, warga di sana dulunya biasa meminum air langsung dari sungai tanpa perlu dimasak—segar dan menyehatkan. Namun sejak perusahaan tambang hadir, semua kebiasaan itu berubah.

“Dasar sungai yang dahulu berkilau dan memperlihatkan kerikil-kerikil bersih, kini tidak lagi terlihat. Kejernihan yang selama ini menjadi kebanggaan warga telah lenyap,” katanya.

Koordinator Nasional Jatam, Melky Nahar, mengatakan perseteruan antara PT Position dan PT Wana Kencana Mineral (WKM) di Halmahera Timur bermula dari kerja sama antara PT Wana Kencana Sejati (WKS) dan PT Position pada awal 2024. Kedua perusahaan diduga menyepakati untuk membangun jalan tambang (hauling) melintasi kawasan hutan yang dikuasai oleh WKS untuk kepentingan distribusi bijih nikel milik PT Position, dengan syarat jalan tak dilebarkan lebih dari 40 meter atau membuka jalan baru di luar kesepakatan.

Peta tumpang tindih konsesi tambang dan hutan. Sumber: Jatam.

Melky memaparkan, PT Position adalah perusahaan pertambangan nikel yang beroperasi di Halmahera Timur, Maluku Utara. Sejak 2024, perseroan ini secara strategis berada di bawah kontrol PT Tanito Harum Nickel (THN)—anak usaha Harum Energy Tbk. yang merupakan konglomerasi pertambangan yang sangat besar dan memiliki pengaruh yang kuat.

“Mereka juga mengelola tambang batu bara utama di Kalimantan Timur dan Tengah lewat PT Mahakam Sumber Jaya, PT Santan Batubara, PT Bumi Karunia Pertiwi, PT Karya Usaha Pertiwi, dan juga perusahaan logistik serta pelayaran seperti PT Layar Lintas Jaya dan PT Lotus Coalindo Marine,” ujar Melky.

Kepemilikan saham PT Position didominasi oleh Tanito Harum Nickel sebesar 51%, sedangkan sisanya (49%) dikuasai Nickel International Capital Pte. Ltd. dari Singapura, yang keseluruhan struktur bisnisnya bermuara ke Harum Energy sebagai holding grup. Dengan struktur ini, lanjut Melky, segala kebijakan, ekspansi, pengelolaan izin pertambangan, termasuk penanganan konflik lahan, seluruhnya terpusat pada jaringan bisnis keluarga Barki.

Melky menguraikan, jaringan usaha THN tidak hanya meliputi PT Position, tetapi juga mencakup beberapa perusahaan lain yang bergerak di sektor nikel dan pengolahan mineral, yakni PT Infei Metal Industry (IMI), PT Westrong Metal Industry (WMI), PT Blue Sparking Energy (BSE), dan PT Harum Nickel Perkasa (HNP).

Sebagian besar operasi mereka terkonsentrasi di Kawasan Industri Weda Bay, Halmahera Tengah, dengan proyek unggulan BSE yang sedang membangun fasilitas High-Pressure Acid Leaching (HPAL). Fasilitas ini dirancang untuk menghasilkan produk nickel-cobalt hydroxide (MHP) dengan kapasitas 67.000 ton setara nikel per tahun, menjadikannya salah satu proyek terbesar dalam rantai pasok baterai kendaraan listrik Indonesia.​

Di jajaran pengurus dan pengambil keputusan, masih kata Melky, jejak figur-figur kunci sangat kompak, Lawrence Barki yang menjabat sebagai Komisaris di PT Position, merupakan generasi penerus keluarga Barki. Ia juga menjadi Presiden Komisaris Harum Energy serta memegang banyak jabatan strategis di hampir seluruh anak perusahaan batu bara maupun nikel—mulai dari Karunia Bara Perkasa, Tanito Harum Nickel, Santan Batubara, Lotus Coalindo Marine, sampai entitas logistik internasional.

Jejaring hubungan PT Position dan PT Harum Energy. Sumber: Jatam.

Selain itu, terdapat nama Stephanus Eka Dasawarsa Sutantio sebagai Direktur Utama PT Position. Ia bukan sekadar eksekutif lapangan—Stephanus juga tercatat pernah menjabat sebagai direktur di perusahaan offshore IMC Plantations Holdings LTD, yang terdaftar di Bermuda dan masuk ke dalam bocoran Paradise Papers, sebuah dokumen internasional yang mengungkap jejaring perusahaan offshore di berbagai negara. Stephanus juga pernah diperiksa oleh KPK dalam kasus mega korupsi BLBI.

“Nama lain yang menonjol adalah Cao Zhiqiang yang memegang posisi sebagai direktur di PT Position. Ia berasal dari jaringan investasi Tiongkok dan merupakan representasi pengaruh asing di dalam struktur perusahaan nikel grup Harum,” ujar Melky.

Melky melanjutkan Cao Zhiqiang dikenal aktif dalam kerja sama pengembangan smelter serta strategi investasi di kawasan industri Weda Bay, Maluku Utara. Termasuk He Xiaozhen yang berposisi sebagai Komisaris PT Position yang juga mewakili kepentingan jaringan modal dan ekspansi korporasi Tiongkok di Indonesia.

Dalam struktur PT Position, He Xiaozhen menjadi penghubung mitra strategis Tiongkok di level komisaris, memastikan alur komunikasi dan pengawasan holding serta proyek investasi berjalan sesuai kepentingan grup internasional.

Sementara PT Wana Kencana Mineral (WKM) juga memperlihatkan simbiosis modal, militer dan politik. PT WKM yang memiliki konsesi nikel seluas 24.700 hektare di Halmahera Timur dan melibatkan kombinasi kepemilikan domestik dan asing seperti PT Baja Selatan Lintas Nusantara (40%), PT Sejahtera Jaya Prima (25%), dan Huacai (Hongkong) Limited (35%).

Struktur kekuasaan dalam WKM juga memperlihatkan keterlibatan aktor kuat yang mengindikasikan afiliasi jaringan modal nasional-internasional termasuk dari kalangan militer seperti Jenderal (Purn) TNI dan mantan menteri Agum Gumelar yang menjabat sebagai Komisaris Utama.

Jejaring kepemilikan PT Wana Kencana Mineral. Sumber: Jatam

“Kemudian terdapat nama Letjen (Purn) Eko Wiratmoko, eks Kopassus dan pernah menjadi Koordinator Bidang Polhukam DPP Golkar, menjadi direktur utama.

Chen Yibo dan Du Shangmeng adalah eksekutif yang berperan membawa modal investasi Tiongkok ke tubuh WKM, didukung oleh kehadiran Huacai (Hongkong Limited) sebagai pemegang saham signifikan. Ini mempertegas keterlibatan jaringan modal asing dalam bisnis pertambangan nikel nasional.

PT Wana Kencana Sejati (WKS) memegang izin pengelolaan hutan produksi seluas 93.235 hektare di Halmahera Timur. Di lapangan, operasi WKS menimbulkan konflik dengan komunitas O’Hongana Manyawa (Tobelo Dalam) yang menolak pencaplokan wilayah adat mereka.

Perusahaan ini dikendalikan oleh keluarga Lohisto, dengan Rusli Lohisto (70%) dan Ade Wirawan Lohisto alias Acong (30%) sebagai pemegang saham utama. Jaringan keluarga Lohisto juga menguasai perusahaan tambang lain seperti PT Mega Haltim Mineral dan PT Halmahera Sukses Mineral (HSM)—yang turut melibatkan investor asing asal Singapura.

Jejaring kepemilikan PT Wana Kencana Sejati. Sumber: Jatam.

Nama Ade Wirawan Lohisto (Acong) mencuat dalam kasus korupsi izin tambang Maluku Utara yang menyeret mantan Gubernur Abdul Gani Kasuba (AGK) pada 2023. Ia diduga memberikan suap senilai lebih dari Rp2 miliar untuk memuluskan izin pertambangan dan operasi perusahaan tambang afiliasinya.

“Perseteruan ini, bukan hanya sekadar sengketa bisnis. Melainkan benturan poros kekuatan besar, mulai dari korporasi nasional-global di bawah jaringan Harum Energy dan Tsingshan Group,” kata Melky.

Korporasi hybrid militer-politik dengan koneksi kuat ke elite oligarki kekuasaan. Serta kapital lokal-asing, yang berkelindan dengan praktik korupsi dan perizinan. Pertautan kepentingan ini menjadikan Halmahera Timur sebagai salah satu episentrum atas konflik ekonomi-politik nikel di Indonesia, di mana hutan, tanah adat, dan warga lokal selalu menjadi korban atas persilangan kepentingan bisnis ekstraktif.

Pola keterlibatan aparat dan pemerintah dalam duel perebutan nikel

Melky, mengatakan perubahan batas antara Desa Maba Sangaji dan Desa Wailukum digunakan untuk melegitimasi perluasan konsesi tambang di wilayah adat Moronopo—ruang hidup penting bagi masyarakat adat Maba dan Teluk Buli.

Dokumen batas desa yang baru muncul tanpa sosialisasi publik, menggeser wilayah adat ke dalam area izin perusahaan tambang. Proses ini disinyalir melibatkan perangkat pemerintahan desa dan pejabat dinas terkait.

Manipulasi administratif ini memperlihatkan pola klasik kooptasi pemerintahan lokal oleh kepentingan tambang, di mana keputusan publik direkayasa tanpa konsultasi masyarakat adat, melainkan disahkan melalui jalur politik dan ekonomi yang dikendalikan oleh jaringan elite daerah dan korporasi.

Beberapa temuan lapangan, pola distribusi dari PT Position kepada sejumlah perangkat desa, tokoh adat dan elite lokal. Dana ini ini digunakan sebagai alat kompensasi sepihak untuk membungkam resistensi warga serta memperoleh legitimasi sosial atas operasi tambang.

“Situasi ini menciptakan konflik kepentingan struktural, di mana aparatur desa berperan ganda sebagai perwakilan warga, sekaligus juru bicara perusahaan, menutup ruang bagi partisipasi warga,” kata Melky.

Melky menyebut, temuan ini semakin menegaskan keterlibatan langsung antara jaringan perusahaan tambang, birokrasi lokal, organisasi pemuda ciptaan Orde Baru, dan elite politik pasca-pilkada. Perubahan batas wilayah desa digunakan sebagai instrumen legalitas perluasan tambang, sementara aparat dan perangkat pemerintahan menjadi perpanjangan tangan korporasi.

SHARE