Walhi: PSN Merauke, Kekerasan Negara Terhadap Masyarakat Adat

Penulis : Kennial Laia

Hutan

Rabu, 08 Oktober 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Hampir setengah juta hektare hutan di Tanah Papua diubah statusnya menjadi areal peruntukan lain untuk pengembangan megaproyek lumbung pangan dan energi. Walhi Nasional menilai kebijakan yang tidak mempertimbangkan keberlanjutan ini sebagai bentuk "kekerasan terbuka" negara terhadap lingkungan dan masyarakat adat Papua. 

Kebijakan pemerintah melepaskan kawasan hutan seluas 486.939 hektare di Merauke, Papua Selatan, tersebut dikhawatirkan akan menghasilkan jutaan emisi ke atmosfer. Analisis Walhi menemukan, lebih dari setengahnya, atau 265.208 hektare merupakan hutan alam. Konversi hutan alam tersebut–menjadi kebun tebu untuk etanol, cetak sawah baru, dan perkebunan sawit untuk bahan baku B50–akan melepaskan emisi sekitar 140 juta hingga 299 juta ton karbon dioksida.

Megaproyek ini, yang juga bernaung di bawah label proyek strategis nasional (PSN), memiliki total luas lebih dari 2 juta hektare. Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Uli Arta Siagian, emisinya akan jauh lebih besar jika seluruh rencana proyek tersebut dikembangkan. 

“Jadi bisa dibayangkan jika 2 juta hektare hutan Papua akan diubah menjadi konsesi pangan dan energi, emisi yang dilepaskan akan jauh lebih besar, dan ini kontradiktif dengan komitmen iklim Indonesia. Indonesia akan mempermalukan dirinya sendiri jika rencana ini tetap dijalankan,” kata Uli, Selasa, 7 Oktober 2025.

Masyarakat adat Malind Anim memasang palang sasi adat sebagai bentuk perlawanan PSN Merauke di Kampung Salam Epe, Wanam, September 2025. Dok. Yayasan Pusaka

Ratusan ribu hektare hutan yang akan dilepaskan tersebut merupakan wilayah masyarakat adat di Merauke. Terdapat 24 kampung yang tersebar di wilayah ini, yakni Bibikem, Yulili, Wogekel, Wanam, Woboyu, Dodalim, Dokib, Wamal, Yowid, Welbuti, Sanggase, Alatep, Alaku, Dufmira, Iwol, Makalin, Es Wambi, Maghai Wambi, Onggari, Domande, Kaipursei, Zanegi, dan Kaliki. 

“Pernyataan Menteri ATR/BPN bahwa tidak ada yang bermukim di wilayah tersebut adalah sebuah kesalahan besar, sekaligus menunjukkan sikap tidak hormatnya Menteri ATR BPN pada masyarakat adat Papua,” kata Uli.

Direktur Eksekutif Walhi Papua Maikel Peuki mengatakan, pelepasan hutan alam tersebut akan memperparah konflik agraria di Papua Selatan. Pasalnya proyek PSN dan pelepasan kawasan hutan tidak didasarkan pada persetujuan masyarakat adat sebagai pemilik sah wilayah tersebut. 

“Masyarakat adat yang kampungnya dijadikan sebagai lokasi proyek PSN itu menolak kehadiran PSN. Mereka takut akan terusir dari wilayah adatnya. Proyek pangan skala besar ini justru akan menghancurkan sumber pangan lokal masyarakat adat, padahal mereka menggantungkan hidup pada sagu, hasil hutan dan perikanan yang semuanya itu ada di hutan mereka,” kata Maikel. 

Buldoser sedang menebang hutan di area PSN lumbung pangan dan bioetanol di Merauke, Papua Selatan. Dok. Pusaka Bentala Rakyat

Menurut Maikel, pelepasan hutan ini juga akan merusak ekosistem hutan Merauke sebagai habitat satwa endemik seperti kasuari, kanguru pohon, dan cenderawasih. “Penghancuran hutan ini sama artinya dengan penghancuran identitas masyarakat adat Papua. Ini sebuah kekerasan terbuka yang dilakukan oleh negara. Selain itu, semua hal diputuskan melalui meja hijau di Jakarta,” ujar Maikel. 

Maikel mengingatkan Papua saat ini sedang menghadapi ancaman deforestasi serius. Tiga puluh tahun terakhir, Papua telah kehilangan tutupan hutan primer seluas 688.000 hektare. Sebagian besar, yakni 552.000 hektare, hilang hanya dalam periode 2022-2023, menyumbang 70 persen dari total deforestasi nasional. 

"Maka dari itu, menyelamatkan Papua artinya menyelamatkan Indonesia. Menolak PSN Papua untuk pangan dan energi adalah sebuah keharusan pengurus negara," kata Maikel. 

SHARE