Gereja dan Masyarakat Sipil Tolak Tambang di Pulau Obi
Penulis : Kennial Laia
Tambang
Minggu, 05 Oktober 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Komunitas gereja di Indonesia bersama jejaring masyarakat sipil mendesak penghentian rencana dan aktivitas pertambangan di Pulau Obi, Maluku Utara. Suara umat tersebut disampaikan oleh Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) serta jejaring masyarakat sipil lainnya.
Pada Kamis, 2 Oktober 2025, perwakilan komunitas mendatangi Kementerian ESDM dan Kementerian Kehutanan untuk menyerahkan keberatan resmi dan mendesak penghentian rencana tambang. Audiensi juga sempat dilakukan dengan staf Direktorat Jenderal Planologi Kementerian Kehutanan.
Gerakan tersebut digalang oleh para pendeta Gereja Protestan Maluku (GPM) Klasis Pulau-Pulau Obi, di Jemaat GPM Desa Bobo, Obi Selatan dan Desa Wooi, Obi Timur, yang ruang penghidupannya terancam tambang nikel.
“Suara kami sederhana, hentikan tambang yang merusak persaudaraan antar desa dan mengancam ruang hidup kami. Pemerintah harus hadir melindungi, bukan membiarkan konflik tumbuh bersama ekspansi tambang,” kata Pdt. Mersye Patti Pattipuluhu di Desa Bobo, Jumat, 3 Oktober 2025.
Saat ini terdapat dua perusahaan pertambangan nikel yang beroperasi di Desa Bobo, yakni PT Intim Mining Sentosa dengan konsesi seluas 3.185 hektare dan PT Karya Tambang Sentosa (KTS). Mersye mengatakan, warga menolak aktivitas keduanya karena operasi perusahaan telah memicu sengketa batas administrasi dengan Desa Fluk, meningkatkan kecurigaan antar warga, dan memperbesar risiko konflik horizontal.
“Dari sisi ekologi, warga merasakan peningkatan banjir disertai hantaman kayu dari area hutan yang dibuka. Dari sisi sosial-ekonomi, ancaman hilangnya mata pencaharian nelayan, pekebun padi, kelapa, cengkeh, dan pala kian nyata. Warga juga menegaskan penolakan sejak proses AMDAL lebih dari satu dekade lalu dan menilai prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) tidak dijalankan,” kata Mersye.
Hal serupa terjadi di Desa Wooi. Menurut Pdt. Silwanus Lasera, warga menolak secara kolektif terhadap rencana tambang pasir besi PT Bela Sarana Permai yang mengantongi konsesi seluas 4.290 hektare. Informasi akhir yang didapatkan, perusahaan yang diduga milik Gubernur Maluku Utara Sherly Tjoanda tersebut, telah mengantongi IUP Operasi Produksi hingga 2038.
“Kondisi ini menambah ketidakpastian atas masa depan penghidupan yang bergantung pada laut, ladang, dan hasil hutan, di tengah keterbatasan akses layanan dasar yang seharusnya menjadi kewajiban negara,” katanya.
Silwanus mendesak pemerintah segera menghentikan rencana penambangan besi PT Bela Sarana Permai di Desa Wooi. “Warga Wooi sejak awal menolak. Karena itu, kami menuntut pemerintah segera mencabut izin pertambangan PT Bela Sarana Permai dan selalu melibatkan warga dalam setiap keputusan yang menyangkut masa depan kampung kami. Hak kami atas lingkungan yang baik dan sehat tidak dapat dinegosiasikan,” ujarnya.
Laut, daratan, dan wilayah hutan bagi orang Obi bukan sekadar sumber ekonomi, melainkan bagian dari identitas. Perusakan besar-besaran oleh perusahaan tambang berarti kehilangan segalanya, termasuk kehidupan.
Selama bertahun-tahun, masyarakat Desa Wooi dan Bobo hidup dari sumber daya alam setempat. Dengan kearifan yang dimiliki, mereka tahu bagaimana mengelola, merawat, dan menjaga alam bagi kehidupan lintas generasi. Namun, kehadiran perusahaan di dua desa ini berpotensi memicu konflik horizontal di antara “orang-orang basudara”, kata Silwanus.
“Karena itu, kami berharap perusahaan dan pemerintah memiliki hati dan kemauan untuk menghentikan aktivitas serta mencabut IUP, bukan sebaliknya turut menikmati konflik di tengah masyarakat yang sedang bertumbuh,” kata Silwanus.
Sekretaris Umum PGI Pdt. Darwin Dermawan mengatakan hingga kini PGI memiliki sikap tegas untuk menolak izin usaha pertambangan bagi lembaga keagamaan. “PGI berdiri bersama jemaat di seluruh Indonesia yang masih gigih mempertahankan ruang hidupnya dari ancaman tambang, untuk mempertahankan hak atas kehidupannya.”
Anggota DPD Provinsi Maluku Utara, Graal Taliawo turut menyatakan dukungan terhadap perjuangan warga Bobo dan Wooi. Ia kemudian menghubungkan warga kepada pejabat ESDM dan Biro Planologi Kementerian Kehutanan. "Supaya warga bisa menyampaikan keberatan langsung pada mereka," katanya.
Desakan pada lembaga pendana
Selain mendesak pemerintah, para pendeta dan jejaring juga bersurat kepada lembaga-lembaga keuangan untuk menghentikan pendanaan proyek yang mengancam ruang hidup warga. Pada Rabu, 1 Oktober 2025, surat tersebut diberikan langsung kepada Bank Mandiri dan Bank DBS yang mendanai Harita Group. Jejak Harita Group di Desa Bobo terlacak melalui rencana ekspansi PT KTS yang merupakan perusahaan patungan PT IMS dengan PT Trimegah Bangun Persada (Harita Group), dan PT Banyu Bumi Makmur.
Kerusakan di Pulau Obi akibat penambangan dan smelter nikel yang dikuasai Harita Group sudah banyak diekspos media-media dan peneliti dalam dan luar negeri. Mulai kandungan logam berat di tubuh ikan yang menghancurkan sistem reproduksi mereka hingga air yang mengandung kromium heksavalen yang dibongkar OCCRP beberapa bulan lalu.
Kepala Simpul dan Jaringan JATAM Imam Shofwan mengatakan kekhawatiran warga Bobo dan Wooi sangat beralasan karena mereka tak mau dijadikan tumbal selanjutnya. Ia merujuk pada pengusiran paksa warga Desa Kawasi ke Eco Village yang dilakukan Harita.
“Bukannya menghentikan kehancuran dan memulihkan seluruh daya rusak yang sudah ditimbulkan di Kawasi, Harita malah melakukan ekspansi ke desa tetangga,” kata dia.
Staf Advokasi Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen (JKLPK) Trisna Harahap menyebut perjuangan masyarakat di kampung Bobo dan Wooi sebagai upaya mempertahankan bobarene sebagai ruang hidup, hongana sebagai sumber subsisten, raki sebagai penopang keberlanjutan dan pengetahuan tentang laut yang diwariskan secara turun temurun. “Inilah benteng identitas lokal yang tidak dapat ditukar dengan industri tambang,” katanya.
Ketua Umum Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara Syamsul Alam mengatakan, penguasaan dan pengambilalihan tanah serta sumber daya alam tanpa persetujuan masyarakat lokal di Bobo dan Wooi merupakan bentuk pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia.
“Negara memiliki kewajiban konstitusional untuk melindungi masyarakat adat, bukan malah memberi karpet merah bagi korporasi tambang. Kebijakan dan izin yang dikeluarkan tanpa penghormatan pada hak masyarakat adat adalah bentuk pelanggaran kewajiban negara,” ujarnya.
SHARE