Tambang Mineral Kunci Meningkat, Aturan Ketat Mendesak

Penulis : Kennial Laia

Energi

Selasa, 09 September 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Aturan mengenai kewajiban pelindungan lingkungan dan hak asasi manusia dalam rantai pasok mineral diperlukan untuk transisi energi yang bersih. Hal ini penting untuk melindungi masyarakat adat dan kawasan penting dengan biodiversitas tinggi dari ancaman pertambangan di seluruh dunia, seperti Kepulauan Raja Ampat di Tanah Papua. 

Senior Regional Campaign Strategist untuk Greenpeace Asia Tenggara Rayhan Dudayev mengatakan, permintaan mineral seperti nikel, kobalt, dan litium untuk transisi energi meningkat beberapa tahun terakhir. Dia mendesak agar negara-negara Asia Pasifik mulai membahas tata kelola dari mineral yang menjadi kunci dalam proses transisi tersebut. 

“Transisi energi kerap dijadikan dalih untuk menjustifikasi pertambangan mineral yang dilabeli ‘kritis’, yang dalam praktiknya mengabaikan dampak-dampak lingkungan dan sosial,” kata Dudayev, yang menghadiri pertemuan menteri dan pemangku kebijakan di bidang lingkungan hidup Asia Pasifik akhir Agustus lalu. 

“Misalnya, seiring dengan masifnya tambang nikel di negara-negara Selatan seperti Indonesia, kawasan kaya keanekaragaman hayati seperti Raja Ampat terancam rusak,” katanya. 

Pemimpin Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Arie Rompas, memegang spanduk bertuliskan 'Penambangan Nikel Merusak Raja Ampat' di kawasan UNESCO Global Geopark Raja Ampat, Papua Barat Daya, pada 3 Mei 2025. Foto: Greenpeace Indonesia.

Dalam kampanye #SaveRajaAmpat, Greenpeace Indonesia dan sejumlah organisasi lingkungan hidup Indonesia, mengungkap ancaman tambang nikel yang mengintai kawasan yang kerap dijuluki sebagai “surga terakhir di Bumi” itu. Tambang nikel di Raja Ampat telah memicu deforestasi, sedimentasi, dan polusi yang menghancurkan terumbu karang dan ekosistem laut lainnya. Aktivitas tambang nikel di Raja Ampat juga merusak habitat di daratan, serta memperparah pelanggaran hak-hak masyarakat adat Papua.

Pemerintah Indonesia merespons dengan mencabut empat dari lima tambang nikel di Raja Ampat Juni lalu. Namun hingga kini belum ada surat pencabutan resmi dari pemerintah. 

Juru Kampanye Greenpeace Asia Tenggara di Malaysia Dunxin Weng mengatakan, Majelis Lingkungan Hidup PBB (UNEA) harus membuat resolusi yang mengatur tata kelola mineral secara adil dan berkelanjutan, di mana pelindungan hak asasi manusia dan padiatapa (persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan atau FPIC) dari masyarakat adat dan komunitas lokal wajib dilakukan. 

“Kami juga mendesak negara-negara anggota untuk menetapkan kawasan-kawasan tertentu yang rentan dan punya nilai kultural, seperti wilayah masyarakat adat dan situs warisan dunia UNESCO, bebas dari aktivitas pertambangan mineral,” kata Weng. 

Laporan UNESCO menemukan adanya tumpang tindih konsesi tambang minyak, gas, dan mineral dengan kawasan situs warisan dunia. Merujuk laporan itu, sekitar sepertiga situs warisan dunia juga dibebani izin-izin tambang. Di kawasan Asia Pasifik angkanya bahkan lebih tinggi: 42 persen atau 35 dari 84 situs warisan dunia tumpang tindih dengan izin-izin ekstraktif.

Greenpeace Asia Tenggara juga mendesak peserta pertemuan agar dampak invasi militer dan konflik bersenjata terhadap lingkungan hidup dibahas dalam perhelatan UNEA di Kenya akhir tahun nanti. Tekanan untuk gencatan senjata dan perdamaian perlu diintegrasikan dengan pemulihan lingkungan dan upaya membangun ketahanan, untuk negara dan masyarakat yang menjadi korban serangan militer. 

Laporan Program PBB untuk Lingkungan Hidup pada 2024 mengungkap, serangan militer Israel ke Gaza menimbulkan dampak ekologis yang belum pernah terjadi sebelumnya. Masyarakat Gaza menghadapi risiko meningkatnya kerusakan tanah, air, dan polusi udara, serta kerusakan ekosistem yang tak bisa dipulihkan. 

“Konflik bersenjata di banyak tempat di dunia, apalagi genosida yang terjadi di Gaza yang diperparah dengan bungkamnya komunitas internasional yang sebenarnya punya kekuatan untuk menghentikan kekejaman Israel, telah jelas menghancurkan ekosistem dan melanggar hak asasi atas lingkungan hidup yang sehat,” kata Dudayev. 

Forum ini, yang diselenggarakan Badan PBB untuk Lingkungan Hidup (UNEP) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim Fiji, menjadi ajang yang mempertemukan pemerintah negara-negara, organisasi antarpemerintah, dan pemangku kepentingan lainnya di Asia Pasifik untuk membahas masalah lingkungan hidup dan krisis iklim. Hasil dari forum ini akan dibawa ke pertemuan dua tahunan Majelis Lingkungan Hidup PBB (United Nations Environment Assembly) yang bakal dihelat di Kenya pada Desember mendatang. 

SHARE