Rumah Orangutan Rawa Tripa Tak Juga Dipulihkan

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Gambut

Jumat, 22 Agustus 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Memperingati Hari Orangutan Sedunia, Yayasan Apel Green Aceh bersama jaringan masyarakat sipil kembali menyoroti krisis lingkungan yang berlangsung di Rawa Tripa, Aceh. Kasus PT Kallista Alam (KA), yang terbukti bersalah atas pembakaran dan perusakan ekosistem gambut, hingga kini masih belum tuntas dieksekusi, meski Mahkamah Agung telah menjatuhkan putusan yang jelas.

Apel Green Aceh telah mengirimkan surat resmi kepada kementerian terkait, menuntut penjelasan terkait kesepakatan perdamaian yang sedang atau telah dilakukan dengan PT Kallista Alam. Kelompok masyarakat sipil Aceh ini menekankan bahwa kasus ini bukan sekadar masalah hukum, melainkan juga persoalan hak publik atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Direktur Apel Green Aceh, Syukur Todu, mengatakan sudah cukup lama rakyat dan alam menunggu keadilan kasus Kalista Alam. Ia menganggap apabila putusan pengadilan dibahasakan ulang melalui perdamaian yang meringankan korporasi yang sudah perusak, itu sama saja merampas hak masyarakat dan mengkhianati hukum lingkungan di Indonesia.

“Rawa Tripa bukan sekadar lahan gambut. Ia adalah rumah orangutan, habitat satwa dilindungi, dan benteng alami kita menghadapi krisis iklim,” kata Syukur, dalam sebuah keterangan tertulis, 19 Agustus 2025.

Sejumlah masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Selamatkan Rawa Tripa membentangkan spanduk di kawasan gabung lindung Rawa Tripa. Foto: Apel Green Aceh.

Apel Green Aceh, lanjut Syukur, meminta Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup menjelaskan secara terbuka bentuk, substansi, dan dasar hukum kesepakatan perdamaian dengan PT Kallista Alam. Setiap langkah penyelesaian yang menyangkut ekosistem strategis dan hak publik harus dilakukan terbuka, bukan di belakang meja.

Kemudian soal kepastian hukum dan keadilan lingkungan, Apel Green Aceh menganggap perdamaian yang mengurangi kewajiban pemulihan lingkungan atau ganti rugi akan mencederai rasa keadilan masyarakat, khususnya korban langsung di Rawa Tripa. Hal ini mengancam preseden hukum penting bagi kasus lingkungan lainnya dan menegasikan pesan tegas Mahkamah Agung: pelanggaran lingkungan serius tidak boleh dibiarkan impunitas.

“Pemulihan lingkungan harus menjadi prioritas utama, sesuai UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Proses pemulihan harus melibatkan masyarakat sipil, akademisi, dan pemerintah daerah, serta dilakukan secara transparan, terukur, dan akuntabel,” kata Syukur.

Syukur bilang, eksekusi putusan pengadilan bukan opsi, melainkan kewajiban. Setiap langkah perdamaian yang melemahkan kewajiban korporasi perusak hanyalah penyiksaan tambahan terhadap alam dan masyarakat yang terdampak.

Menurut Syukur, keadilan sejati tidak berhenti di atas kertas, ia harus hadir nyata di tengah rakyat dan alam. Pemerintah harus hadir, memastikan Rawa Tripa dipulihkan, bukan dinegosiasikan.

“Kami menuntut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan membuka ruang dialog dengan masyarakat sipil dan lokal untuk memastikan pemulihan ekosistem dilakukan benar-benar, bukan setengah hati,” ucapnya.

Syukur menambahkan, momentum Hari Orangutan Sedunia ini harus menjadi alarm bagi publik dan pemerintah. Jika eksekusi PT Kallista Alam terus mangkrak, bukan hanya orangutan dan gambut yang hilang, tapi kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan perlindungan lingkungan pun terkikis.

SHARE