Cuma di Manggarai Bupati Bentrok dengan Massa Aksi Geothermal
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Energi
Minggu, 08 Juni 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Aksi damai penolakan proyek pengembangan geothermal Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu, di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT), yang dilakukan warga Poco Leok, berujung bentrok dengan sekelompok warga lain yang muncul bersama Bupati Manggarai, Kamis (5/6/2025).
Menurut keterangan salah seorang warga Poco Leok, pada awalnya penolakan geothermal yang disampaikan warga di depan kantor Bupati Manggarai itu berjalan lancar. Dalam orasi itu, warga mengkritik cara Bupati Manggarai, Heribertus G.L Nabit dalam menetapkan Poco Leok sebagai wilayah pengembangan PLTP Ulumbu.
Tiba-tiba, Bupati Nabit berlari keluar kantor sambil berteriak marah dan memaki peserta aksi. Tangannya menunjuk ke arah warga sambil bergegas hendak turun ke area massa aksi. Tetapi seorang Satpol PP segera menghalanginya dan menggiringnya kembali ke dalam kantor,” kata warga yang tidak ingin disebutkan namanya dalam pemberitaan, Kamis (5/6/2025).
Respons Bupati Nagit itu sempat memicu kemarahan warga, namun situasi bisa dikendalikan, dan warga kembali kembali berorasi. Tapi berselang sekitar 15 menit kemudian, Bupati Nagit kembali keluar kantor bersama rombongan Satpol PP, bergerak meninggalkan kantor ke arah selatan.

“Warga panik dan merasa ada yang tidak beres. Karena situasi yang tidak kondusif, dan bupati keluar dari kantor berjalan dengan ekspresi yang sangat marah dan geram,” ujarnya.
Menanggapi itu, masa aksi menghentikan orasi, membatalkan long march di rute lebih lanjut dan memutuskan untuk pulang. Tapi, beberapa saat berselang, Bupati Nabit kembali muncul dari sisi timur Kantor bupati bersama massa lain, yang tidak dikenal warga Poco Leok.
Rombongan tersebut berjumlah sekitar 30 orang, dan seluruhnya laki-laki. Rombongan Bupati Nagit bergerak menuju massa aksi dari Poco Leok. Beberapa orang dari rombongan itu berteriak-teriak, sambil mencari warga yg berorasi.
Massa tandingan ini, lanjut warga, masuk ke mobil dan mengecek satu per satu. Beberapa orang massa tandingan sempat menarik beberapa orang warga yang orasi dari dalam mobil yang ditumpangi warga Poco Leok. Beruntung pihak keamanan segera menanggapi situasi itu dengan mengevakuasi sebagian besar massa aksi Poco Leok, mengajak segera bergegas pulang.
“Tapi tiga mobil massa aksi Poco Leok kemudian diamankan di kantor Polres Manggarai, mengingat aksi rombongan yang dipimpin Bupati Nabit bertindak semakin menjadi-jadi,” kata warga.
Di kantor polisi, lanjutnya, warga dimintai keterangan terkait materi aksi dan orasi. Pihak kepolisian kemudian mempersilahkan Bupati Nabit untuk bertemu warga orator di kantor Polres Mangarai.
Di sana, Bupati Nabit mendesak warga untuk meminta maaf. Bupati Nabit juga berupaya menekan warga dengan ancaman akan melaporkan para orator ke pihak berwajib.
“Ada 6 orang tadi yang dimintai klarifikasi, sementara 2 peserta (massa aksi) lain dipanggil tapi tak sempat hadir. Sekitar pukul 17.00 WITA tadi warga pulang dari kantor polres ke kampung,” ujar warga.
Warga minta cabut SK penetapan lokasi kerja panas bumi
Dalam orasi penolakan geothermal ini, masyarakat adat yang berasal dari 10 gendang (kampung adat) Poco Leok, yang bermukim di sekitar lokasi wellpad (tapak pengeboran) D, E, F, H, dan I pengembangan PLTP Ulumbu, menyampaikan beberapa poin tuntutan.
Yang pertama, mereka meminta surat keputusan Bupati Manggarai tentang penetapan lokasi wilayah kerja panas bumi di Poco Leok, yang terbit pada 1 Desember 2022, dicabut. Yang kedua, meminta menuntut seluruh aktivitas apapun terkait geothermal oleh PT PLN UIP Nusra, aparat keamanan, pemerintah daerah dan pusat di Poco Leok dihentikan.
Ketiga, menuntut agar intimidasi, kriminalisasi dan politik pecah belah oleh pemerintah dan PT PLN di Poco Leok dihwntikan. Yang keempat, hentikan pendanaan proyek geothermal di Poco Leok oleh Bank KfW Jerman.
Massa aksi Poco Leok membentangkan spanduk berisikan sejumlah, salah satunya pencabutan SK penetapan wilayah kerja panas bumi di Poco Leok. Foto: Jatam
Lalu, kelima, mencabut keputusan Menteri ESDM tentang penetapan Flores sebagai pulau geothermal. Keenam, setop upaya sertifikasi atas tanah ulayat di Poco Leok oleh pihak ATR/BPN. Terakhir, bubarkan tim uji petik yang dibentuk Pemerintah Provinsi NTT yang hendak melakukan investigasi lapangan.
“Kami dengan tegas menolak tanpa syarat proyek ini,” kata masyarakat adat Poco Leok, dalam pernyataan sikapnya.
“Menolak menyerahkan “ruang hidup” kami. Yakni kesatuan yang utuh kampung halaman, yang kami sebut lampek lima, antara lain mbaru bate kaeng, uma bate duat, wae bate teku, natas bate labar dan compang bate takung,” kata mereka.
Betahita sudah berupaya meminta konfirmasi dan tanggapan kepada Heribertus G.L. Nabit tentang kejadian pada aksi unjuk rasa penolakan geothermal oleh masyarakat Poco Leok ini. Namun, sampai artikel ini selesai ditulis tidak ada respons yang diberikan dari yang bersangkutan.
Reaksi Bupati Nabit dianggap tidak pantas
Dalam sebuah keterangan tertulis, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Nusa Bunga, Sunspirit for Justice and Peace, Walhi NTT, Terranusa, dan JPIC menganggap tindakan Bupati Nagit saat menghadapi massa aksi Poco Leok adalah tindakan yang tidak pantas dilakukan oleh seorang pemimpin.
“Ia secara sadar menghadirkan kekerasan struktural, yang bertujuan melumpuhkan gerakan rakyat dengan cara yang memecah belah dan melemahkan solidaritas. Ia serupa penindas bagi rakyatnya sendiri,” tulis kelompok masyarakat sipil, Kamis (5/6/2025).
Menurut kelompok ini, warga Poco Leok berhak untuk melakukan aksi damai. Ini merupakan hak konstitusional yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Menghalangi atau membungkamnya adalah pelanggaran hukum dan merupakan tindakan anti-demokrasi yang memalukan.
Seorang kepala daerah, lanjut kelompok masyarakat sipil, seharusnya melindungi dan menjamin pemenuhan seluruh hak-hak warganya. Tetapi, Bupati Nabit dianggap justru menjelma ancaman bagi pemenuhan hak-hak konstitusional tersebut.
“Ia harus banyak belajar tentang tentang demokrasi, konstitusi, dan cara menjadi pemimpin yang beradab,” kata kelompok ini.
Kelompok ini menjelaskan, aksi damai pada Kamis kemarin dilaksanakan secara serentak di berbagai lokasi di sekujur tubuh Pulau Flores. Aksi damai ini dilakukan para warga terdampak proyek geotermal di Kabupaten Ende, Kabupaten Nagekeo, hingga Kabupaten Ngada. Kabupaten Manggarai hanya satu dari empat titik aksi damai warga.
“Di tiga kabupaten lainnya, nyaris tidak ada cerita intimidasi dan kekerasan yang dikoordinir langsung oleh bupati – orang nomor satu di pemerintahan level kabupaten,” kata mereka.
Di Kabupaten Ngada, warga dari 19 paroki dan 2 kuasi di wilayah Kevikepan Bajawa bersama dengan para pemuka agama Katolik dapat melangsungkan orasi damai diselingi pembacaan doa. Di Kabupaten Ende, ribuan peserta aksi yang terdiri dari perwakilan umat 39 paroki se-Kevikepan Ende, para tokoh agama Katolik, para tokoh adat, hingga berbagai organisasi mahasiswa, tumpah ruah di halaman kantor DPRD Ende dan kantor Bupati Ende untuk menyampaikan penolakan tegas terhadap rencana operasional proyek geotermal.
Begitu pula di Kabupaten Nagekeo. Lebih dari tiga ribu peserta aksi damai dari 20 paroki beserta mahasiswa, biarawan dan biarawati, serta elemen masyarakat lainnya mengadakan aksi damai menolak proyek geotermal.
“Dari empat kabupaten yang mengadakan aksi damai menolak geotermal, hanya aksi di Manggarai yang menyisakan luka akibat kecongkakan hati dan arogansi bupatinya,” kata kelompok itu.
“Nabit mesti paham bahwa Poco Leok bukan tanah kosong. Di sana ada manusia. Ada sejarah. Ada kehidupan. Kami tidak akan tinggal diam ketika semua itu diancam atas nama “pembangunan” yang hanya menguntungkan segelintir orang,” imbuh mereka.
Selain Bupati Nabit, masih kata kelompok masyarakat sipil, Bank Pembangunan Jerman (KfW) juga harus bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia terhadap ratusan masyarakat adat Poco Leok yang mengadakan aksi damai hari ini. Karena itu, kelompok ini menyerukan KfW harus segera hengkang dari Pulau Flores dan membatalkan seluruh rencana ekstraksi panas bumi di pulau ini.
“Tak ada pilihan lain bagi KfW. Pemaksaan proyek panas bumi hanya akan melanggengkan kejahatan kemanusiaan di bumi Flores,” tulis mereka.
Massa aksi Poco Leok melakukan long march menuju kantor Bupati Manggarai, dalam aksi unjuk rasa damai penolakan pengembangan geothermal PLTU Ulumbu. Foto: Jatam.
Bupati Nabit anggap reaksinya manusiawi
Terpisah, Bupati Manggarai Heribertus G. L. Nabit, mengatakan aksi penolakan geothermal adalah sesuatu yang sudah beberapa kali terjadi, dan berbagai hal sudah dijawab sesuai kemampuan dan kewenangannya sebagai bupati atas nama Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Manggarai. Namun demikian, salah satu tuntutan yang kerap diajukan adalah tuntutan mencabut SK penetapan lokasi yang dikeluarkan oleh Pemkab Manggarai.
“Bagi saya, setelah melalui berbagai proses administrasi dan partisipasi masyarakat, jalan terbaik untuk mencabut SK tersebut adalah dengan mengajukan gugatan ke PTUN. Biarlah putusan PTUN yang akan memerintahkan kami untuk mencabutnya,” katanya, Sabtu (7/6/2025).
Bupati Nabit menjelaskan, pada awalnya aksi demonstrasi dalam memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia di depan kantornya Kamis kemarin berjalan dengan baik. Semua orasi disampaikan dengan bahasa yang menurutnya dapat dipahami. Namun situasi berubah saat ada seorang ibu rumah tangga dan pemuda yang isi orasinya, menurut Nabit, sudah melenceng dari persoalan geothermal.
“Karena mulai menyinggung riwayat keluarga dan perjalanan politik saya beberapa tahun lalu, dan beberapa hal pribadi lain. Respons saya adalah respons manusiawi.” ujar Nabit.
Nabit mengaku tidak mengerahkan massa tandingan. Ia menjelaskan, Ruteng adalah kota kecil sehingga setiap keramaian, pasti akan membuat masyarakat berkumpul dan menonton. Demikian juga pada aksi demo tersebut. Sebagian massa yang menonton, menurut Nabit, tidak setuju dengan kata-kata yang disampaikan massa aksi dari Poco Leok, yang dianggap tidak pantas.
“Itulah mengapa terjadi respons massa yang dianggap tandingan. Saya tidak setuju kalau disebut massa tandingan, karena memang tidak direncanakan dan spontan terjadi dipicu oleh pernyataan-pernyataan yang dianggap tidak pantas,” ucapnya.
SHARE