Greenpeace: RGE dan Bayangannya Babat 68 Ribu Ha Hutan Alam
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
SOROT
Senin, 26 Mei 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Investigasi mendalam yang dilakukan Greenpeace Indonesia mengungkap keberadaan 194 perusahaan yang diduga terhubung dengan atau di bawah kendali Grup Royal Golden Eagle (RGE) beserta aset lain yang diakui berada di bawah kendali Sukanto Tanoto atau keluarganya. Grup RGE/Tanoto bersama perusahaan-perusahaan itu teridentifikasi telah menyebabkan hutan alam seluas DKI Jakarta, atau sekitar 68 ribu hektare, hilang sejak 2021 hingga Mei 2024.
Dalam laporannya yang berjudul Under The Eagle’s Shadow, Greenpeace Indonesia menyebut perusahaan-perusahaan yang seluruhnya beroperasi di Indonesia itu, baik di sektor perkebunan, kehutanan maupun industri bubur kertas, sebagai perusahaan bayangan. Alasannya, perusahaan-perusahaan itu tidak secara tegas dan resmi diakui bagian dari Grup RGE/Tanoto.
Selain 194 perusahaan Indonesia, Greenpeace Indonesia juga mengungkap 63 perusahaan lainnya—sebagai perusahaan induk—yang juga diduga terhubung dengan Grup RGE/Tanoto yang beroperasi di luar Indonesia.
Perusahaan bayangan adalah aset grup yang tidak diakui, sering kali ditempatkan di yurisdiksi-yurisdiksi kerahasiaan (secrecy jurisdictions), sehingga memungkinkan grup tersebut menghindari pertanggungjawaban atas kerusakan lingkungan dan sosial, termasuk dalam hal penggundulan hutan.
Perusahaan-perusahaan yang diyakini Greenpeace Indonesia sebagai perusahaan bayangan itu teridentifikasi keterhubungannya dengan Grup RGE/Tanoto melalui beberapa indikasi, yakni dari perpindahan aset bolak-balik yang berulang antara Grup RGE/Tanoto dan kelompok teridentifikasi, selama bertahun-tahun; perpindahan personel berulang antara Grup RGE/Tanoto dan kelompok teridentifikasi, selama bertahun-tahun.
Kemudian dari sumber daya bersama yang banyak antara Grup RGE/Tanoto dan kelompok teridentifikasi, termasuk alamat bersama, sumber daya teknologi informasi, dan dalam beberapa kasus layanan manajemen, dan ketergantungan finansial antara Grup RGE/Tanoto dan kelompok teridentifikasi.
“Penelitian ini menunjukkan, dengan derajat keyakinan yang tinggi, bahwa seluruh perusahaan yang diselidiki dalam 20 subgrup kemungkinan besar adalah perusahaan bayangan yang berada di bawah kendali bersama dan merupakan bagian dari grup perusahaan yang sama dengan perusahaan-perusahaan RGE/Tanoto,” kata Refki Saputra, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, 20 Mei 2025.
Refki melanjutkan, pengendalian manajemen, operasional, dan finansial sudah cukup untuk menjamin bahwa perusahaan-perusahaan yang diselidiki berada di bawah kendali bersama, maka perusahaan-perusahaan tersebut juga diduga kuat berada di bawah kepemilikan manfaat bersama dengan Grup RGE/Tanoto.
“Namun kesimpulan dengan keyakinan tinggi (100%) sulit dicapai dan kemungkinan keterlibatan pihak lain sebagai investor tidak dapat diabaikan,” katanya.
Menurut laporan Greenpeace Indonesia, dalam operasinya bersama perusahaan bayangan, Grup RGE/Tanoto menguasai lahan seluas sekitar 2.781.450 hektare. Yang mana 1.385.375 hektare dikuasai melalui sejumlah anak usahanya, seperti Asia Pacific Resources International Limited (APRIL) seluas 337.746 hektare, PT Toba Pulp Lestari (TPL) 168.293 hektare, PT ITCI Hutani Manunggal 120.229 hektare, Asian Agri 200 ribu hektare, dan konsesi kehutanan lainnya seluas 559.115 hektare.
Sedangkan 1.396.075 hektare lainnya dioperasikan melalui sejumlah perusahaan holding, seperti PT Bintang Utama Lestari (BUL) dan PT Indograha Mandiri (IGM) seluas 431.417 hektare, Green Meadows seluas 192.809 hektare, Sunny Vision 182.475 hektare, Green Ascend 138.667 hektare, Golden Sail 101.495 hektare, Green Island 34.041 hektare, DTK Opportunity 91.567 hektare, Meadow Capital 65.693 hektare, Mekong 44.878 hektare, Tesoro 34.434 hektare, Jalan Abesin 28.748 hektare, Aberdeen Street 25.425 hektare, dan Prachinburi 24.428 hektare.
Deforestasi di konsesi
Dalam laporannya, Greenpeace Indonesia menyebut, dari ratusan perusahaan bayangan itu, ada perusahaan yang membabat habitat orangutan untuk menanam perkebunan kayu monokultur, juga ada perusahaan yang membeli kelapa sawit yang ditanam di dalam kawasan suaka margasatwa.
Kepala Global Greenpeace untuk Kampanye Hutan Indonesia, Kiki Taufik mengatakan, laju deforestasi Indonesia sebenarnya sempat menurun setelah kampanye organisasi masyarakat sipil dan konsumen selama puluhan tahun. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, laju deforestasi beranjak naik lagi.
Konversi hutan menjadi perkebunan kembali meningkat, terutama untuk perkebunan kayu monokultur dan kelapa sawit. Penggunaan perusahaan bayangan oleh kelompok perusahaan besar tampaknya menjadi faktor yang mendorong kembalinya tren buruk ini.
Sebab itu, Greenpeace International meneliti salah satu perusahaan sumber daya alam terbesar di Indonesia tersebut dengan menerapkan metodologi Shining Light on the Shadows. Dengan metodologi tersebut, Greenpeace International menunjukkan pula bahwa perusahaan pemegang merek ternama, perbankan, dan institusi pelaksana skema sertifikasi berkelanjutan sebenarnya bisa, dan semestinya melakukan penelitian semacam ini secara mandiri.
“Konsumen sudah bersuara bahwa mereka tidak menginginkan barang yang berasal dari penggundulan hutan. Agar produk mereka tetap laku di pasaran, banyak merek berjanji untuk berhenti membeli dari kelompok perusahaan yang menebang hutan dan mengeringkan lahan gambut di Indonesia,” ujar Kiki, 20 Mei 2025.
Namun, imbuh Kiki, kelompok-kelompok tersebut tetap ingin mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan cara menyembunyikan aset di negara-negara suaka pajak, sehingga mereka dapat mempertahankan akses ke pasar yang mensyaratkan bebas deforestasi, walau sambil tetap menebang hutan.
Sepanjang awal 2021 hingga Mei 2024, deforestasi seluas 68 ribu hektare telah terjadi di konsesi-konsesi yang diyakini berada di bawah kendali bersama dengan grup RGE/Tanoto. Artinya, dalam waktu kurang dari empat tahun, hutan yang dibabat luasnya lebih besar dari luas daratan DKI Jakarta, yang hanya sekitar 66 ribu hektare.
Dari 68 ribu hektare hutan yang dibabat itu, hampir 36 ribu hektare di antaranya terjadi di area yang dipetakan sebagai lahan gambut–lanskap yang amat penting untuk penduduk setempat dan iklim global.
Selain itu, ada pula pembangunan infrastruktur pabrik pemrosesan yang amat besar. Infrastruktur ini dikhawatirkan akan memicu kasus deforestasi baru–seperti pabrik kelapa sawit baru dan pabrik pulp baru berkapasitas besar di Kota Tarakan, Kalimantan Utara, yang bisa makin menggunduli hutan Kalimantan.
Menurut analisis Nusantara Atlas, dua perusak hutan terbesar di Indonesia untuk industri bubur kayu dan kertas pada 2022 dan 2023 adalah PT Mayawana Persada seluas 33.371 hektare dan PT Industrial Forest Plantation 11.748 hektare.
Sedangkan perusak hutan kedua terbesar untuk kelapa sawit pada 2023 adalah PT Lahan Agro Inti Ketapang dengan luas deforestasi 2.226 hektare. Perusahaan-perusahaan itu terindikasi berada di bawah kendali bersama RGE.
Tampak lahan gundul di areal PT Lahan Agro Inti Ketapang di Kalimantan Barat dibabat pada Agustus 2023. Foto: Greenpeace Indonesia.
Selain itu, pabrik bubur kertas raksasa PT Phoenix Resources International (PRI) yang beroperasi di Tarakan, Kalimantan Utara, juga terindikasi sebagai perusahaan bayangan Grup RGE/Tanoto. Keberadaan PT PRI ini dianggap sebagai ancaman besar bagi hutan alam di Kalimantan.
Pada Oktober 2024, diketahui sebanyak 45.891 metrik ton bahan baku produksi PT PRI disuplai dari PT Mahakam Persada Sakti, PT Bakayan Jaya Abadi, PT Santan Borneo Abadi (Green Meadow subgroup), dan PT Industrial Forest Plantation (Golden Sail).
Pemerintah harus memperkuat larangan praktik nominee
Refki, mengatakan, apabila ingin tetap bersih, para pemilik merek dagang perlu mengevaluasi bukti ini dan mengakhiri keterlibatan mereka dalam deforestasi melalui Grup RGE. Demikian pula, Forest Steward Council (FSC) harus menyelidiki semua perusahaan yang diidentifikasi dalam laporan. Jika FSC juga menemukan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut berada di bawah kendali RGE/Grup Tanoto, maka proses remedi untuk APRIL harus dihentikan.
“Terlebih lagi, masyarakat Indonesia berhak mengetahui siapa yang menguasai tanah, dan siapa yang memutuskan apakah hutan akan bertahan atau tumbang. Pemerintah harus menegakkan transparansi dan memberantas penggunaan perusahaan bayangan,” kata Refki.
Atas temuan perusahaan bayangan ini, Greenpeace Indonesia memberi beberapa poin saran dan rekomendasi. Kepada para konsumen dan penyandang dana, segera memutuskan hubungan dengan RGE, hanya memulai kembali hubungan dengan RGE setelah cukup waktu, setelah penyelidikan independen, dan jika semua perusahaan bayangan yang melakukan deforestasi tidak termasuk rantai pasok.
Kepada lembaga sertifikasi, menyarankan FSC menerbitkan metodologi untuk mengevaluasi grup perusahaan seperti APRIL. Menunda proses remediasi sambil melakukan investigasi sendiri, dan menghentikan jika menemukan dampak buruk ekologis atau sosial.
Kepada Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO), memperbaiki sistem pengaduan dan penerapan penilaian uji tuntas. Selanjutnya, kepada Programme for the Endorsement of Forest Certification (PEFC) dan Indonesian Forestry Certification Cooperation (IFCC) menerapkan prinsip tanggung jawab setingkat grup perusahaan.
Greenpeace Indonesia juga meminta Pemerintah Indonesia untuk menegakkan larangan terhadap praktik nominee (pemegang saham atas nama), tanpa transparansi pengendalinya, perusahaan tidak boleh mengurus izin. Lalu, melakukan verifikasi yang lebih efektif atas nama-nama yang dideklarasikan ke dalam daftar kepemilikan manfaat. Juga melindungi hutan, lahan gambut, lahan adat dan lahan masyarakat yang tersisa, termasuk di dalam konsesi yang sudah ada.
“Menutup celah pengendalian grup yang tersembunyi, perlu diwajibkan melalui pengaturan uji tuntas untuk rantai pasokan dan penyandang dana,” ujar Refki.
FSC sedang tinjau perusahaan-perusahaan terkait RGE
Terpisah, Country Manager FSC Indonesia, Hartono Prabowo, mengatakan FSC saat ini memang sedang meninjau dan merevisi panduan lingkup kelompok perusahaan yang akan menjadi acuan dalam menilai lingkup kelompok perusahaan, dengan mengacu pada definisi Lingkup Kelompok Perusahaan dari Accountability Framework Initiative (AFi).
“Sehingga sesuai permintaan Greenpeace Indonesia, lingkup kelompok perusahaan RGE akan dinilai kemudian setelah panduan tersebut diberlakukan,” kata Hartono, Sabtu (24/5/2025).
Sebelumnya, Subhra Bhattacharjee, Director General FSC, mengatakan, dalam Nota Kesepahaman (MOU) yang ditandatangani APRIL dengan FSC untuk memulai proses perbaikan, terdapat ketentuan yang mengikat klien dengan persyaratan tertentu dan menetapkan ketentuan mengenai kapan MOU tersebut dilanggar. Pelanggaran dapat mengakibatkan penangguhan proses perbaikan sebagaimana yang telah dinyatakan.
Sebelum menandatangani MoU, lanjut Subhra, APRIL diwajibkan untuk mengungkapkan daftar entitas yang termasuk dalam grup korporatnya. FSC meninjau daftar entitas ini, dan MoU antara FSC dan klien perbaikan memungkinkan FSC untuk meninjau kembali ruang lingkup grup perusahaan selama proses perbaikan.
“FSC akan melakukan tinjauan eksternal independen terhadap grup perusahaan RGE. FSC menggunakan definisi grup perusahaan dan konsep kontrol sebagaimana didefinisikan dalam Kebijakan FSC untuk Asosiasi versi 3, yang didasarkan pada Accountability Initiative Framework,” kata Subhra, dalam sebuah keterangan tertulis, pada 23 Desember 2024.
Pernyataan Subhra itu disampaikan sebagai tanggapan atas laporan koalisi masyarakat sipil tentang dugaan hubungan kepemilikan Grup RGE dengan sejumlah perusahaan pelaku deforestasi di Indonesia.
Lebih lanjut Subhra menuturkan, tinjauan eksternal akan mencakup evaluasi terhadap nexus of control yang dilakukan oleh RGE terhadap, antara lain, entitas-entitas yang saat ini menjadi subyek dugaan berada dalam grup korporasi RGE.
Sebagai bagian dari proses uji tuntas FSC di bawah Kerangka Kerja Perbaikan FSC, masih kata Subhra, tinjauan grup korporasi dilakukan untuk grup korporasi yang kompleks dan klien perbaikan yang berisiko tinggi sebelum pembaharuan MoU. FSC juga melakukan tinjauan kelompok korporasi ketika menerima klaim yang dapat dibuktikan. FSC juga dapat menugaskan peninjauan kelompok korporasi oleh ahli eksternal independen.
“FSC menerima informasi mengenai kemungkinan pelanggaran terhadap Policy for Association (PfA) dari berbagai saluran. Salah satunya adalah pengaduan pelanggaran PfA secara resmi,” ujarnya.
Subhra melanjutkan, FSC juga membuka kasus-kasus pelanggaran PfA secara proaktif berdasarkan bukti-bukti yang dikumpulkan dari sumber-sumber pihak ketiga. Informasi dan bukti untuk kasus-kasus proaktif dikumpulkan dari laporan media, kasus-kasus hukum, studi yang dilakukan oleh LSM, dan temuan-temuan dari investigasi internal FSC.
Terlepas dari sumber tuduhan, imbuh Subhra, FSC mengumpulkan dan menilai bukti-bukti yang ada untuk memutuskan apakah memang telah terjadi pelanggaran terhadap PfA. Ketika tuduhan dibuat dalam sumber-sumber domain publik seperti laporan media, kampanye organisasi masyarakat sipil, dll. FSC memantau dan menilai bukti-bukti yang tersedia.
Subhra menjelaskan, APRIL telah menandatangani perjanjian untuk memulai proses perbaikan pada November 2023. Proses perbaikan ini memiliki beberapa langkah/tahapan yang dapat dilanjutkan setelah setiap langkah/tahapan diverifikasi oleh penilai independen. Setelah APRIL menyelesaikan proses perbaikan, APRIL akan memenuhi syarat untuk bergabung dengan asosiasi dan sertifikasi.
“Keputusan untuk mengakhiri disasosiasi FSC dengan APRIL akan diambil oleh Dewan Direksi FSC International setelah proses perbaikan selesai (termasuk verifikasi penyelesaian semua langkah/tahap),” ucap Subhra.
Grup RGE bantah kepemilikan hubungan dengan perusahaan bayangan
Dalam pernyataan resminya, RGE dengan tegas menolak tuduhan dalam laporan Greenpeace terkait dugaan keberadaan rantai pasok bayangan dan ketidakpatuhan atas kebijakan keberlanjutan RGE.
“Kami menegaskan komitmen penuh RGE untuk nol deforestasi yang berlaku di semua kelompok usaha, serta kami telah mempublikasikan seluruh daftar perusahaan dalam Grup Perusahaan secara terbuka, sebagaimana telah dinilai oleh Forest Stewardship Council (FSC),” kata RGE.
RGE bilang, laporan Greenpeace ini mengulangi kembali tuduhan yang tidak berdasar dari kampanye beberapa LSM sebelumnya yang telah kami tanggapi dan bantah. Laporan ini juga menyajikan kesimpulan yang didasarkan pada asumsi dan spekulasi tanpa disertai referensi pada dokumen formal maupun sumber terverifikasi.
“Kami menyadari bahwa tuduhan yang berulang ini berakar dari penentangan yang terus-menerus oleh sejumlah LSM terhadap dialog aktif APRIL, anggota kelompok RGE, dengan FSC. Kami mendorong seluruh pemangku kepentingan untuk berpegang pada data dan fakta, bukan spekulasi, dan meminta media untuk menyampaikan informasi secara objektif dan akurat,” kata RGE.
Grup RGE menjelaskan, PT Mayawana Persada tidak berada di bawah kendali atau kepemilikan, baik secara langsung maupun tidak langsung, dari RGE dan/atau para pemegang sahamnya.
Kemudian PT Industrial Forest Plantation (IFP) sebelumnya memasok ke Asia Symbol melalui PT Balikpapan Chip Lestari (BCL). Berdasarkan hasil investigasi, PT BCL menghentikan pasokan dari PT IFP pada 2023 sesuai pernyataan Asia Symbol sebelumnya.
“Kami menegaskan bahwa hingga saat ini, tidak ada pasokan dari PT IFP ke Asia Symbol,” kata RGE.
Foto area konsesi PT Industrial Forest Plantation di Kalimantan Tengah, diambil pada Oktober 2022. Foto: Auriga Nusantara.
Kemudian PT Adindo Hutani Lestari (AHL), lanjut Grup RGE, tercatat dalam APRIL Sustainability Dashboard sebagai salah satu pemasok jangka panjang. Verifikasi tahunan oleh pihak ketiga, yaitu KPMG, di bawah pengawasan independen dari Stakeholder Advisory Committee APRIL, menegaskan kepatuhan APRIL telah sesuai dengan Kebijakan Pengelolaan Hutan Berkelanjutan (Sustainable Forest Management Policy/SFMP) 2.0 APRIL.
Sementara itu, PT Sumatera Riang Lestari (SRL) juga termasuk dalam pemasok jangka panjang yang beroperasi dalam lima konsesi yang terdaftar. Sejak SFMP 2.0 APRIL diluncurkan pada 2015, lanjut RGE, tidak ada laporan terkait deforestasi. Seluruh kegiatan operasional ini juga diverifikasi oleh audit independen.
“PT Lahan Agro Inti Ketapang (PT LAIK) tidak pernah menjadi pemasok Apical dan bukan bagian dari rantai pasok RGE,” tulis RGE.
Berikutnya, PT Usaha Sawit Unggul (USU) menjadi pemasok Asian Agri (AA) hingga 2019. Alih fungsi lahan seluas 800 hektare terjadi pada 2012, sebelum Asian Agri mengadopsi komitmen nol deforestasi pada 2014. Area tersebut dikembangkan sesuai dengan ketentuan hukum perkebunan yang berlaku (UndangUndang Nomor 18 Tahun 2004) dan menjadi area konsesi Hak Guna Usaha (HGU).
Setelah divestasi dari AA, PT USU tetapi tetap berada dalam rantai pasokan Apical melalui PT Sawit Sukses Sejati (PT SSS). Menyusul investigasi pada 2022, Apical segera memberlakukan Perintah Penghentian Kerja (Stop Work Order, SWO) dan mewajibkan dilakukannya penilaian Nilai Konservasi Tinggi (HCV) dan Stok Karbon Tinggi (HCS), serta memulai rencana pemulihan.
Namun, karena PT USU dan PT SSS gagal memenuhi tindakan perbaikan, Apical menghentikan semua pengadaan dari kedua perusahaan tersebut sejak Mei 2022. Peristiwa ini mencerminkan pendekatan kami dalam mendukung penguatan kapasitas sejauh memungkinkan, namun tetap mengambil tindakan tegas bila diperlukan.
“PT Phoenix Resources International tidak di bawah kepemilikan dan kontrol, baik secara langsung atau tidak langsung, RGE dan/atau pemegang sahamnya. Silahkan merujuk pada tanggapan yang telah dipublikasikan sebelumnya,” ujar RGE.
Kemudian, PT Global Sawit Semesta (PT GSS) bukan pemasok untuk Apical. Pada November 2024, manajemen Apical memutuskan untuk menghentikan pasokan dari PT GSS.
Lalu, Restorasi Ekosistem di Papua: PT Kesatuan Mas Abadi, PT Damai Setiatama Timber, dan PT Mukti Artha Yoga masing-masing dioperasikan oleh Apical, APRIL, dan Asian Agri, anggota kelompok RGE, untuk konservasi dan restorasi hutan alam. Mencakup luas 500,000 hektare, ketiga area tersebut akan dikelola untuk kepentingan konservasi dan pemberdayaan masyarakat, serta akan secara memperluas kontribusi konservasi hutan oleh perusahaan-perusahaan anggota kelompok RGE di Indonesia.
“RGE tetap berkomitmen terhadap prinsip transparansi, akuntabilitas, dan dialog terbuka. Kami senantiasa menyambut baik keterlibatan konstruktif dari seluruh pemangku kepentingan, termasuk LSM, komunitas, pemegang hak, media, dan mitra industri, serta tetap fokus pada pencapaian kemajuan dan dampak yang terukur bagi masyarakat dan lingkungan,” kata RGE.
RGE dianggap gagal bantah temuan Greenpeace
Namun menurut Kiki, tanggapan sepanjang dua halaman dari Grup RGE/Tanonto itu semata-mata bertujuan untuk mengalihkan tanpa secara tegas membantah kesimpulan utama dalam laporan 400 halaman Greenpeace International. Laporan ini sudah melampirkan berbagai bukti kuat terkait keberadaan 194 perusahaan dalam negeri dan 63 perusahaan induk di luar negeri yang diyakini berada di bawah kendali bersama dengan Grup RGE/Tanoto, yang mana bertolak belakang dengan apa yang diakui dalam respons Grup RGE/Tanoto.
Grup RGE/Tanoto, lanjut Kiki, justru mengulangi kembali pernyataan yang sudah pernah dilontarkan sebelumnya terkait dua perusahaan sumber daya alam Indonesia, PT Phoenix Resources International dan PT Mayawana Persada, yang menyangkal bahwa keduanya berada di bawah kendali yang sama dengan Grup RGE/Tanoto.
Kiki menilai Grup RGE/Tanoto dengan secara keliru membingkai bahwa argumen utama laporan ini membahas tentang rantai pasokan bayangan (‘shadow supply chain’), tanggapan Grup RGE/Tanoto tampaknya berupaya untuk mengalihkan fokus dari apa yang sebenarnya tengah dipertanyakan—yaitu tentang kendali perusahaan yang disembunyikan.
“Kami mendesak bank dan merek dagang untuk mengevaluasi sumber-sumber terperinci, yang telah disertakan sebagai tautan di dalam laporan ini, dan memutuskan sendiri apakah entitas terkait harus dianggap sebagai bagian dari Grup RGE/Tanoto,” kata Kiki.
SHARE