Dilema Kerbau di Rumah Badak Jawa

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono dan Aryo Bhawono

Badak

Minggu, 16 Maret 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Matahari sedang terik-teriknya saat Nanang menarik kerbau (Bubalus bubalis) jantannya ke salah satu rumpun rerumputan di sepetak lahan terbuka sekitar persawahan di Dusun Peuteuy, Desa Ujung Jaya, Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang, Banten. Tali kekang kerbau ia ikatkan ke batang pohon kelapa sebelum beranjak ke pondok untuk beristirahat.

Tempat penggembalaan kerbau itu berjarak sekitar 2 km dari pemukiman Dusun Peuteuy. Baik persawahan, tempat Nanang menggembala, hingga pemukiman Dusun Peuteuy itu berada dalam kawasan Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK). 

“Ya di sinilah tempat gembala ternak saya, sekaligus tempat tidurnya (kerbau) kalau malam. Karena tidak ada banyak tempat yang tersedia,” kata Nanang pada Kamis, 27 Februari 2025. 

Namun aktivitas Nanang, ataupun seluruh warga dusun Peuteuy, tak bisa langsung disebut sebagai perambahan. Dusun itu sudah ada sejak penetapan batas kawasan TNUK.   

Nanang menunjukkan ternak kerbaunya di areal penggembalaan di Dusun Peuteuy, Desa Ujung Jaya, Kabupaten Pandeglang, Banten. Foto: Betahita.id.

Pun begitu, Nanang tak mau aktivitasnya menggembala kerbau mengganggu sawah tetangganya. Ia membuat pagar sederhana dari bambu dan kayu. Kerbaunya yang berjumlah tiga ekor, mencari rumput dalam kandang itu tanpa mengganggu sawah. 

Meski begitu, setiap hari, di sela pekerjaannya sebagai montir mobil, Nanang mengaku harus tetap menyisihkan waktunya untuk mengawasi kerbau-kerbaunya agar tidak keluar dari pagar dan masuk ke sawah-sawah warga, atau terlalu jauh berkeliaran masuk ke kawasan TNUK.

Baginya rutinitas hariannya tersebut cukup merepotkan, apalagi sampai sekarang ia belum punya kandang kerbaunya sendiri. Walau demikian, ia tidak berniat menjual ternak-ternak kerbaunya. Karena kerbau-kerbau itu adalah investasinya, yang sewaktu-waktu bisa ia rupiahkan saat butuh uang.

“Sebetulnya Balai Taman Nasional Ujung Kulon sudah membuatkan kandang kerbau, sekitar setengah km dari kampung. Tapi sampai sekarang kandang-kandang itu belum bisa kita pakai,” katanya.

Nanang menuturkan, untuk bisa menggunakan kandang-kandang itu, warga Ujung Jaya, termasuk dirinya, harus membentuk suatu kelompok peternak yang disahkan melalui surat keputusan kepala desa. Nanang mengaku telah membentuk kelompok peternak bersama belasan peternak Ujung Jaya lainnya. Tapi karena suatu persoalan, kelompoknya masih belum bisa menggunakan kandang-kandang itu.

Nanang bilang, warga Ujung Jaya sebetulnya punya aspirasi soal kandang kerbau yang dibangun oleh Balai TNUK. Selain fasilitas kandang, warga juga berharap pihak Balai TNUK bisa memberikan sepetak lahan untuk tempat penggembalaan, tempat berkubang, dan areal penanaman pakan ternak.

“Sehingga kita peternak tidak perlu harus menggembalakan ternak ke tempat yang jauh dari kandang. Jadi ternak kerbau itu cukup berkeliaran di sekitar kandang saja,” ujarnya.  

Kondisi peternakan kerbau warga di Ujung Jaya jauh berbeda dengan di Desa Rancapinang, di Kecamatan Cimanggu—desa lainnya yang juga berbatasan langsung dengan kawasan TNUK. Di Rancapinang, terutama di Dusun Cegog, sejak satu tahun terakhir para peternak diperbolehkan menggunakan kandang-kandang kerbau yang dibangun di dalam kawasan TNUK. 

Tampak beberapa bangunan kandang kerbau yang dibangun dengan anggaran SBSN di Dusun Cegog, Desa Rancapinang, Kabupaten Pandeglang, Banten. Foto: Yayasan Langit Cerah Indonesia.

Tapi, kondisi kandang yang rentan roboh membuat warga berpikir dua kali untuk menggunakannya. Seperti Soleh misalnya, yang memilih mengandangkan sejumlah ternak kerbaunya di kadang miliknya sendiri di luar areal kandang kerbau yang dibangun Balai TNUK menggunakan anggaran yang berasal dari Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) yang diterbitkan Pemerintah Indonesia.

“Saya memilih untuk memakai kandang lama di padang rumput dekat pantai,” ujar Soleh.

Soleh sedang berteduh di pondok dekat kerbaunya merumput di Cegog. Foto: Betahita.id.

Kandang kerbau yang ia maksud adalah padang rumput dengan tiang pancang untuk kerbau jantan dan betina, tanpa peneduh dan pagar.

Menurut pengamatan Yayasan Langit Cerah Indonesia, kandang-kandang ternak kerbau yang dibangun Balai TNUK di Cegog itu hampir seluruhnya rentan roboh. Kerentanan tersebut dapat diamati dari banyaknya tiang dan kerangka bangunan sejumlah kandang, yang terbuat dari besi, yang kondisinya keropos.

Salah satu kandang kerbau yang dibangun menggunakan anggaran SBSN di Dusun Cegog, Desa Rancapinang, Kabupaten Pandeglang, Banten, telah roboh. Foto: Yayasan Langit Cerah Indonesia.

“Salah satu dari 12 kandang itu sekitar lebih dari satu bulan lalu roboh. Menurut peternak yang ada di situ, kejadiannya (roboh) sore hari. Untungnya saat itu kerbau-kerbau yang biasa dikandangkan di situ sedang digembalakan,” ujar David Amanda, Direktur Yayasan Langit Cerah Indonesia, 28 Februari 2024.

David mengatakan, material kandang yang terbuat dari besi, memang tidak cocok digunakan di lokasi tersebut. Sebab lokasinya sangat dekat dengan bibir pantai. Saat angin laut bertiup kencang, membawa butiran air laut dan menerpa kandang, besi-besi kerangka kandang menjadi rentan mengalami korosi.

“Kandang-kandang kerbau di Cegog itu sepertinya bisa bertahan paling lama 1 tahun saja. Karena dari yang kita amati, sudah banyak tiang kerangka yang keropos. Para peternak yang menggunakan kandang-kandang itu sekarang menggunakan bambu untuk memperkuat tiang-tiang dan kerangka yang keropos,” ujar David.

David mengungkapkan, terdapat satu kompleks kandang kerbau yang dibangun Balai TNUK di dalam Javan Rhino Study and Conservation Area (JRSCA) di Desa Ujung Kulon. Namun, kondisi kompleks kandang kerbau tersebut tampak terbengkalai, dan hanya satu kandang saja yang terlihat digunakan oleh peternak kerbau.

Salah satu kandang kerbau yang dibangun di dekat JRSCA, di dalam kawasan TNUK. Foto: Yayasan Langit Cerah Indonesia.

“Baru-baru ini kami lihat ada bekas kotoran ternak di kandang itu. Tapi yang kami dengar kandang itu lokasinya terlalu dekat dengan JRSCA, sehingga tidak akan digunakan untuk kandang kerbau. Sebagai gantinya dibuatkan kandang lainnya, yang di Dusun Peuteuy itu,” katanya.

Ancaman penularan penyakit

Menurut hasil riset yang dilakukan Yayasan Auriga Nusantara, setidaknya terdapat sekitar 494 ekor kerbau yang dimiliki warga yang tinggal di 6 desa sekitar kawasan TNUK. Berdasarkan hasil survei, populasi ternak kerbau terbanyak berada di Desa Rancapinang dan Desa Ujung Jaya. Jumlah ternak kerbau di 2 desa tersebut mencapai 58% dari total keseluruhan jumlah ternak kerbau di 6 desa.

Hasil riset menyebut, mayoritas peternak kerbau di Ujung Kulon masih menerapkan cara penggembalaan bebas tanpa kandang. Dari 152 peternak yang diwawancarai, hanya 32 orang yang memelihara kerbau dengan sistem kandang. Itu pun  beberapa di antaranya menggunakan kandang tidak permanen dan berpindah-pindah.

Aktivitas penggembalaan kerbau di dalam kawasan TNUK di setiap desa penyangga, sangat tinggi. Ini disebabkan karena terbatasnya sumber pakan dan lahan penggembalaan di luar kawasan taman nasional. Selain itu, para peternak kerbau juga khawatir ternaknya akan merusak tanaman di sawah dan kebun milik warga lainnya.

“Sehingga menggembalakan kerbau di dalam kawasan taman nasional warga anggap lebih aman,” ujar Riszki Is Hardiyanto, Peneliti Spesies Yayasan Auriga Nusantara, 12 Maret 2024.

Peta sebaran kandang ternak kerbau di sejumlah desa sekitar TNUK. Foto: Yayasan Auriga Nusantara.

Berdasarkan pantauan di lapangan, lanjut Riszki, banyak dijumpai jalur-jalur aktivitas ternak kerbau, penggembalaan, kubangan dan tempat-tempat bermalam kerbau di dalam kawasan TNUK yang berbatasan langsung dengan 6 desa penyangga. Riszki menyebut berbagai aktivitas tersebut terkesan bebas, tidak hanya di batas kawasan, namun masuk jauh ke dalam hingga 5-8 km dari batas kawasan. 

“Keberadaan jalur-jalur lintasan kerbau yang minim pengawasan petugas tersebut juga dipergunakan untuk aktivitas ilegal dalam kawasan lainnya, seperti perambahan hutan dan perburuan satwa,” katanya.

Riszki mengakui, keberadaan ternak kerbau di Ujung Kulon cukup dilematis. Di satu sisi, bagi beberapa warga, ternak kerbau merupakan investasi. Namun di sisi lain ternyata membawa potensi negatif, terutama terhadap badak jawa (Rhinoceros sondaicus). 

Sebab keberadaan kerbau dapat memicu penularan penyakit kepada badak jawa. Beberapa jenis penyakit yang dapat berpotensi menular dari kerbau ke badak jawa adalah Trypanosomiasis dan Antraks

Peta sebaran aktivitas ternak kerbau di Ujung Kulon. Sumber: Yayasan Auriga Nusantara.

Trypanosomiasis sendiri adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit Trypanosoma yang dapat menyerang darah dan organ vital. Penularannya bisa melalui gigitan lalat tabanus atau kontak langsung dengan cairan tubuh hewan yang terinfeksi. 

Lalat tabanus dikenal sebagai vektor mekanis dari penyakit trypanosomiasis, yang disebabkan oleh parasit Trypanosoma evansi. Penyakit ini dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan pada badak, termasuk kelesuan dan kematian jika tidak ditangani dengan baik.

Keberadaan kerbau di dalam habitat badak jawa juga dapat membahayakan keberadaan badak jawa. Hal ini dikarenakan kerbau akan berkubang dan kubangan yang digunakan akan menjadi tempat berkembang biak lalat tabanus, yang merupakan vektor penyakit trypanosomiasis

“Dengan masuknya kerbau ke dalam habitat badak jawa tentu akan semakin membahayakan kelestarian badak jawa di satu-satunya habitat alaminya,” ucap Riszki.

Kematian badak jawa diduga akibat serangan penyakit, sudah menjadi perhatian para peneliti sejak lama. Seperti 2010 lalu, sejumlah peneliti menemukan adanya parasit darah Trypanosoma evansi pada lalat tabanus dalam kematian 3 badak jawa. Trypanosoma, juga ditemukan pada 91 ternak kerbau di desa-desa sekitar TNUK, menurut pemantauan pada 2017. 

Trypanosoma sendiri merupakan momok yang menghantui konservasionis badak sumatera di Malaysia, karena parasit inilah yang diduga menyebabkan kematian 5 badak sumatera dalam rentang 18 hari di captive breeding facility di Selangor, Malaysia, pada Oktober-November 2003 silam.

Mundur ke belakang, kematian badak jawa sebelumnya juga pernah tercatat terjadi pada 28 Desember 1981 hingga 18 Februari 1982 di TNUK--saat itu masih berstatus Cagar Alam Ujung Kulon. Dalam rentang waktu tak lama itu ada lima badak yang mati.

Kematian 5 badak jawa kala itu diyakini tidak wajar. Ada sejumlah spekulasi penyebab kematian 5 badak yang disampaikan beberapa ahli. Salah satunya akibat serangan penyakit, di antaranya Speticaemia Epizooticae (SE), Anthrax, dan Trypanosomiasis (Surra).

Dugaan akibat wabah penyakit tersebut muncul karena beberapa badak yang mati mengalami prolapsus ani dan mencret/diare. Apalagi di saat bersamaan terdapat 4 ekor banteng (Bos javanicus) dan 25 ekor kerbau milik warga yang juga mati dan menunjukkan tanda-tanda serangan penyakit, seperti mulut berbusa dan leher bengkak.

Badak aman kalau ternak kerbau sehat

Kepala Balai TNUK, Ardi Andono, tak menampik keberadaan ternak di dalam kawasan TNUK. Tapi menurutnya, ternak kerbau milik warga tidak berkeliaran di kawasan semenanjung Ujung Kulon, di mana badak jawa berada.

“Semua berada di seksi wilayah II, Sumur, dan lebih banyak di luar kawasan,” kata Ardi, dalam keterangan tertulis, Selasa (11/3/2025).

Ardi menjelaskan, para penggembala ternak kerbau di Ujung Kulon, umumnya mencari pakan dan air, sehingga aktivitas mereka berpindah-pindah sesuai dengan kebutuhannya.  

“Untuk kandang di TNUK, karena padang penggembalaannya sempit, maka mereka (peternak) pindah ke luar kawasan (TNUK), dan itu bagus,” ujar Ardi.

Dilihat dari grafiknya, lanjut Ardi, pertumbuhan ternak kerbau di desa-desa sekitar TNUK semakin lama semakin menurun dan sangat drastis. Sehingga, menurut Ardi, ancaman kerbau terhadap badak jawa tidak terlalu signifikan.

“Yang dilakukan, diupayakan kerbau sehat sehingga menjamin tidak ada penularan (penyakit),” kata Ardi. 

Upaya dimaksud berupa kegiatan Sekolah Lapang Peternak Kerbau yang diselenggarakan Balai TNUK bekerja sama dengan Aliansi Lestari Rimba Terpadu (ALeRT) dan Bank Negara Indonesia. Tujuan kegiatan tersebut, di antaranya meningkatkan pengetahuan dan kapasitas masyarakat dalam mengelola usaha peternakan secara sehat dan berkelanjutan.

Kemudian mengurangi tekanan terhadap keseimbangan ekosistem TNUK serta upaya pelestarian badak jawa, dan meningkatkan kualitas pengelolaan peternakan kerbau yang dikelola oleh masyarakat di Desa Rancapinang dan desa pengembangan.

Selanjutnya, meningkatkan kapasitas masyarakat dalam pemanfaatan limbah ternak kerbau khususnya untuk pemanfaatan sebagai biogas dan bahan organik untuk pertanian berkelanjutan, dan melakukan penyebarluasan pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh dalam kegiatan Sekolah Lapang kepada masyarakat luas.

“Selama ternak sehat, tidak ada ancaman untuk badak,” kata Ardi.

Tak ada komentar yang diberikan Balai TNUK  terhadap aspirasi peternak Ujung Jaya yang menginginkan adanya lahan penggembalaan, tempat berkubang, dan lahan untuk tanam pakan kerbau, di dekat kompleks kandang kerbau di Dusun Peuteuy. Sedangkan untuk kondisi kandang kerbau yang berada di Dusun Cegog, Ardi hanya mengatakan, akan diperbaiki. 

Seperti diketahui, populasi badak jawa di dunia saat ini hanya tersisa di Ujung Kulon, yang sejak 2014 lalu telah ditetapkan sebagai Taman Nasional Ujung Kulon berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: SK.3658/Menhut-VII/KUH/2014 tertanggal 5 Mei 2014. 

Peta kawasan Taman Nasional Ujung Kulon. Sumber: Website Taman Nasional Ujung Kulon.

Taman nasional ini secara keseluruhan luasnya mencapai 105.694,46 hektare, berada di Kabupaten Pandeglang, Banten. Dari total kawasan TNUK ini, luas daratan hanya sekitar 61.357,46 hektare, sedangkan 44.337 hektare sisanya berupa perairan.

Kawasan TNUK terbagi menjadi tiga seksi pengelolaan, yakni Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah I Panaitan seluas 30.119,67 hektare, yang mencakup sejumlah pulau di sekitar semenanjung Ujung Kulon, SPTN Wilayah II seluas 60.160,36 hektare yang mencakup wilayah daratan semenanjung Ujung Kulon di mana badak jawa berada, dan SPTN Wilayah III Sumur seluas 15.414,16 hektare, yang mencakup wilayah Gunung Honje dan sekitarnya.

Terdapat setidaknya 6 desa yang berbatasan langsung dengan kawasan TNUK, dan seluruhnya berada di SPTN Wilayah III Sumur. Desa-desa tersebut yakni Desa Tunggal Jaya, Taman Jaya, Ujung Jaya yang berada di Kecamatan Sumur. Desa lainnya yaitu Kramat Jaya, Cibadak, dan Rancapinang.

SHARE