Teluk Manado Pascareklamasi Tak Akan Sama Lagi, Ini Kajiannya

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Ekologi

Minggu, 09 Maret 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Dampak reklamasi di Teluk Manado, Sulawesi Utara (Sulut), yang berlokasi di sepanjang pesisir pantai Kelurahan Maasing hingga Tumumpa, tak hanya terbatas pada perekonomian dan keberlanjutan nelayan yang hidup di wilayah pesisir saja. Dalam konteks ekologi, reklamasi tersebut juga akan berdampak terhadap keberlanjutan terumbu karang serta biota lainnya yang hidup di wilayah perairan laut.

Hal tersebut berdasarkan hasil kajian Manado Scientific Exploration (MSET) dalam judul Laporan Khusus tentang Isu Rencana Penciptaan Lahan di Pesisir Utara Teluk Manado. Sejak 2019, MSET telah melakukan kegiatan eksplorasi kondisi oseanografi dan terumbu karang di sepanjang wilayah pantai Teluk Manado, termasuk tepian kawasan pantai yang sudah direklamasi.

Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi Manado sekaligus Koordinator MSET, Rignolda Jamaluddin, mengatakan, reklamasi Telok Manado sangat kontroversial karena beberapa faktor, yakni areal reklamasi merupakan wilayah pantai tersisa di Teluk Manado, dan areal reklamasi berbatasan sangat dekat dengan kawasan konservasi Taman Nasional Bunaken.

Selain itu kawasan reklamasi mencakup wilayah yang luas (sekitar 90 hektare), sepanjang kawasan reklamasi terdapat masyarakat nelayan dan pesisir yang memiliki karakteristik budaya bahari yang kental dan ketergantungan ekonomi pada sumber daya pantai.

Aksi penolakan reklamasi Teluk Manado. Foto: Asosiasi Nelayan Tradisional Sulawesi (ANTRA).

“Pantai di kawasan reklamasi memiliki ciri fisik, biologis, dan ekologis yang spesifik, sebagian wilayah pemukiman dekat pantai di kawasan reklamasi merupakan wilayah potensial terdampak bencana banjir,” kata Rignolda dalam keterangan tertulis, Rabu (5/3/2025).

Hasil pengamatan MSET, sambung Rignolda, menunjukkan bahwa karang yang ditemukan adalah karang dengan bentuk pertumbuhan massive. Karang ini ditemukan pada hari kedua di samping jetty kelurahan Tumumpa yang terdapat di kedalaman 1 meter saat surut terendah, dengan tipe substrat dasar perairan berpasir.

Karang tersebut merupakan salah satu yang mudah ditemukan, bentuknya seperti bongkahan batu dan memiliki permukaan berongga. Jarak antara titik awal snorkling hingga sampai ke lokasi karang berjarak 50 meter.

“Substrat dasar perairan di sekitar lokasi pengambilan data adalah berpasir. Organisme yang ditemukan selain karang berupa moluska, alga, dan ikan karang,” ujar Rignolda.

Rignolda menguraikan, dalam konteks ekologis, kawasan pantai Manado Bagian Utara tersebut merupakan tempat hidup terakhir spesies-spesies ikan pantai atau ikan neritik Teluk Manado yang sebelumnya banyak ditemukan di sepanjang pantai berpasir perairan dangkal, antara muara Sungai Malalayang hingga muara Sungai Tondano, yang telah diubah menjadi daratan.

“Bahkan, terdapat alat tangkap tradisional soma dampar atau jaring tarik pantai yang masih beroperasi di wilayah pantai Manado Utara menjadi bukti keberadaan spesies-spesies ikan tersebut,” ujarnya.

Menurut Rignolda, di perairan pantai Manado Bagian Utara tersebut juga terdapat larva, post-larva, dan juvenile ikan nike (Gobiidae) yang bersifat amfidromus dapat berada di pantai ini sebelum masuk ke Sungai Tondano. Hal tersebut karena karakteristik perairan campuran antara air laut dan air tawar menjadikan pantai ini sangat unik.

Sedangkan dalam konteks oseanografi, imbuhnya,pantai ini merupakan tipe pantai konstruksional (sedimented coast). Jika pantai ini hilang akibat ditimbun, maka sedimen yang berasal dari dua mulut sungai besar (Sungai Tondano dan Sungai Bailang) akan menjauh ke arah laut.

“Pada situasi selanjutnya, dampak terhadap wilayah sekitar terutama kawasan konservasi Taman Nasional Bunaken menjadi hal yang tidak terelakkan Sehingga pantai ini berperan sangat penting terkait sistem hidrologi di wilayah pesisir setempat,” kata Rignolda.

Rignolda menuturkan, sejak pembangunan Jl. Boulevard II, fungsi ini telah jauh berkurang sehingga kawasan pemukiman yang rendah menjadi mudah tergenang air saat hujan. Kehadiran konstruksi lahan reklamasi akan memperburuk fungsi hidrologi yang akan berakibat potensi banjir yang lebih serius.

“Jika pun dibuat jarak antara batas jalan dan tanah timbunan lahan reklamasi tidak akan signifikan mengurangi gangguan hidrologi yang akan terjadi,” katanya.

Dalam konteks sosial, masih kata Rignolda, perairan laut dan pesisir pantai Manado Utara merupakan hunian komunitas bahari Orang Manarou atau Suku Babontehu dengan kesatuan adat-istiadatnya, dan tercatat dalam literatur sebagai suku pertama penutur Bahasa Melayu Manado. Selain komunitas tersebut, juga terdapat komunitas lokal masyarakat pesisir lainnya yang menghuni, mengelola dan memanfaatkan kesatuan ekosistem darat dan laut yang ada di pesisir Teluk Manado dan Manado Utara.

Hasil kajian MSET ini mendapat respons baik dari masyarakat. Masyarakat bahkan memvalidasi hasil kajian MSET dan menambahkan bahwa di lokasi tersebut merupakan ruang tangkap nelayan tradisional dan ruang yang akan direklamasi tersebut adalah sumber utama pendapatan nelayan tradisional.

“Di laut kelurahan kami tersebut terdapat berbagai jenis ikan yang menjadi tangkapan utama kami. Itu menandakan kalau di perairan laut kelurahan kami tersebut masih ada terumbu karang yang hidup,” ucap Roy Runruwene, yang berprofesi sebagai nelayan tradisional.

SHARE