Perubahan Bentang Alam Jadi Sebab Banjir Jabodetabek
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Krisis Iklim
Jumat, 07 Maret 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Greenpeace mendesak pemerintah daerah di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) serta pemerintah pusat fokus pada upaya mitigasi dan adaptasi iklim di tengah tingginya frekuensi cuaca ekstrem akibat dampak krisis iklim.
Greenpeace Indonesia menganggap, perubahan fungsi lahan yang serampangan serta lambatnya respons pemerintah daerah atas peringatan dini cuaca ekstrem menjadi penyebab utama bencana banjir yang merendam wilayah Jabodetabek yang beberapa hari ini berdampak luas pada masyarakat.
Bencana banjir di awal Ramadan ini telah memakan banyak korban. Salah satunya di wilayah Bekasi di mana banjir merendam 20 titik di 7 kecamatan di Kota Bekasi. Perubahan bentang alam yang drastis di daerah aliran sungai (DAS) Kali Bekasi menjadi salah satu penyebab parahnya banjir di Bekasi.
Data Kementerian Kehutanan menunjukkan, area terbangun di 2022 mencakup 42 persen dari total luas DAS Kali Bekasi, yang melalui daerah-daerah seperti Cibinong, Gunung Putri, Cileungsi, dan Sentul, serta kediaman Presiden Prabowo Subianto di Hambalang, Kabupaten Bogor. Jumlah ini meningkat drastis dari 5,1 persen area terbangun di 1990.

Senior Data Strategist Greenpeace Indonesia, Sapta Ananda Proklamasi, mengatakan perubahan fungsi lahan ini mengurangi kemampuan penyerapan air, sehingga limpasan air ke sungai menjadi sangat besar melebihi kapasitasnya dan mengakibatkan sungai meluap ke daerah permukiman di Bekasi yang berada di lokasi yang lebih rendah.
“Kini, lahan hutan di wilayah DAS Kali Bekasi hanya tersisa sekitar 1.700 hektare atau kurang dari 2 persen luas wilayah DAS,” ujar Sapta, dalam keterangan tertulis, Kamis (6/3/2025).
Citra satelit DAS Kali Bekasi pada 2024. Sumber: Greenpeace Indonesia.
Citra satelit DAS Kali Bekasi pada 1990. Sumber: Greenpeace Indonesia.
Juru Kampanye Sosial dan Ekonomi Greenpeace Indonesia Jeanny Sirait menganggap, eksploitasi alam dan pembangunan yang serampangan di wilayah DAS Kali Bekasi seharusnya bisa dicegah jika pemerintah daerah melakukan pembatasan izin yang berdampak pada eksploitasi lingkungan di kawasan tersebut. Selain itu, ia juga menilai pemerintah daerah juga perlu lebih sigap merespons peringatan cuaca dini yang diberikan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sebagai upaya mitigasi bencana.
Jeanny menambahkan, Jabodetabek, layaknya Indonesia, kini berada di garis depan krisis iklim. Peringatan dini dari BMKG seharusnya menjadi sinyal bagi pemerintah daerah untuk melakukan respons cepat mitigasi bencana, terutama di tengah peningkatan frekuensi cuaca ekstrem akibat krisis iklim seperti saat ini.
“Dengan begitu, pemerintah daerah bisa meminimalisasi jumlah korban, dampak sosial dan kerugian ekonomi yang harus ditanggung warga,” ujarnya.
Jeanny mendorong pemerintah daerah di wilayah Jabodetabek untuk meningkatkan upaya mitigasi dan adaptasi krisis iklim dibanding mengeluarkan solusi palsu seperti modifikasi cuaca yang hanya akan bertahan sementara. Menurutnya, pemerintah daerah seharusnya fokus untuk merancang kota yang tahan iklim, serta mempersiapkan warga dalam menghadapi dampak krisis iklim.
Pemerintah daerah, imbuhnya, juga harus memastikan upaya mitigasi dan adaptasi dampak krisis iklim dapat dilakukan oleh masyarakat dengan dukungan penuh negara, terutama bagi komunitas terdampak seperti rakyat miskin kota, masyarakat di wilayah pedesaan, warga pesisir dan pulau-pulau kecil.
“Hal ini bukan hanya akan meningkatkan ketahanan daerah dalam menghadapi krisis iklim, namun juga mengembangkan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat” tutur Jeanny.
Upaya adaptasi dan mitigasi dapat dilakukan melalui pengelolaan DAS terpadu, restorasi kawasan hutan di hulu, memperbanyak sumur resapan dan biopori, memperluas kawasan ruang terbuka hijau (RTH) sebagai resapan air hujan sekaligus mengurangi polusi udara.
Kemudian memberdayakan masyarakat dalam upaya mengelola daerahnya, melakukan pembatasan terhadap izin usaha yang mengeksploitasi lingkungan serta memastikan pengendalian alih fungsi lahan yang tidak mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan.
Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Bondan Andriyanu menambahkan, pemerintah pusat pun perlu mengambil langkah untuk memitigasi krisis iklim yang lebih parah. Bondan berpendapat, krisis iklim akan semakin memperparah bencana hidrometeorologi seperti banjir. Untuk itu pemerintahan Prabowo-Gibran harus membuat terobosan kebijakan jika ingin melindungi warganya dari bencana iklim.
“Mengatasi penyebab utama krisis iklim harus menjadi prioritas utama dalam penyusunan kebijakan energi dan pembangunan, khususnya dengan meninggalkan energi fosil sepenuhnya.” kata Bondan.
SHARE