Restorasi Dusun Sagu ala Kampung Sereh
Penulis : Muhammad Ikbal Asra
Konservasi
Selasa, 28 Januari 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Enam tahun lalu, pada 16 Maret 2019, Kota Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, dihantam bencana yang menghancurkan segala yang ada di jalurnya. Banjir bandang yang terjadi pada hari itu tercatat sebagai yang terbesar dalam sejarah di Kabupaten Jayapura.
Pemicunya adalah intensitas hujan yang turun sangat deras, mencapai 50,5 mm per jam, memicu longsoran tanah di sekitar Gunung Cycloop, yang kemudian memutuskan aliran sungai dan menciptakan bendungan alami. Ketika bendungan ini pecah, air yang mengalir deras membawa material longsoran, seperti kayu, batu, dan lumpur, menerjang kawasan permukiman di bawahnya.
Bencana ini menelan korban yang sangat besar.
Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sedikitnya 77 orang tewas, 74 orang mengalami luka-luka, sementara lebih dari 4.200 warga terpaksa mengungsi. Lebih dari 11.700 kepala keluarga terdampak oleh banjir bandang yang menghancurkan rumah, jalan, dan fasilitas publik. Tak hanya itu, bencana ini juga menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar, memaksa masyarakat dan pemerintah setempat untuk bekerja keras membangun kembali kehidupan mereka pasca bencana.
![](https://cdn.betahita.id/9/4/8/4/9484_840x576.jpg)
Jemmy Ondikeleuw, 39 tahun, masih mengingat jelas malam kelam ketika itu, saat banjir bandang ikut menerjang kampungnya, Kampung Sereh. "Malam itu hujan deras, petir menyambar, dan gemuruh air begitu mengerikan. Kami benar-benar panik," kenangnya.
Bersama para pemuda Kampung Sereh, dia berlari melawan derasnya hujan dan banjir yang mulai menggenangi badan jalan. Jalanan gelap, licin, dan sebagian sudah terputus oleh derasnya arus air. "Kami kesulitan mengevakuasi warga dari rumah-rumah yang terkena dampak langsung. Segalanya terjadi begitu cepat," ujar Jemmy.
Pada malam mencekam itu, Jemmy Ondikeleuw dan para pemuda Kampung Sereh bahu-membahu mencoba mengalihkan arus banjir bandang ke arah hutan dan dusun sagu. "Sepintas kami berpikir, hutan sagu adalah benteng alami bagi warga. Pohon sagu yang padat dan kondisi tanah rawa pasti mampu menahan laju arus banjir bandang," tutur Jemmy.
Ternyata perkiraan mereka terbukti, Dusun Sagu benar-benar menjadi pelindung alami yang meredam derasnya arus banjir. Ketika itulah, Jemmy mendapat pencerahan: dusun sagu harus dilestarikan, karena ternyata memberi banyak manfaat bagi kampungnya, lebih dari yang telah diketahui.
Dusun Sagu Ebha Hekhe di Kampung Sereh Jayapura, Papua
Pasca banjir bandang 2019, masyarakat Kampung Sereh mulai merawat dan menanam kembali pohon sagu di Ebha Hekhe. Jemmy Ondikeleuw menjadi salah satu penggerak ekowisata dusun sagu yang diberi nama Dusun Sagu Ebha Hekhe itu. Ia juga mendirikan sebuah komunitas bernama Sanggar Seni Robonghollo. Melalui wadah ini ia merangkul pemuda di wilayahnya untuk bersama-sama menjaga dusun sagu.
"Tempat hari ini kita berdiri sebelumnya tidak sekeras ini. Ini (Dusun Sagu Ebha Hekhe) dulunya lumpur setinggi lutut orang dewasa. Dampak dari banjir 2019, lokasi ini dipenuhi dengan sedimen pasir," ungkapnya.
Sejak Februari 2023, Dusun Sagu Ebha Hekhe seluas 10 hektare dikonsepkan sebagai kawasan ekowisata. Dengan kekayaan 7 jenis sagu berbeda, dusun sagu yang dimaksud tidak hanya menjadi tempat pelestarian alam tetapi juga pusat edukasi bagi masyarakat luas. Hingga saat ini, lebih dari 2.000 orang telah mengunjungi dusun ini untuk belajar, berwisata, dan mengadakan berbagai kegiatan.
Menurut kearifan lokal masyarakat Sentani, Dusun sagu bukan hanya lumbung pangan, tetapi juga benteng pertahanan alami yang berfungsi sebagai benteng mitigasi bencana, sumber air, pengatur suhu, dan penyeimbang iklim.
Upaya ini membawa dampak positif, mendorong dusun-dusun lain dan kampung sekitar untuk turut serta dalam Gerakan Restorasi Sagu yang digalakkan komunitas Sanggar Seni Robonghollo sejak 2023 hingga kini.
Sagu menjadi perhatian utama Sanggar Seni Robonghollo sebab sagu bukan sekadar tanaman, tetapi warisan budaya yang memiliki nilai khusus di Tanah Papua. Papua sendiri menjadi rumah bagi sekitar 30 varietas sagu, menjadikannya pusat ekosistem sagu terbesar di dunia, dengan luas mencapai 50 juta hektare. Namun, atas nama pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, luasan dan populasi sagu terus menurun. Inilah yang mendorong Sanggar Seni Robonghollo menggalakkan semangat Restorasi Sagu untuk menanam kembali pohon sagu di setiap kampung untuk menjaga warisan budaya sekaligus keberlanjutan lingkungan.
Sebagai bagian dari upaya menyuarakan pentingnya pelestarian sagu, Masyarakat Kampung Sereh menggelar Pagelaran Seni Budaya 'Simponi Alam dan Budaya' pada Rabu 22 Januari 2025. Pagelaran diinisiasi Sanggar Seni Robonghollo yang didukung WWF Indonesia Program Papua, VCA Tanah Papua, Pemerintah Kabupaten Jayapura dan PT. Air Minum Jayapura Robongholo Nanwani. Kegiatan tersebut digelar di Dusun Sagu Ebha Hekhe Kampung Sereh, Distrik Sentani Kota, Kabupaten Jayapura.
Rangkaian Pagelaran Seni Budaya menampilkan tari-tarian tradisional, stand up comedy, talk show, pantomim, launching anak muda peduli iklim dan berbagai pertunjukan seni lainnya. Tak hanya itu, pagelaran seni juga dimeriahkan oleh rapper papua Epo D’Fenomeno dan Music Anak Coment. Warga yang menyaksikan bukan hanya dari Kabupaten Jayapura ada juga yang datang dari Kota Jayapura.
Suasana terasa semakin semarak dengan banyaknya pertunjukan yang berlangsung. Beberapa warga kampung Sereh turut membuka lapaknya ada yang jualan kopi pinang hingga kerajinan tangan lainnya. Momentum ini juga disuguhi 47 pajangan foto dari komunitas fotografer Yauw Enggo. Foto-foto tersebut menampilkan empat kategori, yaitu lanskap, potret, human interest, dan budaya, yang menggambarkan keindahan alam serta kekayaan budaya setempat.
Jemmy mengemukakan, pagelaran seni budaya baru kali pertama ini diadakan di dusun sagu, dimaksudkan sebagai respons terhadap kekhawatiran akan semakin hilangnya eksistensi dusun sagu yang hari demi hari semakin habis. "Saat ini, banyak hutan sagu yang ditebang dan dimanfaatkan tanpa disertai upaya untuk menanam kembali. Bahkan, sering kali hutan sagu digusur atas nama pembangunan. Inilah yang mendorong kami untuk menyuarakan pentingnya penyelamatan sagu agar pesan ini dapat tersampaikan kepada masyarakat luas, terutama generasi mendatang. Namun, yang terpenting adalah agar isu ini sampai ke telinga para pengambil kebijakan," kata Jemmy.
Pria lulusan Teknik Mineral Universitas Cenderawasih, Papua, ini juga menekankan bahwa sagu bukan hanya tanaman biasa, tetapi juga memiliki nilai budaya yang sakral dan dihormati di Tanah Papua. Oleh karena itu, diperlukan perlakuan khusus terhadap tanaman ini. "Paling tidak harus ada kebijakan khusus untuk melindungi area hutan sagu. Pagelaran ini merupakan puncak kampanye kami untuk mengangkat isu lingkungan, termasuk penyelamatan hutan sagu. Sebab, jika hutan sagu hilang, nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya juga akan ikut lenyap," katanya.
Menurut Jemmy lagi, orang Papua mempunyai budaya Satu Sempe ketika makan papeda. Ketika makan dalam satu sempe secara berkelompok itu terbangun komunikasi: dari orangtua kepada anak, hinga tua-tua adat kepada generasi berikutnya. "Pada saat totok sagu juga terbangun gotong royong dan di sana juga terbangun komunikasi. Nah, ketika dusun sagu itu hilang maka yang akan hilang adalah gotong royong, kekeluargaan, dan cerita-cerita lisan. Itu mengapa kami konsistensi menyuarakan penyelamatan hutan sagu," kata dia lagi.
Ihwal ia dan kelompoknya mendampingkan sagu dan seni budaya, kata Jemmy, karena "Kami ingin menunjukkan satu warna yang berbeda dari sagu. Karena orang berbicara sagu paling ujung-ujungnya bikin papeda atau sagu bakar ataupun ulat sagu. Sedangkan hari ini sagu sudah dikelola berbagai macam hal seperti beras, tepung, mie, gula dan es krim," ujarnya, Tapi, sagu juga, kata Jemmy, bisa dijadikan objek wisata untuk orang berwisata dan media untuk belajar. “Entah itu mau belajar tentang tanaman sagu maupun habitat di dalamnya,” katanya.
Menurutnya, orang Papua itu hidup dan besar berdampingan dengan alam. Dusun sagu adalah kehidupan masyarakat Papua itu sendiri, karena “Orang Papua butuh air, ada di dalam sagu. Mau buru hewan apa itu juga ada dalam hutan sagu. Jadi orang Papua itu sangat melekat dengan sagu. Selain itu juga orang Papua punya supermarket itu hanya di hutan," ujarnya lagi.
Untuk itu, Jemmy berharap, generasi muda Papua ikut bersama-sama mengkampanyekan perlindungan hutan sagu. Ia meyakini generasi muda dapat mendorong perubahan kebijakan yang lebih berpihak pada pelestarian lingkungan. Dengan suara dan aksi kolektif, mereka dapat mendesak pemerintah untuk mengambil langkah konkret. “Sebab, masa depan lingkungan berada di tangan mereka yang berani bertindak hari ini," kata dia.
Dusun Sagu Ebha Hekhe di Kampung Sereh Jayapura, Papua
SHARE