Revisi Kilat UU Minerba, Masyarakat Sipil: DPR Makin Parah
Penulis : Kennial Laia dan Aryo Bhawono
Tambang
Selasa, 21 Januari 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Langkah Badan Legislasi DPR yang menggelar rapat pleno untuk merevisi kembali undang-undang mineral dan batu bara (Minerba) mendapat kritik dari akademisi dan organisasi masyarakat sipil. Rapat ini digelar secara tertutup pada Senin, 20 Januari 2025, dan berlangsung pada masa reses.
Perubahan ketiga pada UU Minerba ini rencananya akan memuat pasal yang mengatur pemberian izin usaha pertambangan kepada ormas maupun perguruan tinggi. Adapun izin tambang untuk ormas, termasuk keagamaan, telah dibahas sejak 2024. Pemerintah juga telah mengeluarkan peraturan untuk mengakomodir hal tersebut.
Zainal Arifin dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengatakan rapat tersebut melanggar UU tentang MPR, DPR, DPRD, DPD (UU MD3). Masa reses seharusnya digunakan para legislator untuk kunjungan kerja untuk mendengarkan aspirasi konstituten.
Pemberian izin tambang kepada ormas dan perguruan tinggi juga bertentangan dengan komitmen pemerintah untuk transisi energi yang berkeadilan. “Di satu sisi pemerintah mendengungkan transisi energi. Di sisi lain, pemberian tambang batu bara dan mineral lainnya kepada ormas terus dilakukan. Ini menegaskan watak rezim melanjutkan ekstrativisme dan perusakan lingkungan yang luas,” kata Zainal dalam konferensi pers jaringan masyarakat sipil, Senin, 20 Januari 2025.
Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Aryanto Nugroho mengatakan, proses penyusunan RUU ini sangat kilat dan tidak transparan. Aryanto mencatat, kemunculannya tiba-tiba dan dan tidak muncul dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2025.
“Jika ini diteruskan, bisa dikatakan lebih ugal-ugalan dari DPR periode sebelumnya. Apalagi, agenda yang muncul di publik, Baleg menargetkan, Rapat Penyusunan, Rapat Panitia Kerja (Panja), dan Pengambilan Keputusan Penyusunan RUU Minerba akan ditargetkan dalam satu hari saja,” katanya.
”Jika kita memperhatikan jalannya Rapat Baleg pagi ini, sejumlah anggota Baleg bahkan mengakui baru dapat Naskah Akademis (NA) 30 menit sebelum rapat. Seolah-olah ada upaya memaksakan agar segera dilakukan Revisi UU Minerba. Pertanyaannya Revisi UU Minerba yang kilat ini untuk siapa?”
Pemberian izin ini dinilai juga akan berdampak pada lingkungan di daerah. Menurut Dinamisator Jatam Kaltim, Mareta Sari, mengatakan: “Kita bisa meyakini ini akan memberikan daya rusak yang luar biasa, karena revisi ini akan menjadi katalisator yang mempercepat penghancuran, seperti Kalsel dan Kaltim.”
Selain berpotensinmenambah pembukaan area tambang batu bara dan mineral seperti nikel dan bauksit, Mareta mengatakan aturan ini berpotensi menciptakan konflik horizontal baru. Masyarakat yang terdampak, misalnya, tidak lagi berhadapan dengan perusahaan besar, tetapi juga badan usaha milik ormas dan kampus. “Konflik bisa terjadi, yang diiringi dengan penggusuran dan perampasan lahan,” ujarnya.
Masduki, anggota Kaukus Akademisi untuk Kebebasan Akademik (KIKA) mengatakan pelibatan kampus dalam bisnis tambang merupakan sesat pikir. “Ini sesat pikir dari para politisi. Jadi semua ingin ditransaksikan, terutama di sektor sumber daya alam. Justru kelompok dan insittusi yang harusnya ditempatkan sebagai penyeimbang.
“Jika tambang itu mengalami efek kerusakan luar biasa, maka (akademisi) tidak akan mampu melakukan kritik. Bahkan dia bisa menjadi bagian yang terus mengglorifikasi kerusakan itu. Lalu kemana lagi masyarakan mendapatkan moral standard terhadap masalah yang muncul dari pertambangan?” kata Masduki.
Masduki mengatakan, keterlibatan dalam mengelola bisnis pertambangan juga akan mengancam otonomi atau kebebasan akademik di perguruan tinggi. Di antaranya dalam melakukan kegiatan kritik sosial, eksaminasi akademiki, riset, pengajaran, dan memberikan pandangan publik. Dus, kewenangan mengelola tambang akan menciptakan konflik kepentingan, kata Masduki.
Dia menyebut tawaran IUP bagi perguruan tinggi ini sebagai bentuk represi baru dalam dunia pendidikan. “Jadi otonomi akademisi akan terganggu. Tidak seperti zaman dulu, ketika guru besar dihambat pekerjaannya atau dipenjara, itu model lama. Model baru itu para dosen dan guru besar diberi pekerjaan dan kesibukan. Kampus diberi proyek, contohnya dengan pertambangan ini,” kata dosen di Departemen Komunikasi Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta ini.
“Orang-orang kampus harus berhati-hati terhadap tawaran ini… Ini kerja sistematik dan represi terhadap kebebasan akademisi. Perguruan tinggi negeri dan swasta harus menolak tawaran ini,” katanya.
Pasal-pasal bermasalah
Aryanto mengungkapkan sejumlah pasal yang diusulkan dalam penyusunan RUU ini sangat bermasalah, diantaranya:
- Pasal 51 ayat (1) dimana Wilayah Usaha Pertamnangan (WIUP) Mineral logam diberikan kepada Badan Usaha, koperasi, atau Perusahaan perseorangan dengan cara Lelang atau dengan cara pemberian prioritas.
- Pasal 51A ayat (1) WIUP Mineral logam dapat diberikan kepada perguruan tinggi dengan cara prioritas.
- Pasal 51B ayat (1) WIUP Mineral logam dalam rangka hilirisasi dapat diberikan kepada badan usaha swasta dengan cara prioritas.
- Pasal 75 ayat (2) Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah, badan usaha swasta atau badan usaha yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan keagamaan.
“Kami menduga, Penyusunan Rancangan UU Minerba untuk memuluskan upaya mekanisme pemberian izin untuk badan usaha milik Ormas. Ditambah pula dengan Badan Usaha milik Perguruan Tinggi (PT) dan UMKM — menggunakan banyak kalimat - atau diberikan secara Prioritas” jelasnya.
Aryanto menyebut hal ini sebagai bentuk lain “jor-joran” izin tambang yang membahayakan keberlanjutan lingkungan, baik di batubara maupun mineral. Misalnya, dalam konteks pemberian WIUP secara prioritas kepada perguruan tinggi (PT).
"Seharusnya perguruan tinggi fokus pada penyiapan SDM, pengetahuan, dan kapasitas yang mendukung hilirisasi industri pertambangan yang mendukung percepatan transisi energi. Dalam konteks hilirisasi, perguruan tinggi bisa bermain peran dalam mendukung adanya transfer pengetahuan dari investor, membuat lab-lab yang mendukung industri, dan menghasilkan banyak paten. Bukan malah membuat badan usaha milik PT," katanya.
Sebelumnya Baleg menggelar rapat pleno usulan perubahan ketiga revisi UU No No 4 Tahun 2009 Tentang Minerba pada Jumat pagi (21/1/2025). Sepanjang hari, hingga mendekati tengah malam mereka kemudian menyetujui perubahan keempat revisi UU Minerba menjadi usul inisiatif DPR.
Rapat kilat dan maraton ini dilakukan tanpa usulan dari Komisi XII yang membawahi isu minerba. Anggota Komisi XII dari Fraksi PAN, Edi Suparno mengaku tak tahu menahu mengenai usulan ini. Namun informasi yang dia dapatkan menyebutkan bahwa revisi ini digulirkan menyangkut pasal pemberian Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) untuk ormas.
“Saya tidak tahu banyak tetapi informasinya untuk menyeleraskan dengan pemberian IUPK untuk ormas,” ucap dia melalui telepon.
Sedangkan Wakil Ketua Komisi IV dari Fraksi Partai Nasdem, Sugeng Suparwoto, mengaku dirinya pun tak mengetahui apapun mengenai revisi ini.
SHARE