Bank Harus Diharamkan Biayai Perusakan Hutan: COP 16 CBD
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Biodiversitas
Senin, 28 Oktober 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Bank-bank besar dunia telah menggelontorkan lebih dari USD395 miliar dalam bentuk kredit pada sektor-sektor yang mendorong deforestasi dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di hutan-hutan tropis sejak diadopsinya Perjanjian Paris. Sebanyak USD77 miliar di antaranya dalam bentuk kredit hanya dalam kurun waktu analisis terbaru (Januari 2023-Juni 2024). Demikian menurut laporan berjudul Regulating Finance for Biodiversity, yang dirilis Koalisi Forests & Finance.
Analisis juga mengungkapkan bahwa pemerintahan di dunia tidak berbuat banyak untuk membendung hal ini, meskipun Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global atau Global Biodiversity Framework (GBF) telah diadopsi sejak hampir dua tahun lalu. Temuan ini menegaskan kebutuhan mendesak akan langkah regulasi yang kuat untuk menyelaraskan praktik keuangan dengan tujuan keanekaragaman hayati global.
“Pemerintah abai, sementara bank-bank dunia terus mendanai perusakan hutan dan pelanggaran HAM tanpa batasan atau konsekuensi apa pun,” ujar Tom Picken, Direktur Kampanye Forests & Finance bersama Rainforest Action Network (RAN).
Picken menambahkan, penyelenggaraan Convention on Biological Diversity (CBD) COP16--selanjutnya disebut COP16 CBD--merupakan saat yang tepat untuk melakukan tindakan transformatif. Kesenjangan keuangan sesungguhnya dalam konservasi adalah kesenjangan dalam regulasi untuk menghentikan bank dan investor yang secara sadar membiayai krisis keanekaragaman hayati.
Laporan tahunan kedua berjudul Banking on Biodiversity Collapse memuat analisis paling menyeluruh tentang peran keuangan global dalam memperparah perusakan hutan tropis. Laporan ini meneliti berbagai bank dan investor yang menyediakan pembiayaan bagi 300 perusahaan yang beroperasi di enam sektor komoditas yang merisikokan hutan--ternak sapi, minyak sawit, pulp dan kertas, karet, kedelai, dan kayu--dan bertanggung jawab atas sebagian besar deforestasi tropis, hilangnya keanekaragaman hayati, dan pelanggaran HAM di Asia Tenggara, Amerika Latin, serta Afrika Tengah dan Barat.
Laporan tersebut dirilis bersamaan dengan laporan kedua yang berjudul Regulating Finance for Biodiversity, keduanya sama-sama menunjukkan bahwa sebagian besar pembiayaan berasal dari Brasil, Tiongkok, Indonesia, Uni Eropa, dan AS, dan bahwa penguatan regulasi keuangan di kelima negara dan wilayah ini akan memberikan dampak krusial terhadap masalah tersebut.
Selain itu, diperlukan adanya regulasi pemerintah karena inisiatif perbankan sukarela terbukti gagal mengingat lebih dari setengah dari 30 bank terbesar yang merisikokan hutan merupakan anggota dari setidaknya satu inisiatif keberlanjutan, seperti Prinsip Perbankan yang Bertanggung Jawab, Aliansi Perbankan Net-Zero, dan Gugus Tugas Pengungkapan Keuangan Terkait Alam atau Taskforce on Nature-related Financial Disclosures (TNFD).
Yang mengkhawatirkan, TNFD mempromosikan diri di COP16 CBD sebagai solusi bagi krisis keanekaragaman hayati, padahal gugus tugas ini tidak selaras dengan target GBF 2030. TNFD memungkinkan perusahaan untuk memilih dan memilah aspek keanekaragaman hayati yang mereka laporkan. Gugus tugas ini juga dikembangkan oleh sejumlah bisnis yang justru memicu kerusakan ekologis.
Koordinator Program Kehutanan Milieudefensie, Danielle van Oijen, mengatakan hampir setengah dari 40 perusahaan yang tergabung dalam badan pengambil keputusan TNFD memiliki keterkaitan dengan masalah lingkungan hidup dan HAM yang serius, termasuk beberapa perusahaan yang mendapatkan pengaduan berdasarkan mekanisme OECD, menjadi subjek kasus hukum, tercantum dalam daftar pengecualian investor, atau telah membayar jutaan dolar terkait pelanggaran lingkungan hidup.
“Pengambilalihan CBD oleh perusahaan-perusahaan TNFD harus dihentikan sekarang juga dengan menghapus segala referensi ke TNFD dari teks,” katanya.
Ketika kebakaran hutan dahsyat yang dipicu oleh kekeringan melanda hutan hujan Amazon pada salah satu musim kebakaran paling parah yang pernah tercatat, laporan Banking on Biodiversity Collapse mengulas secara terperinci bagaimana JBS, perusahaan pengolahan daging terbesar di dunia, telah memicu kehancuran lahan adat di Amazon, dengan dukungan kredit senilai USD1,1 miliar yang diperolehnya dari berbagai lembaga keuangan besar.
Meskipun berkomitmen terhadap praktik etis, JBS masih terus melanggengkan deforestasi dan pelanggaran HAM. Alih-alih meminta pertanggungjawaban, perusahaan seperti JBS--yang bertanggung jawab atas perusakan hutan dan pelanggaran HAM--malah diberi imbalan jutaan dolar dalam bentuk pembiayaan.
“Tata kelola rantai pasok komoditas masih sangat rapuh. Tanpa adanya perubahan, pelanggaran hak dan perusakan bioma akan terus terjadi,” kata Marcel Gomes, Sekretaris Eksekutif Repórter Brasil.
Pemimpin Kampanye Bank dan Alam BankTrack, Ola Janus, menuturkan meskipun turut andil dalam berbagai inisiatif perbankan sukarela terkait alam dan keanekaragaman hayati, bank-bank komersial terus saja membiayai berbagai perusahaan yang secara aktif merusak kehidupan di Bumi. Inisiatif sukarela tidak akan mampu mendorong perubahan transformatif yang diperlukan untuk menghentikan hilangnya keanekaragaman hayati dan mengembalikannya ke kondisi semula pada 2030.
"Kita memerlukan regulasi yang mewajibkan bank untuk berhenti membiayai deforestasi,” ujar Janus.
Jeff Conant, Manajer Senior Program Hutan Internasional Friends of the Earth AS, berpendapat, para pembuat kebijakan harus menegakkan regulasi keuangan yang lebih ketat, yang memastikan bahwa aliran keuangan dan investasi tidak turut andil terhadap degradasi lingkungan hidup dan pelanggaran HAM.
"Sebaliknya, kebijakan ini harus mendorong transisi yang adil menuju solusi berkelanjutan yang dipimpin masyarakat, yang melindungi ekosistem dan mendukung pembangunan yang berkeadilan,” kata Jeff Conant.
SHARE