Ada Anti-SLAPP, Kriminalisasi Pembela Lingkungan Terus Terjadi 

Penulis : Kennial Laia

Tambang

Rabu, 11 September 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Tiga minggu setelah mengikuti demonstrasi di depan kantor pusat perusahaan nikel PT Indonesia Weda Bay International (IWIP) di Jakarta, Cristina Rumahlatu menerima undangan klarifikasi dari Badan Reserse Kriminal Polri, Direktorat Tindak Pidana Siber. Surat yang diterimanya itu berisi tuduhan pencemaran nama baik atas seorang jenderal purnawirawan yang diduga berada dalam lingkar perusahaan pertambangan nikel tersebut. 

Cristina bersama satu mahasiswa Halmahera lainnya, Thomas Madili, dilaporkan Ali Fanser Marasabessy, ketua Pejuang Bravo 5, ormas yang dikenal sebagai relawan pendukung kemenangan Presiden Jokowi sejak 2014. Hingga saat ini Cristina telah menerima dua panggilan untuk klarifikasi yakni pada 27 Agustus dan 6 September lalu. 

Menurut Koalisi Masyarakat Sipil dan Lembaga Bantuan Hukum, kasus ini bermula ketika sejumlah warga Halmahera, Maluku Utara, Jatam, Enter Nusantara, Front Mahasiswa Nasional, dan Serikat Pemuda Nusa Tenggara Timur berdemonstrasi di depan kantor pusat IWIP dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta, pada Kamis, 1 Agustus 2024. Ketika orasi berlangsung di depan kantor IWIP, Letnan Jenderal (purn) Suaidi Marasabessy, yang juga berkantor di Sopo Del Tower lewat di tengah-tengah aksi dan menanggapi aksi. “Sudah dikoordinasikan dengan bupati,” kata Suaidi. 

Menurut Koalisi, jawaban itu membuat demonstran marah karena Suaidi terkesan menyederhanakan persoalan banjir dan kerusakan alam akibat aktivitas tambang nikel. Massa lantas meneriakinya: “Jenderal tidak berguna, tidak melakukan apa-apa untuk masyarakat Maluku (daerah asal dia).” 

Poster yang menyerukan penyetopan kriminalisasi terhadap Cristina Rumahlatu, mahasiswi Halmahera yang memprotes perusahaan tambang nikel, beredar di berbagai akun media sosial. Dok. Instagram @simpul.jatam.malut

IWIP adalah sebuah komplek smelter nikel raksasa di Indonesia, wilayah tambang sekaligus pusat pemrosesan bijih nikel menjadi stainless steel dan baterai listrik, yang beroperasi di  Desa Lelilef Sawai, Weda Tengah, Halmahera Tengah, Maluku Utara. 

Edy Kurniawan Wahid, kuasa hukum Cristina dan staf advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengatakan, Ali Fanser melaporkan penggalan dari Cristina yang terekam dalam sebuah video yang diunggah di Tiktok pada 4 Agustus 2024. Dalam video tersebut, Ali Fanser meminta agar Cristina minta maaf ke Suhaidi dalam 2x24 jam. Beberapa hari kemudian kasus tersebut naik ke penyelidikan Mabes Polri. 

Edy mengatakan, orasi Cristina di kantor PT IWIP terkait dengan protes masyarakat atas PT IWIP yang diduga melakukan perampasan lahan masyarakat dan kerusakan lingkungan akibat kegiatan penambangan nikel. Sebelumnya pada 21-24 Juli 2024, terjadi banjir bandang di Halmahera Tengah dan Halmahera Timur yang menelan 13 korban jiwa. Air merendam 12 desa dan menyebabkan 1.700 warga mengungsi. 

Bencana banjir di wilayah tersebut diduga terkait dengan aktivitas perusahaan pertambangan nikel di hutan-hutan Halmahera Tengah. Data dari Forest Watch Indonesia menunjukkan, deforestasi akibat kegiatan pertambangan di Halmahera Tengah seluas 2.739,80 hektare sepanjang 2021-2023. Secara khusus PT Weda Bay Nickel telah menyebabkan deforestasi seluas 1.783,89 hektare. PT Weda Bay Nickel juga telah menyebabkan deforestasi di beberapa daerah aliran sungai (DAS) dengan total luas 2.612,06 hektare. Kehilangan tutupan pohon yang dominan terjadi pada kawasan konsesi penambangan nikel tersebut, menyebabkan berbagai degradasi sumber daya air tawar dan meningkatkan risiko bencana hidrometeorologi.

Banjir di desa Lelilef Weibulen, Weda Tengah, Halmahera Tengah, Maluku Utara, pada 21 Juli 2024. Foto: Istimewa 

“Jadi sebenarnya kasus ini konteksnya dalam bentuk perjuangan publik. Tidak berdiri sendiri, keluar saat aksi demonstrasi. Ini bukan persoalan hukum, tapi bagian dari demokrasi, bagian dari perjuangan warga atas hak lingkungan hidup yang baik dan sehat,” kata Edy. 

Menurut Edy, laporan terhadap Cristina merupakan bentuk strategic lawsuit against public participation (SLAPP). “Ini adalah serangan balik terhadap partisipasi publik, dan ini terjadi di mana-mana. Modus perampasan tanah selalu ada SLAPP. Padahal undang-undang mengatur bahwa setiap orang yang memperjuangkan lingkungan hidup, tidak bisa dituntut pidana maupun perdata,” ujarnya.  

*

Apa yang dialami Cristina, yang merupakan aktivis lingkungan hidup di Maluku Utara, adalah satu dari sekian banyak kasus yang menimpa orang-orang yang membela hak asasi manusia (HAM) dan lingkungan hidup di Indonesia. Menurut catatan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), terdapat 304 orang yang dikriminalisasi pada periode 2019-2023. “Dari jumlah tersebut, sebanyak 83 kasus terkait dengan sektor sumber daya alam,” kata Febrina Monika, peneliti di divisi hukum Kontras. 

Sementara itu data Auriga Nusantara mengungkap, setidaknya terdapat 133 tindakan SLAPP sepanjang 2014-2023 di Indonesia. Ancaman terhadap pembela lingkungan terus terjadi meskipun telah dilindungi dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 32/2009. Pasal 66 dalam beleid itu berbunyi: “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.” 

Teranyar, pada 10 September 2024, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menerbitkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 10 Tahun 2024 tentang Perlindungan Hukum Terhadap Orang yang Memperjuangkan Hak Atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat. 

Direktur Penegakan Hukum Auriga Nusantara Roni Saputra mengatakan, aturan dari KLHK ini telah lama diadvokasi oleh organisasi masyarakat sipil di Indonesia. Ini juga menguatkan sejumlah instrumen hukum yang sudah ada terkait perlindungan pembela HAM dan lingkungan, termasuk pedoman kejaksaan terkait  penanganan perkara tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan Hidup, serta peraturan Mahkamah Agung yang menjadi panduan bagi hakim untuk memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak pembela lingkungan hidup dari Mahkamah Agung. 

“Peraturan menteri ini perlu kita apresiasi sebagai bentuk tanggung jawab negara melalui KLHK memberikan perlindungan kepada setiap orang yang memperjuangkan lingkungan hidup,” kata Roni. 

Di sisi lain, Roni mengatakan peraturan di tingkat menteri ini tidak cukup untuk menghindari kriminalisasi seperti yang dialami Cristina dan Thomas. “Akan kuat jika peraturan ini, minimal di level Perpres atau PP, akan lebih kuat lagi jika dalam bentuk undang-undang. Selama ini polisi – selaku pintu masuk penanganan perkara (termasuk kriminalisasi) akan lebih tunduk pada KUHP dan KUHAP,” kata Roni.

Terbitnya peraturan menteri LHK tersebut menegaskan bahwa para pejuang lingkungan hidup harus mendapat perlindungan hukum, kata Edy. “Dengan adanya peraturan-peraturan ini, harusnya laporan (terhadap Cristina) tidak perlu ditindaklanjuti,” ujarnya. 

SHARE