12 Warga Sumsel Pakai Jurus Baru Lawan Korporasi Asap
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Karhutla
Jumat, 30 Agustus 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Sebanyak 12 warga Sumatera Selatan (Sumsel) mendaftarkan gugatan terhadap tiga perusahaan ke Pengadilan Negeri (PN) Palembang, dalam kasus kabut asap yang menahun terjadi di provinsi ini, pada Kamis (29/8/2024). Ketiga perusahaan tersebut berinisial PT BMH, PT BAP, dan PT SBA.
Didukung gabungan koalisi masyarakat sipil dan organisasi lingkungan bernama Inisiasi Sumatera Selatan Penggugat Asap (ISSPA), keduabelas warga tersebut menuntut ganti rugi atas tercerabutnya hak atas lingkungan yang baik dan sehat, juga pemulihan lingkungan atas terjadinya kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla), yang telah merugikan mereka, baik secara materiil maupun immateriil.
Para penggugat itu merupakan warga yang tinggal di beberapa daerah, yaitu dari Desa Bangsal, Kecamatan Pampangan, Ogan Komering Ilir (OKI); Desa Lebung Itam, Kecamatan Tulung Selapan, OKI; dan Kota Palembang. Latar belakang mereka beragam, mulai dari petani, penyadap karet, nelayan, peternak kerbau rawa, ibu rumah tangga, pekerja lepas, hingga pegiat lingkungan.
Pralensa, salah satu penggugat dari Desa Lebung Itam, menuturkan bertahun-tahun dirinya merasa menjadi korban kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan, dan tahun lalu rumah waletnya bahkan ikut terbakar. Ia datang ke PN Palembang untuk menggugat tiga perusahaan yang ia anggap membawa dampak kabut asap yang ia rasakan hampir setiap kemarau.
"Lewat gugatan ini, kami ingin memberi peringatan bahwa apa yang perusahaan lakukan itu salah karena telah merusak lingkungan dan ruang kehidupan kami, serta menimbulkan kabut asap," katanya, dalam sebuah pernyataan, Kamis (29/8/2024).
Para tergugat dianggap telah ikut mengakibatkan timbulnya asap yang berdampak buruk bagi kesehatan ekosistem dan manusia, baik fisik maupun mental. Beberapa dampak dan kerugian dirasakan para penggugat, salah satunya dada sesak dan pernapasan terganggu karena infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).
Menurut para penggugat, pekerjaan yang biasa dimulai pagi hari seperti menggarap sawah, menyadap karet, mencari ikan, atau bertukang, menjadi sangat terganggu. Para penggugat juga merasa dirugikan karena biaya menanam karet dan memelihara ternak meningkat, sedangkan produktivitasnya berkurang. Kegiatan seperti kuliah, ibadah, dan kehidupan sosial lainnya terganggu hingga acapkali memicu rasa cemas dan tertekan.
Penggugat lainnya, Marda Ellius, mengaku saat terjadi kabut asap, ia merasa tertekan, karena khawatir dengan kesehatan anak dan diri sendiri. Cuaca panas karena kabut asap membuat suhu tubuhnya meningkat, badan gatal-gatal, juga batuk-batuk. Tak hanya itu, Marda juga merasa ekonomi keluarganya terganggu, karena asap menghalanginya untuk menyadap karet atau menangkap ikan.
"Saya memutuskan menjadi salah satu penggugat dengan harapan perusahaan dan pemerintah lebih memikirkan lingkungan hidup,” kata Marda.
Kuasa hukum 12 warga dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palembang, Ipan Widodo, mengatakan selama ini masyarakat Sumsel sudah lama diam menghadapi dampak buruk asap hasil kebakaran hutan dan lahan gambut. Ipan bilang, ini pertama kalinya warga menuntut pertanggungjawaban mutlak atau strict liability dari badan hukum atas kerugian akibat pencemaran atau perusakan lingkungan yang diperbuat badan hukum tersebut.
"Perjuangan ini akan jadi babak baru dalam perkembangan hukum lingkungan di Indonesia dan gaya baru perjuangan rakyat melawan krisis iklim,” ujarnya.
Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di wilayah izin para tergugat telah berkontribusi signifikan memicu kabut asap di Palembang pada 2015, 2019, dan 2023. Menurut catatan masyarakat sipil, luas areal terbakar dalam konsesi para tergugat pada 2015-2020 seluas 254.787 hektare--setara hampir empat kali luas DKI Jakarta.
Ketiga perusahaan ini pun pernah dikenai sanksi hingga denda akibat karhutla berulang. Namun hingga tahun lalu, konsesi ketiganya ternyata masih terus terbakar.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Belgis Habiba, mengungkapkan, konsesi PT BMH, PT BAP, dan PT SBA berada pada lanskap gambut, yang sebenarnya punya peran penting menyimpan karbon. Rusaknya gambut di lanskap tersebut, yang lantas memicu karhutla dan kabut asap terus-menerus, tentu sangat memperburuk krisis iklim.
"Peningkatan emisi karbon akibat karhutla dan kabut asap juga berkontribusi menghambat upaya penurunan emisi, bahkan membuat gagalnya pencapaian target iklim oleh pemerintah Indonesia,” kata Belgis.
Koordinator Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Wilayah Sumsel, yang juga perwakilan koalisi ISSPA, Untung Saputra, menyebut selain memicu konflik agraria berkepanjangan, ketiga perusahaan tersebut ternyata juga menimbulkan dampak ekologis yang begitu merusak dan mengganggu kehidupan masyarakat Sumsel.
"Ini saatnya masyarakat melawan dengan terhormat untuk menunjukkan bahwa mereka punya kedaulatan atas ruang hidupnya," kata Untung.
SHARE