Megathrust x Badak Jawa: Rumah Kedua atau Kamar Kedua?
Penulis : Kennial Laia & Aryo Bhawono
SOROT
Selasa, 27 Agustus 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Haryanto R. Putro masih mengingat masa-masa ketika mencari rumah (habitat) kedua untuk badak jawa. Bersama tim dari berbagai institusi pemerintah, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil, penyusuran itu juga dilakukan di Suaka Margasatwa Cikepuh, Jawa Barat, dan Cikeusik, Banten. Bertahun-tahun berjalan, lokasi yang benar-benar cocok tidak kunjung ditemukan. Idealnya, habitat satwa bercula satu itu di dataran relatif rendah dan merupakan rawa-rawa.
Ada sejumlah alasan mengapa para konservasionis saat itu mencari alternatif rumah aman bagi badak jawa (Rhinoceros sondaicus). Berbagai jurnal ilmiah menyatakan, bencana alam tsunami menjadikan habitat kedua urgen bagi keberlangsungan satwa endemik dan terancam punah tersebut.
Menurut Haryanto, dosen dan peneliti di Institut Pertanian Bogor (IPB) yang puluhan tahun berkecimpung di konservasi badak, frasa “second habitat” masih muncul dalam Strategi Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Badak pada 2019. Kini hal tersebut tak lagi menjadi prioritas.
“Melihat dinamika dan pemodelan populasi, jadi ada satu kunci. Badak kalau tidak dikelola dengan cara yang sangat spesifik itu sudah pasti punah. Jadi mau dipindahkan ke manapun akan ada risiko lebih tinggi dalam jangka pendek. Kita hanya memindahkan risiko ke tempat lain,” kata Haryanto saat ditemui di ruangannya di Fakultas Pascasarjana Departemen Konservasi Sumberdaya dan Ekowisata Institut Pertanian Bogor, Jumat lalu.
Laporan merupakan bagian dari artikel serial tentang ancaman megathrust terhadap badak jawa pada pekan ini. Artikel sebelumnya:
- Peringatan Darurat: Megathrust Mengancam Rumah Badak Jawa
Opsi habitat kedua ini semakin mengabur ketika perburuan kembali mengancam badak jawa setelah 30 tahun. Mei lalu, terungkap sebanyak 26 badak mati karena diburu culanya sepanjang 2019-2023. Ini merupakan kehilangan yang sangat besar bagi Indonesia. “Dengan perubahan struktur itu, kita harus sepakat bahwa kondisi badak jawa pada critical condition paling tinggi itu pada saat sekarang,” kata Haryanto.
“Jadi kebutuhan prioritasnya adalah memastikan kita punya pendekatan teknologi untuk breeding (pembiakan) badak,” ujarnya.
Persoalan mendesak badak jawa
Pada 2023, data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berdasarkan metode album mencatat terdapat 81 individu badak di Ujung Kulon. Rasionya 41 jantan dan 40 betina, atau 1:1. Angka ini diragukan dalam sebuah laporan yang dirilis Auriga Nusantara pada 2023, yang melaporkan angka lebih kecil.
Dengan perburuan yang terungkap Mei lalu, dapat dipastikan jumlah badak jawa menyusut. Hingga saat ini pun belum ada data resmi terbaru dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Di sisi lain, menurut Haryanto ada persoalan badak yang sangat mendesak, yaitu tingkat pembiakan yang sangat rendah, berada di angka 13%. “Dengan (laju) itu, kalau kita proyeksikan dengan model, misalkan badak dibiarkan berkembang biak secara alami tanpa faktor gangguan, mereka akan tetap punah,” kata Haryanto.
Untuk meningkatkan populasinya, Haryanto mengatakan kapasitas reproduksi badak di Ujung Kulon setidaknya harus berada di angka 40%. Untuk mencapai hal ini, Haryanto mengatakan rasio jenis kelaminnya (sex ratio) harus dibenahi lebih dulu. Artinya jumlah jantan dan betina harus 1:4, dibandingkan saat ini yang berada di 1:1.
Dalam simulasi yang dilakukan dengan populasi saat ini, jika rasio jenis kelamin dibenahi, populasinya cenderung naik. “Jadi kemungkinan besar sex ratio menjadi fundamental problem untuk memastikan (populasi) badak itu bisa naik,” kata Haryanto. Dia menambahkan populasi badak jawa yang ada saat ini hanya terdiri dari dua garis keturunan, sehingga menambah kompleksitas keberlangsungan reproduksi di alam liar.
Peta jalan badak
Teranyar, sebuah tim–termasuk dari IPB dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Taman Nasional Ujung Kulon–sedang menyusun peta jalan (grand road map) penyelamatan badak jawa selama 25 tahun ke depan. Prioritasnya, memperbaiki subpopulasi, yang stabil dan mampu berkembang biak dengan normal. Menurut Haryanto, rencana ini dirancang sesuai dengan sumber daya yang terbatas saat ini.
Prioritasnya, memperbaiki subpopulasi, yang stabil dan mampu berkembang biak dengan normal.
“Sekarang sedang dalam proses diskusi. Sudah ada kesepakatan-kesepakatan. Bagaimana ini bisa dikawal dengan milestone yang bisa diukur. Tapi kalau ini tidak menjadi kebijakan yang melibatkan pengamanan, ya akhirnya nggak jadi juga. Jangan lupa ada perburuan juga,” kata Haryanto.
Haryanto mengatakan peta jalan tersebut termasuk pemanfaatan Javan Rhino Study and Conservation Area (JRSCA) untuk pengelolaan ex-situ seluas 5.100 hektare. Area ini sendiri masih berada dalam Taman Nasional Ujung Kulon. Dia memastikan pendekatannya kali ini akan berbeda dibandingkan inisiasi awal proyek yang bermula pada 2011 itu. “Saat dikembangkan pada 2011 dulu, harapannya ada badak yang rela masuk dan menetap dengan perbaikan habitat. Faktanya tidak ada. Sampai hari ini semuanya yang masuk badak jantan dan tidak menetap,” ujarnya.
Dalam peta jalan tersebut, Haryanto mengatakan JRSCA dengan pendekatan teknologi dan pengelolaan ekstra intensif menjadi kunci. Rencananya adalah memindahkan 10-12 badak jantan dan betina dengan kualitas genetik paling baik. Satwa ini akan dikelola di kandang-kandang seluas ratusan hektare, di mana para peneliti akan melakukan teknologi reproduksi terbantu (ART).
Jika berhasil, anakan badak yang lahir kemudian akan dipindahkan ke Semenanjung Ujungkulon. “Anak-anak badak ini harus memperbaiki struktur populasi di Semenanjung Ujungkulon. Karena itu nggak boleh terlalu jauh, agar bisa masuk dan keluar (JRSCA),” kata Haryanto.
Haryanto mengatakan semua proses ini membutuhkan dana dan energi yang sangat besar. Khusus JRSCA sendiri, saat ini alokasi dananya berkisar Rp 100 miliar per tahun, dan dengan tambahan terbaru sekitar Rp 115 miliar per tahun.
Rencana ini masih sangat panjang. Haryanto mengatakan, masih banyak hal-hal teknis yang harus diputuskan dalam perumusan peta jalan tersebut, termasuk cara memindahkan badak ke JRSCA.
Sebagai langkah awal, saat ini sedang dilakukan pendataan ulang badak yang tersisa dan pemasangan kamera jebak di habitatnya. “Karena perburuan itu kita kehilangan, dan harus mencari tahu yang masih tersisa dengan genetik bagus itu yang mana saja. Jadi kita sedang mendata ulang badak jantan maupun betina yang potensial dimasukkan ke JRSCA dan dikelola secara intensif. Supaya kita memperoleh anak-anak badak yang kualitas genetiknya baik. Ini adalah prioritas pertama yang sedang kita dalami,” kata Haryanto.
Megathrust tetap mengintai
Di tengah ancaman penurunan populasi, bencana alam turut mengancam keberlangsungan badak jawa. Dalam berbagai kajian ilmiah, para peneliti mengungkap bahwa terdapat potensi tsunami dengan ketinggian rata-rata 15-20 meter akibat gempa besar dari zona megathrust, yaitu Selat Sunda, Jawa Barat, dan Enggano. Namun ancaman ini tampaknya belum menjadi bagian dari rencana penyelamatan badak jawa dalam peta jalan badak jawa.
Pemodelan beberapa ketinggian gelombang tsunami terhadap habitat badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon
Padahal, dari berbagai analisis kajian ilmiah dan model simulasi, pakar tsunami Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Widjo Kongko mengatakan Taman Nasional Ujung Kulon berpotensi terendam air hingga 1 kilometer ke daratan, dengan perkiraan ketinggian tsunami 15-20 meter.
Sementara itu jurnal ilmiah lainnya menyebut kepadatan populasi badak jawa berjarak sekitar 108 meter hingga 855 meter dari garis pantai. Menurut studi ini, gelombang di atas 10 meter dapat menggenangi lebih dari 80% area dengan kepadatan badak tertinggi 50%.
“Kesimpulannya untuk pelestarian kita perlu melakukan mitigasi dan upaya-upaya supaya (hal ini) terhindarkan,” kata Widjo.
Menurut Dones Rinaldi, dosen konservasi sumber daya hutan dan ekowisata IPB dan bagian dari tim penyusun peta jalan badak tersebut, terkait ancaman tsunami dari zona megathrust, pihaknya telah melakukan simulasi tsunami setinggi 20 meter. “Kita simulasikan, kalau pun terjadi gempa atau tsunami dengan ketinggian itu… topografi semenanjung masih ada ruang yang tidak tergenang,” katanya.
Di antara "kamar aman" itu adalah Gunung Honje, yang memiliki kawasan seluas 10 ribu hektare, yang bersebelahan dengan bagian timur semenanjung. Karena itu, demi mengantisipasi bencana megathrust, jalur evakuasi ke arah Gunung Honje tidak boleh dipagari, dengan harapan badak akan pergi ke arah ketinggian ini ketika terjadi tsunami.
Dones menyatakan, ia punya kekhawatiran lain terkait populasi badak jawa yang cenderung stabil sejak 1990-an di Ujung Kulon, yakni 55-60an individu. Menurutnya, hal ini kemungkinan berhubungan dengan daya dukung ekosistem, dengan faktor lain seperti keberadaan ajak, banteng, tanaman invasif seperti langkap, maupun penyakit. “Mungkin jika bicara optimal, belum optimal itu lokasi semenanjung. Kita juga melihat banteng banyak di situ yang hidup berkelompok,” kata Dones.
Pencarian habitat kedua badak perlu berjalan paralel
Peneliti satwa Auriga Nusantara Riszki Is Hardianto mengatakan, upaya penyelamatan badak jawa tidak boleh mengabaikan potensi bencana tsunami dari ledakan energi di zona megathrust. Meskipun tidak diketahui persis kapan terjadi, Riszki menganggap prediksi itu nyata dan telah melalui uji validitas dari otoritas sains seperti BRIN dan BMKG.
“Prediksi bencana dari zona megathrust itu sudah ada dari otoritas sains. Jadi tidak bisa dihilangkan begitu saja. Jika terjadi suatu saat, habitat badak benar-benar terdampak, dan bahkan bisa hilang dalam sekejap,” kata Riszki.
Dalam konteks ancaman megathrust, Taman Nasional Ujung Kulon sebagai satu-satunya habitat tidak aman bagi keberlangsungan badak jawa. Riszki menilai pencarian habitat kedua benar-benar krusial dalam 25 tahun ke depan dan dapat dilakukan paralel atau beriringan dengan program yang akan dilakukan di JRSCA.
“Second habitat harus dicari dari sekarang, termasuk mitigasinya seperti apa. Karena dalam konteks tsunami akibat aktivitas megathrust, yang bisa menjawab itu cuma second habitat,” kata Riszki.
Dia mengatakan, Indonesia sudah memiliki pengalaman survei berbagai area sejak 1990-an. Kawasan taman nasional yang aman dari bencana tsunami misalnya bisa disurvei. Sekalipun ada yang tidak terlalu mirip dengan karakteristik Ujung Kulon, Riszki mengatakan hal itu dapat diatasi dengan rekayasa habitat, beserta skema pengamanan dan desain sistem pengamanannya.
“Dengan berbagai upaya ini, lagi-lagi semua kembali kepada niat dan komitmen pemerintah,” ujar Riszki.
Pertanyaannya: seberapa penting upaya penyelamatan badak ini bagi pemerintah?
Betahita telah menghubungi KLHK dan Balai Taman Nasional Ujung Kulon untuk dimintai tanggapan, namun sejauh ini belum direspon.
Peringatan darurat tsunami megathrust badak jawa.
SHARE