Mudarat dari A - Z dalam Inisiatif AZEC Jepang - Koalisi

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Energi

Rabu, 21 Agustus 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Inisiatif Asia Zero Emission Community (AZEC) yang dipimpin Jepang di bawah Strategi Gx (Green Transformation) yang akan diimplementasikan di Indonesia, mendapat penolakan dari kalangan masyarakat sipil, sebab berisi banyak mudarat. Salah satunya, akan membawa solusi palsu yang mengancam keselamatan lingkungan. Penolakan tersebut disampaikan dalam sebuah petisi yang ditandatangani 41 organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia.

Dalam petisi ini, Koalisi menjelaskan, meskipun inisiatif ini disebut sebagai bagian dari upaya menuju netralitas karbon dengan menciptakan kemitraan yang luas untuk mencapai tujuan tersebut, namun Koalisi berpendapat bahwa inisiatif ini tidak lebih dari sekadar upaya greenwashing yang diberi label sebagai dekarbonisasi.

Menurut Koalisi, inisiatif AZEC justru akan lebih memperkaya korporasi- korporasi yang selama ini telah meraup keuntungan besar, sambil menyebarkan "solusi palsu untuk perubahan iklim" di Indonesia, dan akan lebih jauh mengakibatkan pelanggaran hak asasi manusia bagi masyarakat adat dan komunitas lokal. AZEC, yang berjalan tanpa melibatkan partisipasi bermakna dari masyarakat adat, komunitas lokal dan kelompok masyarakat sipil Indonesia, akan menghambat transisi energi yang cepat, adil, dan merata.

"Kami menyerukan kepada Pemerintah Jepang dan Pemerintah Indonesia untuk membatalkan inisiatif AZEC yang memperpanjang penggunaan energi fosil, menggunakan solusi palsu yang mengancam keselamatan lingkungan dan komunitas, serta menyebabkan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)," kata Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia dalam petisi, Selasa (20/8/2024).

Sejumlah aktivis dari sejumlah organisasi masyarakat sipil menggelar aksi damai menyerukan pembatalan inisiatif AZEC di Indonesia di depan Kedutaan Besar Jepang, di Jakarta, Selasa (20/8/2024). Foto: Walhi.

Selain itu, Koalisi ini juga meminta Pemerintah Jepang dan Pemerintah Indonesia bekerja sama serta mendukung dekarbonisasi/transisi energi yang cepat, adil, dan merata dengan cara yang dapat memastikan partisipasi bermakna dari masyarakat setempat dan kelompok masyarakat sipil di Indonesia.

Koalisi ini menjelaskan, seruan dalam petisi ini dibuat berdasarkan kenyataan bahwa AZEC hanya akan menyebabkan masalah bagi demokrasi, lingkungan hidup dan masyarakat di Indonesia, karena inisiatif ini tidak memberikan transparansi, keterbukaan informasi dan partisipasi bermakna dari publik; memperpanjang penggunaan energi fosil; membawa solusi palsu yang mengancam keselamatan lingkungan dan komunitas; dapat mendorong perampasan lahan dan deforestasi lebih lanjut di Indonesia, serta berpotensi menimbulkan jebakan utang.

Petisi ini secara simbolik diserahkan Manajer Kampanye Tambang dan Energi, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Fanny Tri Jambore Christanto, kepada Pemerintah Jepang, melalui Kedutaan Besar Jepang, di Jakarta, Selasa (20/8/2024). Penyerahan petisi ini dilakukan diiringi sebuah aksi damai pembentangan spanduk dan banner berisi seruan pembatalan inisiatif AZEC, yang digelar Walhi, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), KRuHA, Celios, dan Oil Change International,

Rere--sapaan akrab Fanny Tri Jambore Christanto, menyebut proyek-proyek, perjanjian, dan kerja sama yang dibawa dalam AZEC dapat memiliki dampak yang mempengaruhi kehidupan masyarakat di Indonesia. Namun, hingga saat ini keputusan untuk memberi lampu hijau pada proyek-proyek, perjanjian-perjanjian dan kerjasama yang termaktub dalam dokumen AZEC, tidak pernah dikonsultasikan secara terbuka dengan masyarakat setempat dan kelompok masyarakat sipil di Indonesia.

"Ada proyek dalam AZEC seperti proyek Waste to Energy (WTE) Legok Nangka di Kabupaten Bandung yang tidak transparan dalam penentuan teknologi insinerator dan pemenangan konsorsium dari Jepang, Sumitomo-Hitachi Zosen, sementara asistensi teknis-nya yang dapat mempengaruhi keputusan pemilihan teknologi insinerator dan konsorsiumnya dilakukan juga oleh Japan International Cooperation Agency (JICA)," kata Rere.

Lalu, lanjut Rere, terdapat juga problem kurangnya partisipasi bermakna dari komunitas seperti dalam proyek PLTPB Muara Laboh di Sumatera Barat di mana sosialisasinya tidak dilakukan dengan terbuka, dan tidak melibatkan seluruh anggota komunitas yang terdampak, padahal dampaknya sangat terasa bagi para petani yang mengalami gagal panen maupun warga yang tinggal tidak jauh dari lokasi proyek.

Menurut Fanny, AZEC diimplementasikan tanpa mempertimbangkan aspirasi masyarakat dan tanpa menciptakan ruang bagi partisipasi yang berarti dari masyarakat setempat dan kelompok masyarakat sipil. Selain itu, Pemerintah Indonesia dan Jepang juga gagal memperhitungkan dampak sosial, lingkungan hidup, dan hak asasi manusia yang mungkin timbul dan berdampak pada masyarakat luas sebagai akibat dari pelaksanaan proyek AZEC di Indonesia.

"Oleh karena itu, penerapan AZEC harus dihentikan karena tidak memenuhi kepentingan masyarakat," ujar Rere.

AlFarhat dari Jatam menambahkan, berbagai proyek, perjanjian dan kerjasama dalam AZEC yang akan dilaksanakan di Indonesia secara terang-terangan mempromosikan pendekatan dan teknologi yang dapat memperpanjang penggunaan energi fosil, dan karenanya tidak bisa diharapkan dapat memberi kontribusi pada pengurangan emisi gas rumah kaca yang diperlukan untuk mencapai target 1,5°C sesuai Perjanjian Paris, dan dengan demikian tidak membantu memerangi perubahan iklim.

"Baru-baru ini JICA berencana untuk mengerjakan Rencana Induk untuk Proyek Manajemen Transisi Energi di Indonesia di mana kata-kata seperti CCUS, co-firing dengan hidrogen, amonia, biomassa, serta LNG dimunculkan di sana, yang menunjukkan upaya dalam AZEC untuk memperpanjang penggunaan energi fosil," kata AlFarhat.

Upaya untuk terus memperpanjang umur penggunaan energi fosil di Indonesia, lanjut AlFarhat, akan membawa berbagai ancaman bagi lingkungan dan komunitas. Dia bilang, telah ada berbagai laporan dampak bagi lingkungan dan komunitas dari penggunaan energi fosil di Indonesia, sehingga memperpanjang penggunaan energi fosil sama hal-nya dengan memperpanjang penderitaan rakyat.

Hal lain yang diungkap dalam penolakan terhadap inisiatif AZEC adalah penggunaan solusi palsu yang dapat yang mengancam keselamatan lingkungan dan komunitas serta menyebabkan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia. Sigit Karyadi dari Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA) menyebut, proyek-proyek besar yang mengakibatkan konflik lingkungan dan pelanggaran HAM tidak boleh dilanjutkan hanya demi ambisi dekarbonisasi.

Sigit menyebut, salah satu proyek yang mendapatkan dukungan melalui AZEC untuk dijalankan di Indonesia adalah proyek geothermal atau panas bumi. Di Indonesia sendiri pengaturan terkait geothermal pasca-Undang-Undang Cipta Kerja masih bercorak eksploitatif, berpotensi memperluas konflik agraria, dan meningkatkan ancaman kriminalisasi terhadap rakyat.

"Proyek lain seperti Waste to Energy atau WTE, dengan insinerator yang membakar campuran berbagai jenis sampah, baik sampah organik maupun plastik yang terbuat dari bahan bakar fosil akan tetap melepaskan emisi gas rumah kaca," kata Sigit.

Lebih lanjut Sigit mengungkapkan, kebutuhan atas mineral kritis bagi kebutuhan baterai dan industri kendaraan listrik, yang juga didukung oleh AZEC untuk mencapai masyarakat terdekarbonisasi, justru menghasilkan situasi sebaliknya. Yang mana terjadi perusakan hutan hujan yang sesungguhnya merupakan wilayah penyerap karbon, dan terus meningkatnya emisi gas rumah kaca akibat pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara dan gas yang ada dan yang dipakai untuk industri berbasis mineral kritis di Indonesia.

Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi, Uli Artha, menguraikan, proyek-proyek, perjanjian dan kerja sama yang didukung melalui AZEC juga merupakan proyek dengan kebutuhan lahan besar dan dapat menyebabkan perampasan lahan serta deforestasi lebih lanjut di Indonesia. Menurut Uli, proyek-proyek dalam AZEC seperti kerja sama untuk memfasilitasi pembangunan IKN di Indonesia dikhawatirkan akan mendorong perampasan lahan-lahan masyarakat adat lebih banyak.

Begitu juga dengan proyek-proyek REDD, Uli melanjutkan, yang telah menunjukkan berbagai kegagalan di Indonesia, serta proyek-proyek AZEC seperti Kajian teknologi pengelolaan air lahan gambut berbasis stok untuk pasokan biomassa kayu yang stabil yang akan dikerjakan Sumitomo Forestry yang dapat mengulang kegagalan Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektare dari era Orde Baru atau kegagalan proyek food estate zaman Presiden Jokowi ini.

"Karena mengubah kawasan ekosistem gambut menjadi perkebunan monokultur akan berakhir merusak alam, merampas hak masyarakat adat dan komunitas lokal, serta menimbulkan bencana," ujar Uli.

Bhima Yudhistira dari Celios, menyebut implementasi AZEC di Indonesia berpotensi menimbulkan risiko kegagalan utang atau debt distress. Bhima menerangkan, skema AZEC yang berbentuk pinjaman akan memperburuk kondisi fiskal Indonesia yang sedang dalam performa buruk. Hal ini dilihat dari kinerja pengelolaan utang negara yang tidak prudent dan terjebak pada rasio utang yang tidak aman.

"Rasio utang terhadap pendapatan negara di Indonesia telah mengalami pembengkakan, dengan utang sejumlah Rp2.609 triliun di tahun 2014, meningkat menjadi Rp8.850 triliun di 2024, dan pendapatan negara sebesar Rp1.550 triliun di tahun 2014, menjadi Rp2.802 triliun di tahun 2024. Sehingga, rasio utang terhadap pendapatan negara meningkat dari 168,27% menjadi 315,81%, menyebabkan utang tidak produktif," kata Bhima.

Bhima mengingatkan, di tengah proyeksi melambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia di bawah 5%, yang salah satunya diakibatkan ancaman krisis iklim, rasio pajak yang masih di bawah 11%, dan fenomena deindustrialisasi, sebaiknya pemerintah lebih hati-hati dan cermat dalam menerima tawaran dari negara maju. Agar, imbuhnya, tidak berpotensi menimbulkan debt distress seperti gagal bayar utang atau restrukturisasi utang yang tidak menguntungkan bagi Indonesia.

SHARE