Reforma Agraria Harus Prioritaskan Konflik Kemitraan Kebun Sawit
Penulis : Kennial Laia
Sawit
Senin, 19 Agustus 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Program kemitraan usaha perkebunan dan fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar (FPKMS) yang menjadi kewajiban perusahaan kelapa sawit dinilai dapat menjadi salah satu instrumen untuk mewujudkan reforma agraria. Ini juga dapat mendorong penyelesaian konflik antara petani dan perusahaan di banyak daerah.
Peraturan pemerintah mewajibkan perusahaan perkebunan kelapa sawit melakukan kemitraan maupun FPKMS untuk mengembangkan ekonomi masyarakat lokal. Pola kemitraan, misalnya, perusahaan mendukung pengembangan komoditas kelapa sawit melalui bantuan benih ataupun peningkatan kapasitas petani dalam meningkatkan produktivitas kebunnya.
Namun ketua Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Sabarudin mengatakan, konflik terkait pelaksanaan program ini banyak terjadi di berbagai daerah. Akar masalahnya, menurut Sabarudin, berhubungan dengan aturan dan kebijakan pengembangan sawit lewat pola kemitraan yang terus berubah. Hal ini terutama terkait dengan berbagai skema pembiayaan, namun masih dalam naungan pola inti plasma. Dus, tidak mencapai tujuan pokok untuk kesejahteraan petani itu sendiri.
“Ini terjadi antara lain akibat pengelolaan kerjasama dalam naungan pola inti plasma manajemen satu atap, yang menempatkan perusahaan lebih dominan perannya dalam kerjasama pengelolaan lahan hingga pengelolaan hasil,” kata Sabarudin pada lokakarya yang diadakan di Jakarta, Senin (12/8).
Menurut Sabarudin, konflik yang ditemukan di lapangan juga sering terkait dengan faktor seperti minimnya transparansi, perjanjian kerja sama yang merugikan petani, hingga akuntabilitas yang dipertanyakan.
“Persoalan kemitraan usaha perkebunan bukan saja pada tataran implementasi tetapi juga pada aturan serta penegakan hukumnya, karena itu diperlukan resolusi konflik agar petani tidak dibiarkan sendiri untuk mencapai keadilan, tetapi ada campur tangan pemerintah,” kata Sabarudin.
Sementara itu Direktur Sawit Watch, Achmad Surambo, menyebut masalah agraria baru di perkebunan sawit dipicu oleh fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar (FPKMS) yang tidak terwujud, yang menjadi kewajiban perusahaan sawit.
Menurut Achmad, masalah ini disebabkan oleh adanya perspektif yang berbeda antara perusahaan dan masyarakat dalam memaknai FPKMS. Selain itu, implementasi di lapangan rumit, yang disertai tumpang tindih aturan di sektor pertanahan, kehutanan, dan pertanian. “Ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi masyarakat sekitar perkebunan,” ujarnya.
“Banyak perusahaan yang mengambil keuntungan dari kemelut regulasi yang berbeda dan berubah-ubah di tiga kementerian tersebut, hingga menjalankan kewajibannya untuk memenuhi FPKMS,” kata Achmad.
“Dampaknya tuntutan masyarakat terhadap realisasi pembangunan 20% tidak mencapai solusi yang jelas dan konflik terus menerus terjadi di berbagai wilayah,” katanya.
Situasi ini menyebabkan kekhawatiran akan konflik yang berlarut-larut. Oktober 2023, konflik agraria pecah di Kalimantan Tengah. Masyarakat Desa Bangkal, Seruyan, menuntut PT Hamparan Masawit Bangun Persada (HMBP) melunasi janjinya memberikan lahan plasma sawit kepada masyarakat desa. Masyarakat telah menunggu janji tersebut selama satu dekade.
Namun unjuk rasa warga berujung pada penembakan dan kematian seorang warga bernama Gijik. Warga lainnya juga mengalami luka.
Gunawan, penasihat senior di Indonesia Human Rights Committee for Social Justice mengatakan, program kemitraan dan FMPKS seharusnya dilaksanakan untuk menciptakan keadilan di sektor perkebunan.
Gunawan mengatakan kedua hal tersebut harus dimaknai sebagai bagian dari reforma agraria melalui redistribusi tanah untuk petani, sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan, prinsip kemitraan, dan etika usaha.
“Ini salah satunya untuk mewujudkan pemberdayaan kelembagaan petani dan kelembagaan ekonomi petani (badan usaha milik petani) dan mencegah diskriminasi terhadap petani,” kata Gunawan.
SHARE