Karhutla di Pulau-pulau Indonesia: Beda Karakter, Satu Penyebab
Penulis : Aryo Bhawono
Karhutla
Senin, 12 Agustus 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Fenomena kebakaran hutan dan lahan (karhutla) terjadi merata hampir di semua pulau Indonesia. Mapbiomas Fire mencatat karakter yang berbeda-beda di setiap pulau, sesuai dengan pola produksi lahan.
Analisis pemetaan karhutla menggunakan Mapbiomas Indonesia Fire menunjukkan karakteristik lahan karhutla terluas di masing-masing pulau di Indonesia memiliki perbedaan. Peneliti Auriga Nusantara, Sesilia maharani Putri, mengungkap secara kumulatif mayoritas karhutla di Indonesia, sebanyak 68 persen, terjadi di kelas tutupan kelas lahan natural.
“Kemudian 32 persennya terjadi di areal antropik atau area yang dekat dengan manusia,” ucapnya dalam peluncuran Mapbiomas Indonesia pada Rabu (7/8/2024).
Mapbiomas Indonesia Fire 1.0 merupakan platform peta lahan terbakar di Indonesia pada rentang 2013-2023. Data tersebut mengembangkan Mapbiomas Indonesia dengan kelas tutupan dan penggunaan lahan.
Mayoritas karhutla terjadi di tutupan lahan natural non hutan. Pada kelas ini terdapat tutupan lahan persawahan, perkebunan, dan lainnya.
penutupan dan Penggunaan Lahan pada Area Terbakar. Data: Auriga Nusantara
Sesilia menjelaskan tema pada tutupan karhutla ini menunjukkan bahwa karhutla mayoritas terjadi di wilayah antropik atau sangat erat dengan kegiatan manusia. Makanya karakteristik karhutla di pulau-pulau besar di Indonesia berbeda-beda.
Analisis yang ia lakukan pada empat pulau besar, yakni Jawa, Sumatera, kalimantan, dan Sulawesi cukup beragam.
Karhutla di Jawa mayoritas terjadi di persawahan. Hal ini terjadi mengingat persawahan di Jawa sangat banyak. Sedangkan karhutla di Sumatra mayoritas terjadi di pertanian dan perkebunan.
“Kalau untuk di Sumatra dia mayoritas kebakarannya dia terjadi di pertanian, perkebunan dan pertanian begitu dan juga formasi natural non forest,” ucap dia..
Karhutla di Kalimantan, sebesar 35 persen di penutupan kelas lahan natural, kemudian 65 persen di kelas tutupan alami. Sedangkan di Sulawesi 26 persen karhutla terjadi di kelas antropik dan sisanya dia terjadi di kelas kelas yang di tutupan kelas natural alami.
Data ini setidaknya menjelaskan kebakaran di 4 pulau itu sangat erat kaitannya dengan kegiatan manusia. Meski tak jarang karhutla juga terjadi di formasi hutan namun di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Formasi ini bisa berupa hutan, hutan gambut, hingga mangrove.
Bisa jadi yang pertama, kebakaran ini memang dilakukan untuk persiapan pembukaan lahan.Atau yang kedua memang sebenarnya kebakaran ini memang sudah jadi habitual atau secara alami,” kata dia.
Kondisi tutupan lahan karhutla di Bali dan Nusa Tenggara adalah savana dan gunung berapi.
penutupan dan penggunaan lahan pada area terbakar di Bali-Nusra, Maluku, dan Papua. Data: Auriga Nus
Sedangkan bulan krusial terjadinya karhutla dimulai pada Agustus, dan terus meningkat hingga Oktober. pada Bulan Oktober rata-rata akan terjadi penurunan.
Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Bencana Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Abdul Muhari, menyebutkan keterkaitan manusia dengan bencana karhutla ini memang erat. Maka tak heran jika karhutla sangat lekat dengan kegiatan manusia.
“Data BNPB menyebutkan 99 persen karhutla itu pasti human intervention,” kata dia.
Menariknya, data Mapbiomas Fire ini menunjukkan karakteristik tutupan lahan karhutla di tanah air.
Ia menyebutkan bencana karhutla di Indonesia tidak seperti di luar negeri, seperti di Eropa maupun Amerika. Karhutla di Indonesia sangat berkaitan dengan aktivitas manusia.
“Saya selalu bilang tidak ada tuh kalau misalkan seperti di California, mostly itu ada 30 persen karhutla akibat petir.Tapi kalau di Indonesia petir di siang bolong itu enggak ada, itu pasti human intervention. Pasti orang bakar,” kata dia.
Menurutnya saat ini banyak peristiwa karhutla harus dipahami dengan metode baru. BNPB sendiri mengamati karhutla tetap menjadi ancaman meski musim penghujan. Catatannya menunjukkan pada puncak musim hujan bulan Februari kawasan Aceh sisi barat menghadapi banjir dan tanah longsor namun di sisi timur malah terjadi karhutla.
Demikian pula dengan Kalimantan Barat, Sungai Kapuas tidak pernah kering namun di bagian hulu justru terjadi karhutla.
Pakar Forensik Karhutla Institut Pertanian Bogor (IPB), Bambang Hero Saharjo, mengungkapkan perlu adaptasi baru dalam penanganan karhutla di Indonesia. Pemicu kerentanan karhutla adalah pemanfaatan lahan. Makanya penyebab utama karhutla di Indonesia adalah manusia.
“Faktor alam itu cuma dua, petir karena berhenti hujan dan kedua itu adalah lava gunung berapi. Lain dari itu semua adalah manusia itu, 99 ,99 persen,” kata dia.
SHARE