PSN Kebun Tebu Merauke Berisiko Langgar HAM dan Rusak Lingkungan

Penulis : aryo Bhawono

Food Estate

Kamis, 01 Agustus 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Proyek ekstraktif pemerintah datang bertubi-tubi ke Merauke, termutakhir adalah Proyek Strategis Nasional (PSN) perkebunan tebu untuk swasembada gula dan bioetanol. Namun proyek ini mengikuti jejak sama dengan proyek sebelumnya. Tak ada keterbukaan dan minim pelibatan masyarakat sekitar. Pelanggaran HAM dan kerusakan ekologi pun membayangi di belakangnya. 

Kehadiran PSN perkebunan tebu dimeriahkan dengan penanaman tebu perdana oleh Presiden Joko Widodo di lokasi PT Global Papua Abadi di kampung Sermayam, Distrik Tanah Miring, Merauke, Papua Selatan pada 23 Juli 2024 lalu. Jokowi bilang proyek ini adalah langkah strategis menghadapi ancaman krisis pangan global karena krisis iklim. 

Perkebunan tebu di Merauke telah masuk dalam daftar PSN pada 23 November lalu melalui Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Permenko) Nomor 8 Tahun 2023 tentang Perubahan Keempat atas Permenko Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional (PSN). Selanjutnya, Presiden Joko Widodo menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 15 Tahun 2024 tanggal 19 April 2024 tentang Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Swasembada Gula dan Bioetanol di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan, di mana Bahlil ditunjuk sebagai Ketua Satgasnya.

Proyek semacam ini bukan pertama kali datang ke Merauke. Yayasan Pusaka Bentala Rakyat mencatat, sebelumnya sudah ada proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), Kawasan Sentra Produksi Pangan (KSPPP), Food Estate Papua, dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Merauke.

Masyarakat Adat Marind di Kampung Buepe, Distrik Kaptel, Kabupaten Merauke, yang mengeluhkan kesulitan air bersih, kekeringan lahan dan sulit pangan, Agustus 2023. Foto: Istimewa

Namun, jejak proyek-proyek itu tak menunjukkan kemakmuran bersama, tetapi justru  segudang persoalan baru, mulai dari pengalihan penguasaan tanah skala luas yang mencapai jutaan hektar melalui praktik tipu muslihat. Masyarakat adat pun justru tersingkir karena  kehilangan kontrol atas tanah dan hutan yang menjadi sumber kehidupan. Mereka mengalami kesulitan  memgakses sumber pangan dan sumber mata pencaharian, kehancuran sistem sosial dan budaya, eksploitasi buruh dan pemberian upah tidak layak, hingga kekerasan.

“Kami mendokumentasikan praktik perampasan tanah dalam program MIFEE melalui pemberian izin usaha kepada korporasi tanpa informasi dan persetujuan bebas masyarakat adat secara luas. Terjadi penumpukan kekayaan, konsentrasi penguasaan dan pemilikan tanah dan hutan kepada segelintir badan usaha dan grup perusahaan. Ada 38 perusahaan dengan berbagai usaha dan komoditi kelapa sawit, tebu, jagung, hutan tanaman industri, yang menguasai lahan skala luas mencapai 1.588.651 hektare”, ucap Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Franky Samperante melalui rilis pers pada Selasa (30/7/2024).

Ketua Lembaga Bantuan Hukum Papua Pos Merauke, Teddy Wakum, menyebutkan proyek MIFEE yang hadir pada 2010 justru membuat Suku Marind dan para buruh orang asli Papua di Mam, Muting, dan Zanegi menjadi korban kekerasan dan upah rendah.  

Kini mereka hadir lagi dengan proyek kebun tebu,  namun informasi dan dokumen kajian sosial serta kajian lingkungan hidup strategis tak nampak. Pemerintah juga belum melakukan pemberian informasi dan mendapatkan persetujuan masyarakat adat secara luas dalam proses dan penerapan PSN pengembangan gula, bioetanol,  dan perluasan lumbung pangan. 

Tak adanya dokumen ini menunjukkan pengabaian negara atas hak masyarakat adat. Proyek ini melanggar prinsip Free Prior Informed Consent (FPIC) dan peraturan perundang-undangan, seperti UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Daerah Provinsi Papua, Pasal 43 tentang Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat.

Bukan hanya itu, Teddy berucap, terjadi peningkatan intensi dari aparat keamanan TNI dan Polri. Aparat bersenjata terlibat dalam proses sosialisasi, negosiasi perolehan lahan, hingga pengawalan dan pengamanan peralatan operasi proyek. Situasi ini membuat masyarakat takut menyampaikan pendapat dan pikirannya. 

“Kami mendengar keluhan dari masyarakat adat. Mereka mengalami tekanan dan terdampak proyek, sebagaimana disampaikan masyarakat adat Marind, Yeinan, Kimahima, Maklew, penduduk asli Papua yang mendiami sebagian besar wilayah Kabupaten Merauke. Kami menilai proyek ini berpotensi melanggar hak asasi manusia, menyangkut hak hidup masyarakat adat, hak atas tanah dan hutan adat, hak bebas berekspresi, hak bebas untuk menentukan pembangunan yang berlangsung di wilayah adat, hak atas pangan, hak atas kekayaan dan pengetahuan intelektual, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”, ucap Teddy.

Pemerintah telah memberikan rekomendasi dan izin berusaha dalam skala luas kepada segelintir pemilik modal. Pada periode 2023 dan 2024, pemerintah menerbitkan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR) dan Surat Rekomendasi kepada 9 perusahaan perkebunan tebu, seluas 469.147 hektare yang tersebar di Distrik Tanah Miring, Animha, Jagebob, Eligobel, Sota, Ulilin dan Muting, Kabupaten Merauke. 

Sembilan perusahaan tersebut tergabung dalam Global Papua Abadi (GPA) Group dan pemilik manfaat (beneficial ownership) adalah keluarga Fangiono pemilik First Resources dan Ciliandry Anky Abadi Group, dan Martua Sitorus pemilik Wilmar Group. Rencana investasi GPA Group untuk pengembangan lahan perkebunan tebu dan infrastruktur seluas 500.000 hektare dan pembangunan 5 pabrik pengolahan gula dan bioetanol, seluruh nilainya sekitar Rp 83 triliun.

Selain itu, menurut Teddy, ada pula Andi Syamsuddin Arsyad (Haji Isam), yang terlihat bersama Wakil Menteri Pertahanan Letjen TNI (Purn) Muhammad Herindra, ketika alat-alat berat diturunkan di pelabuhan Wanam, Distrik Ilwayab, Kabupaten Merauke. Diduga peralatan itu akan digunakan untuk cetak sawah.

Kajian cepat yang dilakukan oleh Yayasan Pusaka Bentala Rakyat menunjukkan sejumlah maaalah dalam aspek penggunaan kawasan hutan dan lingkungan hidup dari perizinan dan pengembangan industri perkebunan tebu, pabrik gula, dan bioetanol. Ditemukan sebagian besar izin yang diberikan berada pada Kawasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi sebesar 45 persen, Hutan Produksi Terbatas 30 persen, dan sisanya Areal Penggunaan Lain 25 persen.

“Areal perizinan perkebunan tebu GPA Group berlokasi pada kawasan hutan dan berada pada daerah moratorium izin atau Peta Indikatif Penundaan Izin Baru (PIPIB) lebih dari 30 persen atau sekitar 145.644 hektare, karenanya proyek ini mempunyai resiko lingkungan hidup utamanya meningkatkan emisi gas rumah kaca, yang secara kumulatif meningkatkan krisis ekologi. Selain itu, izin perusahaan tersebut sebagian besar berada di wilayah adat masyarakat hukum adat Yeinan seluas 316.711 hektare dan berisiko secara sosial ekonomi dan budaya,” kata Franky.

Franky dan Teddy pun mendesak Presiden Jokowi menghentikan Proyek Strategis Nasional Pengembangan Pangan dan Energi di Merauke, dengan mempertimbangkan dan memperhatikan dampak sosial budaya, sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup. 

Mereka juga meminta kepada korporasi, investor,  dan institusi keuangan untuk menghormati hak masyarakat adat untuk membuat keputusan bebas atas lahan dan hutan adat di wilayah adat.

“Kami juga meminta pemerintah daerah untuk mengambil langkah efektif dan langkah hukum dalam menghormati dan melindungi keberadaan dan hak masyarakat adat, hak hidup, hak bebas berpendapat, hak atas tanah, hak atas pangan, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, hak mendapatkan informasi publik dan termasuk perizinan, serta melibatkan masyarakat adat secara bermakna dalam berbagai rencana program pembangunan,” kata Franky.

SHARE