Amicus Curiae untuk Sorbatua Siallagan
Penulis : Gilang Helindro
Masyarakat Adat
Kamis, 25 Juli 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Institute For Criminal Justice Reform (ICJR) mengirimkan Amicus Curiae sebagai pihak terkait yang berkepentingan tidak langsung dalam kasus Ketua Kelompok Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan. ICJR adalah lembaga yang mendorong pengakuan masyarakat adat dan, menurut lembaga ini, sengketa masyarakat adat tidak seharusnya diselesaikan dengan pemidanaan.
ICJR menyatakan, penangkapan terhadap warga dalam kasus-kasus konflik agraria masih terus terjadi. Di antaranya adalah Sorbatua Siallagan di Simalungun. Sorbatua Siallagan ditangkap dan diadili di persidangan dengan tuduhan sengaja membakar kawasan hutan produksi yang masuk dalam wilayah konsesi PT Toba Pulp Lestari (PT TPL), serta tuduhan telah mengerjakan, menggunakan, atau menduduki Kawasan Hutan Produksi Tetap dalam areal konsesi PT TPL.
Audrey Kartisha Mokobombang dan Nur Ansar dalam keterangan resminya megatakan berdasarkan surat dakwaan dalam perkara nomor 155/Pid.B/LH/2024/PN Sim, Sorbatua Siallagan dianggap telah sengaja membakar lahan atau mengerjakan lahan untuk ditanami ubi, tomat, jagung, dan cabai. Akan tetapi, Sorbatua Siallagan menyatakan bahwa lahan yang dia dan anggota kelompoknya tanami adalah tanah adat yang sudah ditempati sejak ratusan tahun lalu.
Jika merujuk pada data Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), kelompok Ompu Umbak Siallagan memiliki wilayah adat seluas 851 hektare. Sumber yang sama juga menyebutkan bahwa sengketa wilayah ini sebelumnya sudah terjadi dengan perusahaan lain, sehingga bukan hanya dengan PT TPL. Dalam perkembangannya, Komnas HAM telah memberikan rekomendasi penyelesaian sengketa wilayah adat ini. Demikian pula dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang telah mengeluarkan surat Keputusan untuk penyelesaian masalah hutan adat di wilayah ini.
“Merujuk pada kronologi dan berbagai upaya penyelesaian sengketa wilayah adat ataupun hutan adat ini, ICJR memberikan tiga pertimbangan utama dalam amicus yang dikirim kepada Majelis Hakim PN Simalungun dalam perkara nomor 155/Pid.B/LH/2024/PN Sim,” tulis Audrey Kartisha Mokobombang dan Nur Ansar, dikutip Rabu 24 Juli 2024.
Pertama, Majelis Hakim perlu mempertimbangkan fakta-fakta hukum yang diperoleh secara objektif. Salah satunya dari keterangan saksi yang memang tidak memiliki konflik kepentingan dengan PT TPL. Hal ini sesuai dengan amanat Pasal 185 ayat (6) huruf d KUHAP. Dalam kasus ini, saksi-saksi yang dihadirkan untuk membuktikan perbuatan yang didakwakan kepada Sorbatua Siallagan cenderung berasal dari saksi-saksi yang berafiliasi dengan PT TPL, sehingga tidak sepenuhnya bersifat objektif. Terlebih lagi, bahwa dalam uraian surat dakwaan yang disusun oleh Penuntut Umum, tidak terdapat bukti permulaan yang cukup bahwa Sorbatua Siallagan yang telah membakar lahan.
Kedua, Majelis Hakim perlu mempertimbangkan konteks perkara secara luas, tidak hanya terpaku pada adanya dokumen konsesi atau dokumen lainnya. Seperti yang disebutkan di atas, wilayah konsesi ini sedang dalam proses penyelesaian sengketa dengan wilayah adat. Sementara itu, pengakuan wilayah adat juga masih dalam proses. BRWA telah menginventarisasi tahap awal syarat pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Walaupun belum ada dokumen hukum berisi pengakuan secara administratif, kata Audrey, eksistensi masyarakat adat di wilayah tersebut tidak dapat dianggap sebagai kegiatan tanpa izin seperti yang didakwakan. Sebab, masyarakat adat telah eksis di wilayah tersebut jauh sebelum adanya PT TPL.
Bagi ICJR, kata Nur Ansar, upaya penyelesaian konflik agraria khususnya sengketa wilayah adat ini tidak tepat dibawa ke ranah pidana. Cara ini adalah bentuk pelemahan upaya pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Masyarakat Adat saat ini adalah kelompok yang paling berperan dalam menjaga keberlanjutan sumber daya alam. Oleh karena itu, sudah sepatutnya dilindungi komunitas dan wilayahnya. “Termasuk terlindungi dari berbagai upaya pemenjaraan yang terjadi karena adanya sengketa wilayah,” kata Nur Ansar.
Ketiga, terdapat dasar pembenar yang dapat diberlakukan kepada Sorbatua Siallagan. Seandainya Majelis Hakim menemukan bukti yang cukup bahwa Sorbatua Siallagan membakar lahan, terdapat alasan pembenar yang perlu untuk dipertimbangkan. Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 69 ayat (2) UU tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (yang lebih diperjelas lagi dalam perubahannya melalui UU Cipta Kerja). Pembukaan lahan dengan cara membakar berdasarkan kearifan lokal merupakan praktik yang dilindungi oleh hukum.
“Oleh karena itu, dalam amicus curiae yang kami kirimkan, ICJR mendorong Majelis Hakim PN Simalungun dapat memutus dengan seadil-adilnya,” ungkap Nur Ansar.
SHARE