MDB Masih Danai Proyek PLTU Batu Bara Indonesia
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Energi
Rabu, 10 Juli 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Komitmen untuk menghentikan pendanaan proyek batu bara dari Bank Pembangunan Multilateral atau Multilateral Development Bank (MDB) masih meninggalkan celah. Soalnya, komitmen itu tidak termasuk penghentian pendanaan untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) captive atau pembangkit listrik batu bara khusus untuk industri.
Laporan terbaru dari organisasi iklim Recourse, Trend Asia, dan Inclusive Development International, menemukan MDB yang didanai oleh publik berisiko mendanai gelombang ekspansi proyek batu bara PLTU captive di negara-negara yang rentan terhadap perubahan iklim, seperti Indonesia. Walaupun lembaga tersebut memiliki komitmen untuk mengalihkan pendanaan dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan.
Artinya, ada celah di komitmen hijau Bank Dunia dan lembaga pinjaman swastanya, International Finance Corporation (IFC) untuk terus mendanai unit PLTU captive yang dirancang mendukung proses industri. Dengan demikian, PLTU captive untuk mendukung proses industri seperti peleburan logam atau produksi semen, akan menjadi lebih umum dalam dekade mendatang.
Laporan ini juga menyorot dua proyek energi kotor PLTU captive untuk industri nikel di Pulau Obi, Maluku Utara, yang didanai IFC lewat klien perantaranya, yaitu Hana Bank Indonesia dan OCBC NISP. IFC secara tidak langsung membiayai setidaknya satu dari proyek-proyek ini melalui klien perantara keuangannya. Perantara keuangan lain yang didanai IFC untuk berinvestasi dalam proyek-proyek ramah iklim juga mendanai fasilitas bertenaga batu bara untuk industri nikel di pulau tersebut.
Meskipun Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi kapasitas batu bara yang terhubung ke jaringan listrik hingga hampir setengahnya antara 2030 dan 2045 lewat Just Energy Transition Partnership (JETP), pemerintah ternyata berencana untuk meningkatkan kapasitas PLTU batu bara untuk industri hingga dua kali lipat (dari 14,2 GW menjadi 32,7 GW) guna mendukung industri mineral transisi yang masif berkembang saat ini.
Akibatnya, ekspansi PLTU captive akan menyebabkan peningkatan kapasitas batu bara Indonesia secara keseluruhan hingga 2045 yang akan merusak upaya pengurangan emisi rumah kaca yang telah dicapai melalui pengurangan penggunaan batu bara.
Juru kampanye keuangan Recourse, Daniel Willis, mengatakan saat ini Bank Dunia tidak menyadari risiko yang ditimbulkan oleh PLTU captive terhadap manusia dan planet ini. Menurutnya, akan menjadi sebuah ironi besar apabila atas nama pembiayaan produksi bahan-bahan yang dibutuhkan untuk transisi energi terbarukan MDB juga membiayai ekspansi cepat proyek batu bara yang merusak iklim.
"Kelompok Bank Dunia harus fokus untuk mendukung proyek-proyek iklim yang tidak merugikan, dan yang mempercepat, bukannya menghambat, dekarbonisasi industri," ujar Willis, dalam sebuah rilis, Rabu (10/7/2024).
Bersamaan dengan laporan ini, diterbitkan pula sebuah studi kasus tentang dampak pengolahan nikel dan pengembangan batu bara di Pulau Obi yang menyebabkan polusi udara, menimbulkan masalah kesehatan bagi masyarakat, meningkatkan kemiskinan, hingga berdampak pada hilangnya keanekaragaman hayati.
Juru Kampanye Energy Policy and Finance Trend Asia, Novita Indri, mengatakan, proses transisi yang masih menyisakan ruang untuk penggunaan batu bara tidaklah tepat dan berkeadilan. Justru hal ini hanya akan membawa kita ke ambang kegagalan untuk mencapai Perjanjian Paris dan menambah kerusakan hingga penderitaan bagi lingkungan dan masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan tersebut.
"Lebih dari itu, hal ini membawa kita semakin jauh dari transisi yang berkeadilan," ujar Novita.
Bank Dunia diharapkan untuk menutup celah dalam kebijakannya serta memastikan tak ada lagi dukungan untuk proyek-proyek batu bara untuk PLTU khusus industri. Begitu pula dengan lembaga-lembaga yang tergabung dalam MDB untuk meningkatkan transparansi investasi perantara keuangan dan mendorong investor yang telah mendukung proyek-proyek batu bara untuk memberikan tindakan perbaikan bagi masyarakat yang terdampak.
Direktur Eksekutif Inclusive Development International, David Pred, berpendapat pembangkit listrik tenaga batu bara, apa pun bentuk penggunaannya, memiliki dampak yang sama terhadap manusia dan lingkungan. Baik pembangkit listrik maupun proyek-proyek yang bergantung padanya tidak dapat disebut ramah lingkungan.
"Dan mereka seharusnya tidak mendapatkan dukungan--secara langsung maupun tidak langsung--dari Bank Dunia atau lembaga mana pun yang berkomitmen terhadap pembangunan berkelanjutan," ucap Pred.
SHARE